Menyoal Anggaran Desa

oleh -140 views
oleh
140 views
Prof Elfindri (foto: dok)

Oleh: Elfindri Dir SDGs Center Unand

LEBIH 60 tahun Indonesia merdeka, baru desa memperoleh otonomi menentukan pembangunannanya.

 Setidaknya semenjak Presiden Jokowi menggantikan SBY, kerangka pikir ini dijalankan.

Otonomi yang diperlihatkan melalui ketersediaan dana desa. Diperkirakan setiap desa dapat gunakan Rp 900 sampai Rp 1 miliar dana. Untuk keperluan pembangunan desa dan biaya rutin. Sejumlah alokasi dana yang tidak kecil.

Tidak kecil artinya mesti nilainya besar di desa, termasuk transaksi akibat “velocity of money” beredar pasar level desa.

Pertanyaan yang penting kita jawab adalah kemana arah politik anggaran desa dialokasikan jika mereka membangun?.

Selama 4 tahun pertama, kami membaca data penggunaan dana desa (lihat elfindri, 2021 Ekonomi Pembangunan Daerah, Rajawali Press) dan menemukan alokasi yang ditujukan pada pembangunan infrastruktur fisik, khususnya pembangunan jalan desa.

Lantas itu sudah jalan selama setidaknya 5 tahun berjalan. Masalahnya adalah apakah pembangunan jalan lebih tepat kaedah secara empiris?.

Dalam literatur ekonomi Pembangunan, ketika sebuah daerah miskin membangun, maka prioritasnya mesti pada pembangunan infrastruktur manusia. Misalnya membangun fasilitas pendidikan PAUD dan SD dan perbaikan sanitasi dan lingkungan.

Jika fase infrasrastruktur untuk manusia sudah tersedia minimum, kemudian baru beralih pada pembangunan infrastriktur ekonomi desa (pembuatan embung air, pasar desa atau irigasi). Bisa saja pembangunan jalan desa dan atau pembangunan turap.

Jika pembangunan infrastruktur fisik desa yang diutamakan, maka jelas manusianya tidak maju dan hasil ekonomi juga tidak banyak yang akan dibawa agar lebih cepat sampai ke pasar.

Jalan desa memang akan dipilih oleh mayoritas masyarakat desa, karena mereka mudah untuk bepergian. Apalagi membawa sepeda motor lebih cepat karena jalan semakin mulus.

Sekali lagi keputusan jika membangun jalan desa tentu akan mengorbankan alternative pembangunan sarana PAUD dan SD. Begitu juga lamanya terpenuhi fasilitas infrastruktur sanitasi dan air minum.

Bisa jadi kenapa lama sekali kita atasi masalah “stunting” dan mutu pendidikan, karena alokasi dana desa juga tidak berfihak kepada kaedah yang seharusnya dilakukan.

Sebagai akibat bisa jadi tahun ke 7 tersedianya dana Desa, tidak banyak berdampak kepada pemenuhan infrastruktur untuk manusia. Padahal itu bisa dilakukan melalui skim dana desa ini.

Tentu kita perlu koreksi. Bahwa suara mayoritas masyarakat desa tidak menjamin benar dalam pengambilan keputusan.

Oleh karenanya yg mungkin kita usulkan kepada pemerintah bahwa pilihan alokasi infrastrultur manusia mesti skemanya melalui Dana alokasi khusus desa (DAK-SESA) yang tidak perlu dirembukkan lagi oleh desa.

Sebagian besar pendidikan PAUD dan SD kita mutunya jeblok. Ranking mutu yang jauh tertinggal di antara negara di dunia dan Pencapaian 80 persen akses sanitasi dan air minum kita tentu menyisakan banyak pekerjaan rumah penting. Dana desa sebagian bisa lebih tepat diarahkan untuk pembangunan infrastruktur dasar manusia desa.(analisa)