Menyambut Geliat Peternakan Galo-Galo di Sei Geringging, Padang Pariaman

oleh -1,351 views
oleh
1,351 views
Masyarakat Sungai Geringging Padang Pariaman bersama peneliti Unand bergairah ternak Galo-galo. (dok)

Oleh: Muhammad Nazri Janra

(Dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas)

SEIRING dengan semakin menanjaknya permintaan akan madu di masa pandemi untuk menjaga kebugaran tubuh, banyak pihak yang berminat menjadikan produksi madu sebagai mata pencarian.

Selama ini madu hanya dikenal dihasilkan oleh lebah baik yang hidup liar ataupun yang diternakkan. Sayangnya tidak semua orang memiliki keterampilan atau mungkin keberanian untuk mengelola koloni lebah untuk mendapatkan madunya. Tentu saja karena lebah mempunyai sengat yang bagi kebanyakan orang menyakitkan.

Terkait dengan tantangan besar untuk meningkatkan produksi madu nasional tersebut, sebenarnya negara kita telah menyediakan jawabannya berupa lebah tanpa sengat.

Kelompok serangga yang masih satu keluarga dengan lebah madu biasa yang bersengat ini cenderung lebih aman bahkan bagi orang yang paling penakut dengan serangga sekalipun. Bersama dengan lebah biasa, serangga ini dikelompokkan ke dalam keluarga Apidae tetapi terpisah ke dalam suku Meliponinae yang khusus berisi jenis-jenis lebah yang telah kehilangan sengatnya.

Meskipun demikian, lebah tak bersengat ini tetap menghasilkan madu. Walau jumlah madu yang dihasilkan bervolume lebih sedikit dari yang dihasilkan oleh lebah biasa karena mengikuti ukuran tubuhnya yang lebih kecil, tetapi madu lebah tanpa sengat atau galo-galo mempunyai kelebihan tersendiri.

Madu galo-galo disimpan di dalam pot madu yang terbuat dari resin yang dicampur dengan propolis atau serbuk sari, sehingga madu tercampur dengan khasiat yang ada di kedua bahan tersebut. Madu galo-galo dikatakan memiliki karakter serta kandungan yang lebih baik dibandingkan dengan madu dari lebah biasa.

Tidak mengherankan jika harga per liternya jauh lebih mahal dibandingkan dengan madu lebah biasa.

Hal inilah yang kemudian mendorong banyak orang untuk mulai membudidayakan galo-galo.

Di Sumatera Barat sendiri, hal ini baru dimulai lebih dari satu dasawarsa yang lalu dengan memanfaatkan beragam jenis galo-galo yang secara alami tersedia di alam. Beberapa daerah yang mulai bergerak untuk melakukan budidaya galo-galo antara lain Sawahlunto, Pesisir Selatan, Padang, Padang Pariaman dan Solok. Di masing-masing tempat tersebut, peternak biasanya melakukan budidaya secara individual ataupun dalam kelompok kecil dengan menggunakan lahan yang masih terbatas.

Juga, budidaya galo-galo yang dilakukan sejauh ini masih dalam tahapan awal dimana tujuan utama yang ingin dicapai lebih kepada mendapatkan produksi madunya saja, belum memikirkan hal-hal potensial lainnya yang bisa diintegrasikan dengan usaha peternakan tersebut.

Maka dari itu, tim peneliti galo-galo dari Universitas Andalas dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia yang bersama Jurusan Biologi UNAND tengah mengembangkan Bee Center of Andalas Green Park cukup terkejut saat mengunjungi lokasi peternakan galo-galo di Korong Simpang Malai Nagari Malai III Koto Kecamatan Sungai Geringging Padang Pariaman.

Di lokasi peternakan yang terhitung baru ini, telah terdapat sekitar 30 stub berisi koloni galo-galo jenis Heterotrigona itama dengan bentuk dan usia yang hampir seragam.

