NANOBIOTEKNOLOGI, Teknologi Kecil sang Penyelamat Ketahanan Pangan di Masa Datang

oleh -2,029 views
oleh
2,029 views
Maythesya Oktavioni - Mahasiswi S2 Bioteknologi 2019 Universitas Andalas (foto: dok)

Oleh:
Maythesya Oktavioni.                  Mahasiswi S2 Bioteknologi 2019 Universitas Andalas

PEMBANGUNAN pertanian membutuhkan terobosan dan solusi baru menghadapi kendala yang dihadapi saat ini.

Kementerian Pertanian Indonesia pada 6 September 2019 lalu menginformasikan tiga teknologi yang bisa menjawab tantangan pertanian global saat ini, yaitu nanoteknologi, biofortifikasi, dan bioteknologi. Ketiga teknologi tersebut diyakini bisa menjadi alat untuk mewujudkan visi Indonesia Menjadi Lumbung Pangan Dunia 2045.

Nanoteknologi merupakan pemanfaatan teknologi berskala nano (1 nanometer sama dengan 1 per semiliar meter) sebagai penyusun atom-atom dalam membentuk material yang sebelumnya tidak ada untuk dimanfaatkan dalam kehidupan manusia.

Teknologi nano dalam bidang pertanian bisa diaplikasikan pada setiap aspek hulu ke hilir pertanian. Pemupukan dengan material skala nano yang telah dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian yaitu nanobiosilika cair, terbuat dari limbah sekam padi yang diproses secara top down, menghasilkan partikel silika yang efektif diserap oleh tanaman.

Penggunaannya terbukti bisa meningkatkan hasil panen, yaitu tambahan produksi per hektar sebesar 1,4 ton pada padi dan 2 ton pada bawang merah. Selain itu juga ada teknologi control release fertilizer (pupuk lepas terkontrol) atau slow release fertilizer (pupuk lepas lambat) yang dapat menghemat penggunaan pupuk sekitar 30-50%. Pupuk ini berbentuk granula yang dilapisi oleh polimer nano yang terbuat dari limbah kulit tebu dan cangkang udang.

Di aspek pengelolaan hama dan penyakit tanaman, Kementerian Pertanian bekerjasama dengan PT. Gelora Inti Indonesia mengembangkan nanobiopestisida ekstrak serai wangi untuk pengendalian penyakit mosaik yang disebabkan virus pada tanaman nilam dan pengendalian kutu daun sebagai vektor virus.

Nanopestisida cair pada permukaan daun tanaman. (dok)

Sedangkan pada bidang pascapanen, penggunaan nano coating yang aman bagi kesehatan telah dikembangkan oleh Balai Besar Pascapanen Bogor dari ekstrak lengkuas dan wax (lilin) alami.

Aplikasinya dilakukan pada saat buah masih berada di tanaman atau setelah selesai dipanen. Partikel yang sangat kecil membentuk lapisan kulit kedua bagi buah, sehingga respirasi buah terhambat dan tidak mudah busuk.

Aplikasi nano zeolite juga dilakukan untuk menyerap gas etilen yang dihasilkan agar proses pematangan buah menjadi lebih lambat.Teknologi ini sudah digunakan untuk mempertahankan umur simpan buah salak, pisang, manggis, dan mangga tujuan ekspor.

Selain produk yang mendukung budidaya, produk kemasan ramah lingkungan dari limbah biomassa pertanian juga dikembangkan. Nanoselulolsa dari jerami dan pati singkong digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioplastik dan biofoam yang terurai alami.

Peneliti muda dari Universitas Andalas, Mochamad Asrofi , juga berhasil menciptakan bioplastik dari pati bengkoang dan serat tanaman eceng gondok. Penggunaan bioplastik bisa mengurangi permasalahan sampah plastik yang mencemari tanah dan perairan saat ini.

Berdasarkan penguraian diatas, nanobioteknologi diyakini dapat menjadi salah satu terobosan solusi pembangunan pangan dan pertanian ke depan. Namun pengembangan nanoteknologi untuk pangan dan pertanian dihadapkan pada sejumlah tantangan, diantaranya masalisasi produk yang ekonomis secara komersial, keamanan produk, kejelasan regulasi, dan penerimaan konsumen, serta yang paling penting yaitu keterbatasan SDM yang memahami nanobioteknologi.

Oleh karena itu, partisipasi dan perhatian semua pihak dalam pengembangannya sangat diperlukan demi terwujudnya ketahanan pangan yang menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia.(analisa)