Narkoba Kejahatan Luar Biasa

oleh -6,626 views
oleh
6,626 views

Permasalahan Peredaran Narkotika

Oleh
Tenaga Ahli Komite III DPD-RI

BELUM lama ini, petugas kepolisian berhasil menindak empat orang tersangka Warga Negara Asing (WNA) yang diduga pengedar narkotika seiring ditemukannya narkotika jenis sabu seberat 1,6 ton di dalam kapal Taiwan di perairan Batam. Sabtu, 24 Februari 2018, WNA diduga pengedar tersebut dibawa ke Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri di Cawang Timur Jakarta Timur.

Kasus narkotika di atas, bukan kali pertama. Sepanjang 2017, tercatat, Badan Narkotika Nasional atau BNN telah menembak mati 79 bandar narkoba, membongkar 46 ribu kasus narkoba dan 27 kasus Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU yang berasal dari bisnis narkoba.

Sebanyak 4,71 ton sabu di sita. Diduga, kasus-kasus narkotika merupakan fenomena gunung es. Artinya, bisa jadi, lebih banyak kasus yang belum terungkap dibandingkan yang timbul ke permukaan.

Kejahatan narkotika merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sebab, jaringan peredaran sangat luas. Lintas batas negara. Sering disebut kejahatan antar negara (transnational crime).

Dampaknya merusak dari kesehatan dan karakter bangsa. Kejahatan narkotika dilakukan oleh sindikat atau mafia yang profesional, militan, terorganisir dan sistematis. Modusnya dengan berbagai metode. Dana yang besar serta teknologi canggih. Termasuk memanfaatkan tipologi model money laundering (tindak pidana pencucian uang).

Berdasarkan berbagai kasus-kasus empiris, kejahatan narkotika di Indonesia sudah mencapai tahap yang membahayakan. Darurat kejahatan narkotika sudah mendesak diberlakukan.

Dari perspektif akademik, terdapat dua permasalahan mendasar dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan narkotika. Pertama, dari aspek keterbatasan cakupan pengaturan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan kedua, masih lemahnya penegakan hukum UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pengaturan kejahatan narkotika di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada hakikatnya dimaksudkan sebagai bentuk politik hukum pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan narkotika.

Melalui undang-undang dimaksud, maka diharapkan terdapat perencanaan yang rasional, akurat, untuk mencapai tujuan penanganan kejahatan narkotika sehingga hukum dapat menjalankan fungsinya sebagai alat pengendalian sosial.

Dampak kejahatan narkotika demikian mencekam. Tumbuh budaya malas, konsumtif. Mentalitas rusak. Hancurnya ekonomi karena ratusan triliun hilang sia-sia dalam setahun karena mengejar narkotika. Secara politik, negara yang menjadi konsumen narkotika akan dikendalikan oleh mafia narkotika dan kurang prospektifnya dalam membangbun kepercayaan dunia, dalam berbagai aspek kemajuan bangsa.

Peta Permasalahan

Dari segi pemidanaan, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah demikian tegas mengatur penindakan kejahatan narkotika agar menimbulkan efek jera.

Dari pidana penjara biasa, hingga pidana penjara seumur hidup dan pidana mati. Namun demikian, terdapat ketentuan-ketentuan yang mendesak direvisi agar UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat menjerat secara komperhensif kejahatan narkotika.

Pertama, UU Narkotika tidak membedakan secara tegas dan jelas antara pengguna narkotika (sebagai korban) dan pelaku kejahatan narkotika (pengedar). Seperti Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika yang memidana bagi setiap orang yang memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dipidana paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun. Di dalam konteks ini, orang yang memiliki dan menyimpan bisa jadi dalam konteks pengguna sehingga apakah tidak seharusnya pengguna yang kecanduan dikenakan sanksi rehabilitasi. Bukan pidana. Sebab, bila pecandu dipidana penjara, diduga sulit untuk sembuh karena bukan tempat untuk penyembuhan dari ketergantungan narkotika.

Kedua, pengaturan UU Narkotika menggunakan model penggolongan jenis narkotika dengan dilampirkan di dalam UU Narkotika. Dalam praktik, hal ini mempersukar karena jenis narkotika berkembang terus menerus dan apabila jenis narkotika dimaksud tidak ada dalam lampiran UU Narkotika maka tidak dapat dipidana berdasarkan asas legalitas (nullum delictum nulla puna siena prevere lega poenale).

