Menteri Basuki ; Penanganan Banjir Harus Dilakukan Secara  Multisektoral

oleh -209 views
oleh
209 views
Webinar Nasional Dewan Sumber Daya Air (SDA) yang bertajuk "Kenapa Banjir?” ,Kamis (18/2). (doc/pupr)

Jakarta – Menteri PUPR  Basuki Hadimuljono memberi sambutan di Webinar Nasional Dewan Sumber Daya Air (SDA) yang bertajuk “Kenapa Banjir?” yang disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal Fatah mengenai penanganan banjir harus dilakukan secara menyeluruh lewat kegiatan multisektoral yang  melibatkan  seluruh  pemilik kepentingan  dengan  visi  bersama  untuk menyelesaikan masalah secara berkelanjutan. Kamis (18/2)

Menteri Basuki berharap webinar ini akan mampu memberikan manfaat yang luas kepada masyarakat terkait penanganan banjir lewat pemikiran-pemikiran yang dihasilkan. “Pemilihan tema “Kenapa  Banjir?” ini sudah tepat dan sangat  penting. Sejak awal tahun 2021 ini, bencana banjir telah melanda berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Kabupaten Banyuasin, Kota Manado, Halmahera Utara, Kota Banjarmasin, dan Kota Semarang yang menimbulkan dampak kerusakan yang signifikan,” ujarnya.

“Penyebab timbulnya banjir yang tersebar di banyak sektor masih belum sepenuhnya teridentifikasi, dan belum ditangani secara efektif. Pendekatan yang dilakukan masih sektoral, dan hanya menangani gejala yang muncul dalam sektor tertentu saja.Terjadi ketidakselarasan di antara kegiatan-kegiatan di satu sektor dan di sektor-sektor yang lain,”

Sebagai contoh,  banyak kawasan yang dilanda banjir pada dasarnya merupakan dataran banjir yang seharusnya hanya boleh dikembangkan secara terbatas.  “Saat dilanda banjir, penanganan dilakukan bersifat teknikal, seperti membuat kolam  dan pompa.Hal ini memicu pembangunan di daerah tersebut yang selanjutnya menyebabkan banjir dengan kerugian yang jauh lebih besar,” ujarnya.

Menurut Menteri Basuki, penanganan banjir secara teknikal memang penting dan perlu,namun memiliki keterbatasan dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara jangka panjang. “Ketika parameter rancangannya berubah dan/atau terlampaui, maka penanganan tersebut menjadi sangat rentan untuk gagal,” tuturnya.

Untuk itu, kegiatan visioning adalah kegiatan awal yang amat penting untuk dapat menumbuhkan dan membangun komitmen seluruh pemilik kepentingan kepada suatu  ‘Visi dan Tujuan Bersama’. “Jika visi dan tujuan bersama tidak terbentuk,  maka sulit membangun komitmen yang kuat antar-sektor. Saat terjadi sedikit hambatan, pelaksanaan program akan berhenti dan  tujuan pembangunan menjadi tidak tercapai,” ungkapnya.

Kebersamaan dan kolaborasi seluruh  pihak, menjadi syarat utama bagi keberhasilan dalam pengelolaan risiko banjir. “Tugas dan  fungsi seluruh pihak, perlu diterjemahkan di lapangan menjadi ‘Peran dan Tanggung jawab Bersama’. Kebersamaan dan  Kolaborasi harus terus diupayakan sehingga  semuanya dapat memahami siapa yang sedang bekerja dan program yang dilaksanakan, termasuk pentingnya keterlibatan masyarakat,” tuturnya.

Menurut kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selain curah hujan ekstrim, kerusakan DAS juga  menjadi pemicu terjadinya bencana  banjir  dan tanah longsor.  Data Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperlihatkan bahwa saat ini terdapat 14  juta hektar lahan kritis di Indonesia, yang mengancam kelestarian fungsi Daerah  Aliran  Sungai (DAS). “Sementara  itu, kemampuan kita dalam pemulihan  lahan  kritis hanya sekitar 232.000 hektar/tahun,” tuturnya. (ril.biro-kp/pupr)