Pemilihan jenis galo-galo yang harga satu stub koloninya mencapai hampir satu juta rupiah ini didasarkan kepada volume madu yang dihasilkan serta keberhasilan budi daya yang cukup tinggi. Yang lebih membuat takjub tim peneliti yang terdiri dari pakar perlebahan Prof. Dr. Sitiw Salmah, Dr. Jasmi, Dr. Henny Herwina serta beberapa orang akademisi lainnya tersebut adalah master plan peternakan galo-galo di des aini yang ke depannya dirancang untuk membidik perluasan usaha ke bidang ekowisata, wisata pendidikan, fasilitas penelitian dan sentra pengembangan galo-galo Sumatera Barat.

Usaha peternakan di Korong Simpang Malai Nagari Malai III Koto ini juga bisa dibilang sebagai usaha bersama masyarakat desa serta dipimpin langsung oleh Wali Nagari setempat, Yul Ananda.

Usaha kemasyarakatan yang masih tergolong baru tersebut dibimbing oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Trigona Mandiri yang berasal dari desa tetangganya di Korong Batu Gadang Nagari Kuranji Hilir. Kelompok tani ini telah terlebih dahulu melakukan budidaya galo-galo di nagari mereka, dengan melibatkan anggota masyarakat yang memiliki minat kepada usaha madu galo-galo tersebut.

Di nagari ini terdapat beberapa jenis galo-galo yang diternakan selain Heterotrigona itama, termasuk Geniotrigona thoracica, Tetragonula laeviceps dan Lepidotrigona terminata. Salah seorang motor penggerak KTH Trigona Mandiri, Yance Andrianus, bahkan dinominasikan untuk mendapatkan Penghargaan Pilar-Pilar Sosial untuk tahun 2021 dari Pemerintah Padang Pariaman atas upayanya menggerakan pemuda dan masyarakat sekitar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan melalui budi daya galo-galo saat pandemi Covid 19 berlangsung.

Jika dilihat secara keseluruhan, Kabupaten Padang Pariaman dapat dianggap sebagai salah satu lokasi ideal untuk membudi dayakan galo-galo. Kabupaten ini memiliki hamparan kebun kelapa atau ‘parak karambia’ yang sangat luas yang dapat menjadi sumber makanan penghasil madu bagi galo-galo dan lebah madu secara umum. Ini belum terhitung beragam tumbuhan tropis dataran rendah Sumatera lainnya yang tidak hanya berperan sebagai sumber madu, tetapi juga penghasil serbuk sari dan resin yang sangat diperlukan oleh galo-galo dalam membangun koloninya.

Iklim yang cenderung kering di wilayah ini turut membantu pembentukan madu yang berkualitas, karena kadar air dalam madu rata-rata lebih rendah dibandingkan pada daerah lain yang lebih lembab.

Peternakan galo-galo di Korong Simpang Malai Nagari Malai III Koto yang baru berdiri dan juga peternakan yang dikelola oleh KTH Trigona Mandiri telah mengintegrasikan lingkungan parak karambia sebagai habitat bagi koloni galo-galo yang mereka kembangkan.

Seiring itu, estetika lingkungan peternakan juga ditata dengan ragam tumbuhan berbunga yang tidak hanya menjadi sumber makanan galo-galo, tetapi juga memanjakan mata setiap orang yang berkunjung. Kedua kelompok peternak galo-galo ini juga sangat membuka diri dengan pihak luar, terutama peneliti dan dosen yang berasal dari perguruan tinggi.

Potensi kerja sama yang tersedia ini diharapkan dapat membantu dalam memecahkan masalah dalam budi daya galo-galo, seperti pengembangan koloni, pengentasan hama dan penyakit yang mungkin menyerang, pengolahan dan peningkatan mutu hasil produk yang nanti dihasilkan serta tentunya lebih jauh untuk mengintegrasikan usaha peternakan galo-galo tersebut dengan beragam aspek lainnya.

Jadi jangan heran jika nanti dalam beberapa tahun ke depan, Padang Pariaman mungkin saja menjadi yang terdepan dalam usaha budi daya galo-galo di Sumatera Barat atau bahkan di Indonesia. (analisa)