Ketiga, pengaturan kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN). Di dalam penegakan hukum terkait kasus-kasus kejahatan narkotika, terdapat dua penegak hukum yang dapat menindak yaitu BNN dan Penyidik Polri. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu ketegasan, sinergitas dan kejelasan agar tidak terdapat konflik kewenangan di dalam penindakan kejahatan narkotika baik oleh penyidik Polri dan BNN sehingga UU Narkotika perlu direvisi untuk mengakomodasi hal tersebut.

Sedangkan dari segi implementasi UU Narkotika, tidak dapat dinafikan terdapat berbagai masalah. Selama ini kejahatan narkotika permasalahannya meliputi: (i) permasalahan produksi obat secara illegal, meliputi budi daya tanaman bahan baku obat–obatan narkotika dan psikotropika, pengolahan, sampai menjadi produk siap konsumsi; (ii) permasalahan perdagangan gelap meliputi pengangkutan, penyelundupan, dan perdagangan obat-obatan; dan (iii) permasalahan penyimpangan pemakaian narkotika.

Selain hal di atas, terdapat permasalahan menyangkut lemahnya cegah tangkal di akar rumput. Peredaran narkotika telah merambah hingga ke desa dan pelajar. Kekuatan akar rumput masih belum diberdayakan optimal. Selain itu, peredaran narkotika di lembaga pemasyarakatan masih belum dapat tuntas ditangani hingga ke akar. Termasuk kesukaran memotong mata rantai perdagangan narkotika di lembaga pemasyarakatan.

Kebijakan Komite III DPD-RI dan Rekomendasi Selama ini, Komite III DPD-RI sebagai alat kelengkapan DPD telah mengakomodasi aspirasi masyarakat dan daerah terkait persoalan kejahatan narkotika. Sebagai bentuk komitmen turut melakukan perlawanan terhadap kejahatan narkotika maka DPD RI telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding ) dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tanggal 1 Februari 2017.

MoU di atas ditindaklanjuti oleh berbagai Kegiatan Komite III dalam kerangka pengawasan implementasi UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika berkaitan dengan inventarisasi permasalahan di daerah, capaian kebijakan, efektivitas dan dukungan kebijakan di daerah. Beberapa metode dan instrumen yang digunakan sebagai berikut:

1. Rapat Kerja dengan Badan Narkotika Nasional;

2. Rapat Dengar Pendapat Umum dengan GRANAT dan GANN;

3. Kunjungan kerja ke Provinsi Sumatera Utara

4. Laporan aspirasi masyarakat melalui kegiatan Reses Anggota Komite III DPD RI.

Beberapa pokok permasalahan narkotika yang menjadi temuan hasil pengawasan atas pelaksanaan UU Narkotik sebagaimana tampak pada uraian berikut.

1. Budidaya tanaman ganja oleh petani lokal

Sepanjang tahun 2017, BNN melakukan penyitaan ganja kering 151,22 ton. Jumlah ini mengejutkan karena terjadi kenaikan drastis sebesar 100 % dibanding tahun sebelumnya 2016 sebanyak 6,2 ton (www.tribunnews.com, 5 maret 2018). Peredaran ganja di berbagai daerah mencapai 61% jika dibandingkan dengan jenis narkotika lainnya. Ganja dikategorikan sebagai narkotika golongan I, dan 99% tanaman ganja di Indonesia berasal dari Aceh. Budi daya tanaman ganja oleh petani lokal masih sulit dikendalikan sampai saat ini.

Pemetaan adanya daerah yang membudidayakan tanaman ganja sekaligus produksi bahan baku menyebabkan mendesaknya program percepatan pembangunan alternatif (alternative development) sebagai subtitusi pertanian tanaman sumber bahan baku narkotika di daerah rawan. Program ini harus sinergis, didesain dan indikasi terukur yang bernilai ekonomis tinggi. Program ini sekaligus sebagai gerakan anti legalisasi ganja.

2. Pengawasan dan keamanan di pos lintas batas baik perairan, udara dan darat

Berdasarkan hasil temuan kasus di berbagai daerah, narkotika masuk ke wilayah Indonesia sebagian besar melalui jalur laut dan udara. Khusus untuk jalur laut terdapat celah yang cukup banyak mengingat potensi pulau kecil, terluar dan perbatasan yang banyak. Kesempatan ini menjadi peluang bagi mafia narkoba untuk menyelundupkan narkotika ke wilayah Indonesia.

3. Peraturan perundang-undangan tentang narkotika belum mengakomodasi berbagai jenis narkotika dan jenis prekursor narkotika baru (new psychoactive substances)

Perkembangan narkotika bersifat sangat masif. Bahkan ditengarai muncul narkotika jenis baru yang sebagian besar belum terdeteksi kandungannya. Dari jumlah 200 narkotika jenis baru yang beredar di dunia, sebanyak 68 jenis narkoba telah beredar di Indonesia (https://news.idntimes.com, 27 Desember 2017). 68 jenis narkotika ini memiliki rincian 60 narkoba sudah masuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dan Undang-Undang Narkotika, sisanya belum masuk kedalam ketentuan peraturan baik dalam bentuk UU maupun Peraturan Menteri (http://nasional.republika.co.id, 30 Oktober 2017). Golongan narkotika dan jenis prekursor narkotika baru (new psychoactive substances) sudah pasti dilarang penyebarannya di Indonesia. Hal ini menunjukkan lemahnya hukum di Indonesia.

4. Kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai pengguna narkotika

BNN juga telah menjalin kemitraan dengan Puslitkes Universitas Indonesia dalam rangka penelitian narkotika yang menghasilkan data jumlah pengguna narkoba pelajar dan mahasiswa mencapai 27,32 persen sepanjang tahun 2016 (http://nasional.republika.co.id, 30 Oktober 2017 ). Sasaran narkotika yaitu pelajar sampai di pelosok daerah memerlukan pendekatan pendidikan, baik dalam bentuk sosialisasi maupun kurikulum bagi pelajar SD, SMP, dan SMA. Kerjasama dan pengawasan juga masih sangat diperlukan bersama BNN di daerah. Begitu pula perlu sosialisasi yang intensif tentang narkotika di kalangan mahasiswa.

5. Kelembagaan BNN

Berkaitan dengan kelembagaan BNN, disebutkan bahwa lembaga BNN di daerah provinsi dan Kabupaten/Kota masih belum optimal di berbagai daerah dikarenakan lembaga ini masih belum terbentuk. Berdasarkan data BNN tahun 2017 disebutkan bahwa kebutuhan di daerah seharusnya terbentuk 34 BNN provinsi dan 514 BNN kabupaten/kota. Data yang berkembang sampai tahun 2016 menyebutkan telah terbentuk 34 BNN provinsi dan 145 BNN kabupaten/kota, sedangkan yang belum terbentuk 369 BNN kabupaten/kota (www.bnn.go.id). Diperlukan, upaya dan political will yang sangat kuat untuk segera memprioritaskan berdirinya lembaga perwakilan BNN di Kabupaten/ Kota khususnya daerah yang dikategorikan rawan penyebaran narkotika.

7. Penegakan Hukum Penanganan Narkotika

a. Kualifikasi Pemidanaan untuk Pelaku Pidana Narkotika

Dalam rumusan Pasal 112 dan Pasal 114 UU Nomor 35 Tahun 2009 seringkali dikeluhkan para penegak hukum. Rumusan kualifikasi ini menyamakan setiap perbuatan pidana narkotika dengan pidana penjara tanpa memperhatikan niat atau tujuan setiap perbuatan pidana. Rumusan ini dianggap kurang menjunjung asas keadilan dan objektifitas karena tidak membedakan pengguna dan pengedar dan menjatuhkan hukuman.

b. Efek Jera Penegakan Hukum
Sampai saat ini ketentuan pidana mati dalam kasus narkotika belum menimbulkan efek jera karena pemberlakuannya yang belum optimal Selain itu, kejahatan narkotika belum diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga kebijakan remisi masih diberlakukan bagi pelaku kejahatan narkotika yang menjadi celah hukum keringanan bagi tersangka narkotika.

c. Mentalitas Aparat Penegak Hukum
Oknum aparat penegak hukum ditengarai terlibat kejahatan narkotika sebagai pengguna, perantara, ataupun bagian dari penjual dan pengedar narkotika. Hal ini yang menyebabkan tujuan penegakan hukum dan ketertiban belum optimal dalam penghapusan narkotika.

