Di tengah badai yang menghantam industri tekstil nasional, satu nama kini menjadi titik harapan: Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Lembaga yang dipimpin oleh Tritunggal profesional—Rosan Roeslani, Dony Oskaria, dan Pandu Patria Sjahrir—ini digadang-gadang mampu menemukan jalan keluar bagi PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), raksasa tekstil yang kini berada di jurang kehancuran.
Dari berbagai literatur dan diskusi dengan beberapa ekonom, saya mencoba menyederhanakan tulisan ini, seraya ditemani secangkir kopi.
Dari Kejayaan Menuju Keterpurukan
Sejak berdiri pada tahun 1966, Sritex menjadi simbol kejayaan industri tekstil nasional.
Dari pabriknya di Sukoharjo, Jawa Tengah, perusahaan ini menyuplai seragam militer ke lebih dari 30 negara, termasuk NATO, serta memproduksi pakaian untuk merek global seperti H&M.Namun, bayang-bayang utang yang membesar menjadi bom waktu yang akhirnya meledak.
Pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Sritex pailit. Dengan utang yang mencapai Rp 24,84 triliun, perusahaan ini tak lagi mampu bertahan di tengah penurunan permintaan global, hantaman pandemi, dan serbuan produk impor murah yang menghancurkan daya saing industri lokal.
Tsunami PHK dan Tutup Total
Tak ada yang lebih memilukan dari dampak yang dirasakan pekerja. Pada Rabu, 26 Februari 2025, sebanyak 10.665 karyawan Sritex Group menerima kabar pahit: PHK massal.