Anak Tiri Merdeka Belajar: Guru TK Honorer

Foto Deza Putra Adelyen

Ada yang keliru dalam cara kita membangun pendidikan. Sangat keliru. Seperti membangun rumah dari atap, bukan dari fondasi. Merdeka Belajar, slogan yang digadang-gadang sebagai revolusi pendidikan, ternyata hanya gemerlap retorika ketika berhadapan dengan realitas pahit di lapangan. Di sana, di sudut-sudut kelas TK yang bercat kusam, guru-guru honorer masih bertahan dengan gaji yang tak pantas disebut gaji. Rp100.000 hingga Rp250.000 sebulan. Angka yang bahkan tak cukup untuk membeli sembako sepekan.

Ini bukan soal kesejahteraan semata. Ini soal kepalsuan narasi besar yang bicara tentang kemerdekaan, sementara para guru yang mengajar di garda paling depan—tempat di mana karakter dan jiwa anak pertama kali dibentuk, justru dijadikan budak sistem. Merdeka katanya. Tapi siapa yang merdeka?

Pemerintah rajin bicara tentang kurikulum, tentang digitalisasi, tentang platform pembelajaran daring yang canggih. Tapi diam tentang gaji guru TK honorer yang mencapai 70 persen dari total guru PAUD di Indonesia. Diam tentang nasib mereka yang setiap hari harus memilih: beli buku untuk mengajar atau beli beras untuk makan. Ini bukan dilema yang harus dihadapi oleh orang yang tugasnya mencerdaskan anak bangsa. Tapi inilah Indonesia, di mana pahlawan tanpa tanda jasa benar-benar dijadikan pahlawan tanpa penghasilan.

Data Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (HIMPAUDI) mencatat, lebih dari 70 persen guru PAUD menerima gaji di bawah Rp250.000 per bulan. Sementara di Jember, sebagian besar guru PAUD bahkan digaji di bawah Rp700.000, jauh dari upah minimum regional. Mereka mengajar anak-anak usia emas, masa paling krusial dalam perkembangan kognitif dan emosional manusia, dengan bekal seadanya. Tanpa jaminan. Tanpa kepastian.

Lalu pemerintah bersorak: "Kami telah menaikkan tunjangan profesi guru!" Tapi tunggu dulu. Tunjangan itu hanya untuk guru yang sudah tersertifikasi, yang sudah ikut Pendidikan Profesi Guru (PPG). Bagaimana dengan guru TK honorer yang gajinya pas-pasan, yang harus membiayai hidup keluarga dari uang yang tak seberapa, lantas diminta kuliah lagi untuk mendapat sertifikat? Apakah ini bukan ironi yang menyakitkan?

Jerat Regulasi yang Tak Adil

Seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) seharusnya menjadi pintu harapan. Tapi faktanya, pintu itu penuh ganjalan. Syarat linieritas ijazah menjadi tembok pertama. Banyak guru TK yang telah mengabdi puluhan tahun memiliki ijazah yang dianggap tak sesuai. Untuk memperbaikinya, mereka harus kembali kuliah dengan biaya sendiri. Berapa? Puluhan juta. Dari mana uangnya? Dari gaji Rp200.000 per bulan?

Formasi yang terbatas menjadi tembok kedua. Kuota PPPK untuk guru TK selalu lebih sedikit dibanding kebutuhan riil. Dalam seleksi PPPK 2024, hanya sekitar 175.000 guru yang diangkat, sementara target sejuta guru yang dijanjikan pemerintah sejak 2021 masih jauh panggang dari api. Tahun 2025 dijanjikan ada seleksi lagi, tapi dengan pola yang sama: persyaratan ketat, formasi terbatas, harapan yang menggantung.

Ini bukan sekadar masalah teknis. Ini masalah keberpihakan. Negara memilih untuk mempersulit mereka yang seharusnya dipermudah. Masa pengabdian bertahun-tahun dikalahkan oleh syarat administratif yang kaku. Seolah loyalitas dan dedikasi bisa digantikan oleh selembar ijazah linier.

Paradoks Merdeka Belajar

Merdeka Belajar menuntut guru kreatif, inovatif, dan berpusat pada anak. Tapi bagaimana seorang guru bisa kreatif kalau setiap hari ia cemas memikirkan uang sewa rumah? Bagaimana ia bisa fokus pada perkembangan anak kalau ia sendiri tak tahu kapan gaji bulan ini cair?

Ini paradoks yang kejam. Kita meminta guru untuk membangun fondasi pendidikan nasional dengan tangan kosong. Kita meminta mereka untuk menciptakan generasi emas dengan kondisi yang tak lebih dari perunggu. Dan ketika mereka gagal, kita menyalahkan kualitas mereka, bukan sistem yang membuat mereka gagal.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini