Pers kita sedang tidak baik-baik saja. Seperti perahu yang oleng di tengah badai, ia terombang-ambing di lautan kepentingan, tak jelas hendak menuju dermaga harapan atau karam di karang perpecahan.
Di tahun yang seharusnya penuh refleksi dan harapan bagi masa depan jurnalisme, kita justru dihadapkan pada ironi.
Di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) terjadi retakan yang kian melebar, terbelah dalam dua kubu Hendri CH Bangun di satu sisi, Zulmansyah di sisi lain keduanya saling mengklaim kebenaran, keduanya merasa paling berhak membawa obor kepemimpinan.
Terlepas apakah ada persoalan hukum atau tidak, itu domain tersendiri, biarkan hukum yang bicara.
Lalu, bagaimana kita bisa bicara tentang masa depan pers, ketika rumahnya sendiri dihantam prahara?
Bagaimana wartawan dapat menyuarakan kepentingan publik jika suara mereka terpecah di ruang organisasi yang seharusnya menjadi pelindung, bukan medan konflik?Momentum Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari seharusnya menjadi momen suci untuk refleksi, bukan sekadar seremoni. Ini bukan lagi soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini tentang bagaimana kita semua bisa menyelamatkan pers dari kubangan krisis ini.
Sebab, di tengah masyarakat yang semakin cerdas dan kritis, pers harus kembali menjadi mercusuar yang menuntun, bukan malah ikut tersesat dalam kegelapan.
Mengurai Benang Kusut
Menyelesaikan konflik ini bukan perkara mudah, tetapi bukan pula mustahil.