Orangtua dan Ke-Dunguan Anak-anak Indonesia

oleh -701 views
oleh
701 views
Penulis bersama muridnya. (dok)

Oleh: Ilham Sahruji
Ketua Umum HIKADU, Mahasiswa AFI UIN SMDD Bukittinggi

ADA banyak faktor penyebab mengapa anak-anak kecil, dan bahkan yang sudah dewasa di Indonesia, umumnya tidak percaya diri.

Salah satunya adalah terkait dengan, relasi orangtua dan anak. Khususnya tentang bagaimana, kebiasaan-kebiasaan orangtua Indonesia dalam membuat anaknya menjadi terbelakang.

Tulisan ini akan membahas fenomena umum dekat dengan lingkungan kita, sangat erat dengan kebiasaan para orangtua di Indonesia. Biasanya dialami oleh anak-anak kelahiran tahun 50-an hingga anak-anak zaman sekarang. Bahkan penulis sendiri, pembaca juga mungkin pernah mengalami hal serupa.

Pernah lihatkah, ada orang tua menggendong anaknya datang ke warung ajak anaknya jajan dan si orang tua nyuruh anaknya mau jajan sesuatu. Lalu anaknya mau permen, ternyata dilarang karena “nanti giginya bisa bolong”.

Ada anak nunjuk mainan, “eh jangan itu di rumah udah banyak mainan kemarin di rumah”.  Akhirnya si anak bingung lagi mau itu nujuk pada Chiki eggak boleh, “masih pagi”, nunjuk es krim gak boleh, “itu kan dingin” dan seterusnya.

Saya sering lihat pemandangan yang seperti itu. Karena saya tinggalnya di rada kampung. Ini sebenarnya hal yang terlihat remeh temeh, ini tampak seperti hal yang biasa saja.

Tapi tahukah, ini sebenarnya salah satu wujud atau salah satu manifestasi dari pola pikir dan mentalitas orangtua yang salah. Yang menempatkan anak-anak itu sebagai anak-anak yang tidak bisa mengambil keputusan .

Jadi, si anak itu tidak pernah dihargai keputusannya, bahkan tidak pernah dimintai pertimbangannya untuk sesuatu. Dan ketika si anak dimintai pertimbangan, untuk melakukan sesuatu dia tidak mendapatkan perhatian apapun tidak mendapatkan penghargaan atas keputusannya. Seperti tidak ada diskusi dalam hal yang terlihat remeh temeh, tapi dampaknya sangat luar biasa.

Pertanyaannya, kenapa orang-orang di Indonesia itu dianggap bodoh? salah satu alasannya adalah karena orang di Indonesia itu tidak pernah mau bertanya. Contoh lainnya; jika di sekolah guru menanyakan ke murid, pasti semuanya senyap, semuanya hening. Bahkan ketika ada murid yang belum paham, meskipun dalam hatinya ingin bertanya. tetap saja si murid tadi tidak mau bertanya.

Mengapa seperti itu? ya tentu saja, karena sejak kecil dia dibiasakan untuk tidak mengambil keputusan. Sekalinya dia mengambil keputusan, dia disebut bahwa keputusannya itu salah. Karena itu dia senyap di kelas.

Contoh lain; semisal ketika si anak melaksanakan ujian, banyak anak-anak yang membuat lotre a.b.c.d dengan kancing bajunya. Sebenarnya si anak itu tidak punya pilihan untuk mencontek. Karena di sekelilingnya adalah anak-anak yang lebih bodoh daripada dirinya. Coba kita perhatikan lagi, anak-anak seringkali tidak pede kalau dia tidak melihat keputusan orang lain.

Dampaknya adalah, si anak akhirnya tidak mau berinisiatif. Tidak mau mengajukan usulan, tidak mau mengajukan pendapat.

Sepintar apapun, sehebat apapun di antara kita, banyak orang-orang di Indonesia itu tidak mau berinisiatif dan maju ke depan.

Kok bisa seperti itu ya?

Kita garisbawahi kembali, karena sejak kecil si anak itu tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan. Kalaupun dia diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan, dia tidak diberikan apresiasi atas keputusannya itu.

Kita gunakan contoh yang lain; wujud perbuatan yang lain dalam mentalitas yang salah . Misalkan ketika si anak ingin milih jurusan sekolah. Orangtuanya yang lebih ribut daripada si anaknya. Orangtuanya ingin si anak masuk ke pesantren tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan si anak. Akhirnya si anak sering cabut melompat pagar pesantren, biasanya seperti itu.

Perhatian itu adalah salah satu wujud dari relasi manusia, perhatian itu adalah salah satu wujud dari sosialisasi, dan perhatian itu sebenarnya adalah hal yang membuat manusia menjadi manusia.

Jika manusia itu hidup tanpa manusia yang lain, maka dia akan sama seperti hewan. Ketika si manusia itu membutuhkan perhatian, kemudian dia tidak mendapatkan perhatian, padahal itu adalah kebutuhan fundamental. Itu di ibaratkan seperti kita butuh makan tapi gak dikasih makan. Dan akhirnyaberpotensi untuk mencuri makanan.

Begitu juga halnya kepada anak-anak, yang ketika si anak kecil itu membutuhkan perhatian, tapi dia tidak mendapatkannya dia harus berusaha untuk mencuri perhatian itu. Ia akan mencari bagaimana caranya bisa mendapatkan kebutuhannya tersebut. Seperti marah-marah, membanting sesuatu, atau nangis berlebihan.

Jika pembaca artikel merasa bahwa, ternyata mengalami hal-hal demikian karena disebabkan korban orangtuanya. Maka jangan menyalahkan menyalah mereka. Akan tetapi, kita harus fokus bagaimana caranya membangun masa depan. Jika kita nanti punya anak, pastinya kita tidak melakukan hal yang sama seperti kejadian terdahulu.

Ingatlah, semuanya belum selesai, semuanya belum berakhir, semuanya bisa diperbaiki jika kita menyingkirkan sedikit egosentrisme kita.

Selama dunia ini masih berputar, maka masih ada harapan.(analisa)