Keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman, ruang tercurahnya kasih saying, dan perlindungan. Namun, bagaimana jika batas antara kasih dan hasrat menjadi kabur?
Belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh kemunculan sebuah grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah.” Grup ini memicu kekhawatiran luas karena kontennya menormalisasi hasrat seksual terhadap anggota keluarga sendiri.
Beberapa tangkapan layar yang tersebar di media sosial sungguh mengiris hati, mulai dari seorang ayah dengan bangga menyampaikan niat jahatnya terhadap anak kandung yang baru berumur dua tahun, ayah yang mengakui perbuatannya saat sang istri tidak berada di rumah, atau pengguna lainnya yang menyebarkan foto anak dan istri.
Tanpa sadar, mereka telah menjelma menjadi predator seksual.
Mereka tak peduli siapa objek fantasinya, bahkan jika itu adalah darah daging sendiri.
Menurut laporan, grup ini sempat memiliki lebih dari 40.000 anggota sebelum akhirnya ditutup oleh pihak Meta karena melanggar kebijakan komunitas. Fenomena ini bukan sekadar konten menyimpang di dunia maya.Dalam kenyataannya, fantasi semacam ini dapat berkembang menjadi tindakan nyata berupa kekerasan seksual dalam keluarga atau yang kita kenal sebagai inses.
Jika kita merujuk pada data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sepanjang tahun 2025 saja telah tercatat 9.216 kasus kekerasan, dengan 3.895 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual.
Ironisnya, sebagian besar kasus tersebut terjadi di lingkungan rumah tangga, tempat yang seharusnya paling aman bagi anak-anak dan perempuan.
Fantasi menyimpang ini adalah benih dari tindakan nyata. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, kekerasan dalam ranah privat selalu mendominasi jumlah laporan kekerasan.