Menyikapi Keberadaan Organisme Invasif

oleh -176 views
oleh
176 views
Contoh-contoh organisme invasif yang banyak ditemukan: kepik dari kelompok Hemiptera, biawak (Varanus salvator), kura-kura brazil (Trachemys scripta) dan senduduk bulu ( dok: Clidemia hirta)

Oleh: Muhammad Nazri Janra (Dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas)

TULISAN ini sebenarnya lahir dari rasa khawatir yang mendalam ketika mengamati kondisi sumber daya hayati di Indonesia berikut dengan lingkungan dan habitatnya yang diam-diam telah terancam oleh keberadaan organisme invasif.

Lebih jauh lagi, juga terdapat kekhawatiran terhadap persepsi yang terbentuk di dalam masyarakat kebanyakan yang seolah tidak peduli dengan organisme invasif yang dapat mengancam lingkungan dan kehidupan manusia di dalamnya.

Seringkali, jika penemuan satwa atau tumbuhan invasif diberitakan di media, justru banyak pihak yang malah mendukung keberadaannya di wilayah yang sejatinya bukan merupakan habitat organisme tersebut.

Untuk memahami kenapa kekhawatiran ini perlu menjadi urusan bersama, pertama-tama kita harus memahami apa itu organisme invasif dan apa ancaman yang dapat ditimbulkannya. Semua jenis hewan atau tumbuhan pendatang (tidak asli) di suatu daerah serta mampu berkembang biak sehingga populasinya menjadi banyak dalam waktu singkat, dapat dianggap sebagai organisme invasif.

Ini berbeda dengan hewan migran, yang hanya berpindah sementara ke suatu wilayah ketika habitat aslinya sedang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan akibat mengalami musim dingin atau kondisi alam lainnya yang kurang menguntungkan. Jenis hewan migran biasanya akan kembali lagi ke habitat aslinya saat kondisinya telah kembali menjadi lebih baik, tanpa melakukan perkembangbiakan di wilayah migrasinya.

Lebih jauh lagi, organisme invasif memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik di berbagai tipe habitat dan lingkungan. Mereka juga mampu berkembang biak di tempat hidup yang baru, sehingga lama kelamaan populasinya melebihi keberadaan penghuni asli di kawasan tersebut.

Organisme invasif dapat menghabisi kekayaan hayati setempat baik dengan memangsa secara langsung hewan atau tumbuhan asli, atau secara tidak langsung dengan menghabiskan sumber daya yang dibutuhkan oleh makhluk lainnya untuk hidup.

Contoh kejadian yang terkenal di kalangan pemerhati lingkungan hidup adalah introduksi ikan nila (Oreochromis niloticus) dan udang cherax (Cherax quadricarinatus) ke Danau Kerinci untuk membantu mengurangi populasi tumbuhan gulma enceng gondok.

Ikan nila dan udang cherax ini kemudian justru mendesak keberadaan ikan-ikan asli danau karena kemampuan berbiaknya yang cepat dan mereka memangsa telur-telur dari ikan lokal Dana Kerinci. Contoh drastis lain misalnya tumbuhan akasia duri (Acacia nilotica) yang berasal dari daratan India dan awalnya ditanam di kawasan Taman Nasional Baluran Jawa Timur untuk mengurangi kebakaran lahan yang sering terjadi di sana. Di kemudian hari, tumbuhan ini malah mematikan rumput dan semak yang menjadi makanan bagi banteng, rusa dan hewan pemamahbiak liar lainnya di taman nasional tersebut.

Akasia duri mempunyai semacam senyawa kimia yang membuat tumbuhan lain yang ada di sekitarnya menjadi merana dan akhirnya mati. Senyawa ini juga membuatnya tidak bisa dimakan oleh hewan, sehingga tumbuhan ini berganda dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dalam kedua contoh ini, kerusakan habitat dan komunitas alami yang diakibatkan oleh organisme invasif berujung pada kerugian ekonomis yang ikut diderita oleh manusia yang hidup di sekitarnya.

Jika dilihat sejarah panjang masuknya jenis-jenis organisme invasif ke Indonesia, tidak terlepas dari adanya campur tangan manusia. Selain contoh organisme invasif yang dijelaskan di atas, banyak hewan atau tumbuhan ini dibawa ke wilayah Indonesia karena dipandang unik atau menarik untuk dipelihara.

Karena kemampuan berbiaknya yang sangat baik, banyak dari hewan atau tumbuhan ini tidak lagi dapat ditampung oleh pemeliharanya, sehingga mereka terlepas (atau sengaja dilepas) ke lingkungan luar. Belasan ikan arapaima (Arapaima gigas) asal Amerika Selatan yang ditemukan di Sungai Brantas pada tahun 2018 lalu atau keong emas (Pomocea canaliculate) yang sekarang menjadi hama berbagai lahan basah awalnya berasal dari sejumlah kecil populasi yang dipelihara sebagai hewan ‘klangenan.’ Ini baru menghitung hewan invasif yang masuk secara ‘resmi’ lewat jalur imigrasi. Belum yang masuk tanpa catatan resmi, dimana mereka baru diketahui setelah jumlahnya berkembang banyak dan mendominasi habitatnya.

Sebagai negara kepulauan yang sangat luas, penyelundupan hewan dan tumbuhan eksotis asing sangat mungkin terjadi di bagian perbatasan yang kurang terawasi. Tidak heran jika membaca rilis resmi Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2019 yang lalu, tercatat lebih dari 2.800 jenis hewan dan tumbuhan invasif ada di dalam wilayah Indonesia. Tidak banyak dari jenis tersebut yang benar-benar bersifat menguntungkan, sehingga potensinya sebagai penyebab kerugian ekonomis atau ekologis harus lebih diperhatikan.

Memitigasi dampak organisme invasif harus dimulai terlebih dahulu dengan memperkuat pengawasan di garis perbatasan negara yang menjadi titik awal masuknya. Kerjasama dinas karantina dengan lembaga ilmiah yang memiliki kapasitas keilmuan dalam mendeteksi jenis hayati invasif mutlak diperlukan, sehingga jenis-jenis ini dapat dihentikan sebelum memasuki wilayah Indonesia.

Pemusnahan populasi-populasi organisme invasif secara lokal juga dapat terus dilakukan secara rutin dan sistematis untuk menekan pertumbuhan populasinya seminimal mungkin. Kegiatan pembersihan akasia duri di Taman Nasional Baluran yang dilakukan berkala, menurut penelitian yang dilakukan, memberikan dampak positif meningkatkan populasi tumbuhan asli di sana dan pada gilirannya turut menyuburkan populasi hewan pemamah biak lokal yang makanannya tergantung pada tumbuhan asli tersebut.

Yang paling berat dari skema pengendalian organisme invasif ini sebenarnya terletak pada penyadartahuan anggota masyarakat. Karena seperti yang diuraikan di atas, justru manusialah yang menjadi aktor utama di belakang besarnya jumlah organisme invasif di Indonesia.

Menyelidiki aspek sosial dan budaya di belakang perdagangan organisme hayati asing lintas batas negara dapat memberikan sudut pandang yang berbeda terkait pemecahan masalah ini, di samping tentunya terus menyadartahukan masyarakat tentang akibat ekologis dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh organisme invasif tersebut. Selain mengetahui apa saja sumber daya hayati lokal khas daerahnya, anak-anak bangsa juga harus diajari untuk memandang bahwa organisme asing dan tidak asli Indonesia harus diperlakukan dengan hati-hati. Mereka tidak harus dimiliki, semenarik apapun penampilannya.

Menjaga keutuhan wilayah negara Republik Indonesia ini tidak melulu diartikan dengan berperang melawan invasi (penjajahan) bangsa asing seperti yang pernah dilakukan di jaman perang kemerdekaan dahulu. Di era pembangunan sekarang, anak bangsa dapat ‘berperang’ dalam menjaga integritas bangsa melalui penjagaan keutuhan sumber daya hayati lokal yang sebagian besarnya bahkan telah menyatu sebagai unsur kepribadian dari beragam suku bangsa yang mendiami wilayah Nusantara. Dengan kata lain, ‘berperang’ melawan keberadaan organisme invasif!. (analisa)