Oligarki vs Partisipasi: Siapa Anti-Konstitusi?

Foto Deza Putra Adelyen

Oleh: Deza Putra Adelyen, Mahasiswa Ilmu Politik

Ruang publik kita belakangan ini disuguhkan oleh narasi yang membenturkan dua konsep yang seharusnya saling menguatkan: supremasi konstitusi versus apa yang disebut sebagai supremasi surveyor dan relawan. Narasi ini, menurut saya, adalah sebuah mistifikasi (membingungkan dengan sengaja) atau pengaburan masalah. Menjadi berbahaya karena menciptakan dikotomi yang salah, seolah-olah partisipasi publik (yang diukur survei dan digerakkan relawan) adalah antitesis dari tatanan hukum.

Sebagai mahasiswa Ilmu Politik yang mempelajari sistem hukum indonesia, saya melihat ancaman terhadap konstitusi justru tidak datang dari partisipasi publik yang terukur. Ancaman terbesar dan paling “polarisasi ekstrem” datang dari arah yang berlawanan, yaitu “hegemoni oligarki.” Ini adalah ancaman yang bekerja secara senyap dari dalam sistem.

Konstitusi kita, UUD 1945, jelas menempatkan kedaulatan di tangan rakyat (UUD 1945, Pasal 1 ayat 2). Artinya, partisipasi publik bukan sekadar "pemberian" dari negara, melainkan hak konstitusional yang mendasar. Para ahli hukum tata negara membedakan partisipasi ini menjadi dua: partisipasi aktif (terlibat dalam proses input kebijakan) dan partisipasi pasif (hanya menaati output atau peraturan) (A. Rahman H.I, Tipologi Partisipasi, 2007). Konstitusi kita jelas menghendaki partisipasi aktif, di mana publik terlibat dalam perumusan kebijakan.

Masalahnya, dominasi oligarki di negara ini secara sistematis membajak partisipasi aktif tersebut. Kita tidak sedang berhadapan dengan rule of law (supremasi hukum), melainkan praktik rule by law (hukum sebagai alat kekuasaan). Dalam kondisi ini, hukum hanya dipakai sebagai sarana melegitimasi tindakan kelompok penguasa yang keliru, di mana hukum tidak lagi berorientasi pada keadilan (Jurnal Crepido, Hegemoni Oligarki dan Ambruknya Supremasi Hukum, 2022). Hukum menjadi "tunggangan politik" yang dikendalikan segelintir orang.

Publik dapat melihat pola ini dengan jelas dalam proses legislasi. Ambil contoh perumusan Undang Undang Cipta Kerja. Proses ini dikritik keras karena disusun secara tergesa gesa, minim partisipasi publik, serta sarat akan muatan yang menguntungkan pemodal besar. Penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal Serambi Hukum (Vol 18, No 01, Tahun 2025) menjelaskan bahwa arah reformasi hukum di Indonesia "justru menunjukkan kecenderungan regresif akibat dominasi kepentingan oligarkis yang terwujud dalam aliansi strategis antara elite politik dan korporasi." Masukan dari akademisi dan masyarakat sipil diabaikan; proses input direduksi menjadi formalitas belaka. Ini adalah praktik anti konstitusi yang sesungguhnya, karena mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang diamanatkan UUD 1945.

Di sinilah letak lucunya. Ketika partisipasi "aktif" yang prosedural dan konstitusional ini ditutup rapat oleh aliansi oligarkis, surveyor dan relawan justru hadir untuk mengisi kekosongan itu. Survei adalah alat ilmiah untuk mendengarkan input publik yang diabaikan oleh para penguasa. Relawan adalah manifestasi dari hak partisipasi kolektif. Menuduh surveyor dan relawan sebagai anti konstitusi adalah salah sasaran. Mereka adalah reaksi terhadap matinya partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Namun, sebagai Mahasiswa Ilmu Politik, juga harus kritis. Ada bentuk partisipasi kedua yang sama berbahayanya dengan oligarki, yaitu “partisipasi populis”. Bentuk partisipasi yang berbasis mobilisasi massa, seringkali anti pluralis, dan bertujuan menekan institusi negara. Populisme ini berbahaya karena mengancam pluralitas dan cenderung memarjinalkan mekanisme konstitusional demi kehendak mayoritas mentah (Robert W. Hefner, Gelombang Populisme, Ancaman Bagi Demokrasi, 2017). Kita melihat wujudnya dalam bentuk tekanan massa terhadap independensi yudikatif, di mana gerakan populis mencoba mengintimidasi pengadilan agar keputusannya sesuai tafsir mereka, bukan tafsir konstitusi (Studi Jurnal Consrev, Threat to Indonesia's Constitutional Court Independence Posed by Religious Populist Movements and its Implication Towards Human Rights, 2023).

Jadi, siapa yang anti konstitusi? Jawabannya bukan "partisipasi" yang diwakili surveyor, relawan dan publik. Musuh konstitusi ada dua dan mereka saling berkaitan. Pertama, “dominasi oligarki” yang mengorupsi hukum dari dalam dan menutup ruang partisipasi prosedural. Kedua, “partisipasi populis” yang menyerang independensi institusi hukum dari luar.

Pilu, hegemoni oligarki itulah yang melahirkan populisme. Ketika aliansi politik dan korporasi yang pragmatis menyumbat jalur partisipasi konstitusional, mereka membuka pintu bagi ledakan partisipasi populis yang marah dan anti institusional. Mempertentangkan surveyor dan relawan dengan konstitusi hanya akan mengaburkan dua ancaman nyata ini. Persaingan sehat antar relawan atau rilis data publik bukanlah ancaman. Ancaman sebenarnya adalah mereka yang menutup partisipasi atas nama hukum, dan mereka yang menyerang hukum atas nama massa. (***)

Bagikan

Opini lainnya
Terkini