8. Program Rehabilitasi

Masih munculnya permasalahan berkaitan rehabilitasi di daerah yaitu jumlah dan sarana yang terbatas, pendekatan religi belum digunakan dan sinergitas antar instansi masih lemah. Selain itu payung hukum program rehabilitasi tersebar di Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan BNN yang berimplikasi belum optimal di daerah.

Berdasarkan seluruh hasil pengawasan berkenaan dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di atas, Komite III DPD RI merekomendasikan hal-hal berikut kepada pemerintah agar Pemerintah melakukan:

1. Melakukan percepatan revisi atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang telah masuk dalam daftar prolegnas dengan mengakomodasi berbagai pembenahan kekurangan UU Narkotika sebagaimana diuraikan di bagian atas.

2. Percepatan program pembangunan alternatif (alternative development) sebagai subtitusi pertanian tanaman sumber bahan baku narkotika sekaligus menolak segala aksi yang mengupayakan pelegalan ganja di Indonesia;

3. Pemetaan daerah perbatasan laut dan darat yang dikategorikan rawan transaksi perdagangan gelap narkotika serta peningkatan sistem pengawasan dan keamanan terpadu bersama pemangku kepentingan lainnya di pos lintas batas darat dan laut, pelabuhan peti kemas, pelabuhan-pelabuhan kecil, dan bandara udara;

4. Pencegahan peredaran narkotika jenis baru dan jenis prekursor narkotika baru (new psychoactive substances) melalui perangkat norma hukum yang lebih komprehensif berupa evaluasi tahunan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan terkait jenis narkotika, serta penindakan secara tegas industri nonfarmasi yang dikategorikan melakukan penyimpangan produksi precursor narkotika baru;

5. Penyusunan program pembinaan berkelanjutan untuk generasi emas Indonesia yang bebas narkotika melalui desain kurikulum khusus pencegahan penyalahgunaan narkotika dari peserta didik tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi diperlukan penguatan koordinasi dengan BNN untuk melakukan pengawasan melekat secara berkala;

6. Pembenahan kelembagaan BNN berupa (a) percepatan pembentukan lembaga Badan Narkotika Nasional di tingkat kabupaten/kota dengan mengedepankan skala prioritas kabupaten/kota yang memiliki fasilitas bandara dan pelabuhan, wilayah perbatasan, peredaran dan pengguna narkotika tinggi, serta peningkatan capaian target terukur program pemberantasan narkotika; (b) pengoptimalan dukungan anggaran yang memadai, baik yang bersumber dari APBN maupun APBD untuk pemenuhan dukungan sarana prasararana yang diperlukan dalam pemberantasan kejahatan narkotika; dan (c) penguatan status hukum kelembagaan BNN yang setara dengan Forkompinda di daerah sehingga dapat berdampak pada penguatan anggaran dan pengoptimalan koordinasi dengan pemangku kepentingan;

7. Pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencegah dan memberantas kejahatan narkotika dengan membentuk satuan gugus tugas (satgas) dari tingkat provinsi sampai desa;

8. Perbaikan sistem pengawasan terhadap peredaran narkotika di lapas dengan mempertimbangkan (1) pembentukan lapas khusus narkoba; (2) peningkatan jumlah petugas lapas; dan (3) pelaksanaan inspeksi mendadak (sidak) secara berkala;

9. Melakukan pengevaluasian dan pembenahan mentalitas aparat penegak hukum di dalam pemberantasan kejahatan narkotika dengan mempertimbangkan: (i) kompetensi, kuantitas, dan kualitas aparat penegak hukum; (ii) penguatan karakter aparat penegak hukum; (iii) kesejahteraan aparat penegak hukum; dan (iv) penggunaan hasil kejahatan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana narkotika sebagai alternatif dukungan pendanaan bagi program dan kegiatan BNN yang tidak dianggarkan oleh APBN.

10. Program Rehabilitasi melalui (a) peningkatan anggaran sarana prasarana pusat rehabilitasi yang dialokasikan, baik dalam APBN maupun APBD; (b) pengadopsian pendekatan religi di pusat rehabilitasi narkotika milik pemerintah; dan (c) pembentukan forum koordinasi antarinstansi yang melakukan rehabilitasi bagi narkotika (BNN, Kemenkes, dan Kemensos).(analisa, sumber timahli komisi III dpdri)