Paradox Kebijakan Affirmative Action

oleh -202 views
oleh
202 views
Nisa Yiliani, Mahasiswa FISIP UNAND. (dok)

Oleh: Nisa Yiliani

KESETARAAN dan keterlibatan perempuan dalam politik sudah lama menjadi masalah di beberapa negara. Sehingga beberapa negara membuat kebijakan yang memberikan kesempatan bagi perempuan masuk ke dunia politik.

Salah satunya adalah Kebijakan afirmativ action. kebijakan ini merupakan kebijakan yang akan menghilangkan diskriminasi antara kamu laki –laki dan perempuan. Perempuan diberi kesempatan untuk memenuhi 30 persen kuota partai poitik yang akan maju pada pemilihan.

Meskipun sesungguhnya partisipasi perempuan tidak selalu diindikasikan dari jumlah anggota perempuan yang berada di parlemen, namun angka kursi yang didapatkan perempuan sering menjadi tolak ukur sejauh perempuan dapat berkontribusi dalam badan perwakilan

Kebijakan affirmative action memang menjadi sebuah dilema bagi Indonesia. Mengaca pada Pemilu 1999, jumlah pemilih perempuan mencapai angka 57% namun jumlah pemilih mayoritas itu tidak diikuti dengan jumlah anggota parlemen laki-laki pada Pemilu 1999.

Pemilu 2004 juga tidak jauh berbeda, di mana persentase wakil perempuan di parlemen amat kecil. Hal inilah yang kemudian memunculkan anggapan bahwa Indonesia mengadopsi politik patriarki. Akibatnya, budaya patriarki yang menghalangi keterwakilan perempuan dalam politik harus dilawan dengan affi rm ative action sebab jika dibiarkan, maka diskriminasi akan terus terjadi dan perempuan akan tetap kaum termarginalkan

Pada pemilu 2024,merupakan kelima kalinya kebijakan ini akan diterapkan. sejak berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dimana partai politik peserta Pemilu wajib memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pertanyaannya apakah kebijakan afirmativ action sudah bisa meningkatkan kontribusi perempuan dalam politik?

Realitanya keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif tidak meningkat secara signifikan. Terlihat pada Hasil Pemilu 2004 anggota Parlemen perempuan hanya 11,8 % dan Pemilu 2009 18 %.1 Sementara hasil pemilu 2014 anggota parlemen perempuan hanya 14 %.2. selain itu partai politik tidak sungguh – sungguh mengusung calon perempuan.

Mereka hanya mengusung perempuan sebagai formalitas saja, dan perempuan yang diusung terkesan dipaksakan, karena banyak ditemukan kader perempuan yang diusung adalah kader-kader baru, bukannya kader yang memang militan dan berproses didalam parpol tersebut.

Terlebih lagi peraturan ini tidak mengharuskan partai politik melaksanakan ketentuan tersebut dan tidak ada sanksi bagi parpol yang tidak melaksanakannya. Hal ini membuka peluang bagi parpol-parpol yang selama ini didominasi laki-laki untuk mengabaikan aturan itu, dan pada akhirnya, keterwakilan perempuan tetap tidak tercapai.

Ada beberapa negara yang juga sudah menetapkan peraturan ini seperti di india. masyarakat India adalah masyarakat yang menerapkan kasta tertentu dalam tatanan sosial.

Tidak mengherankan bahwa untuk menetralisir tindakan diskriminatif negatif dalam hidup masyarakat, India kemudian mengadopsi kebijakan diskriminasi positif dalam konstitusi.

Pasal 330 dan Pasal 332 Konstitusi India menegaskan bahwa ada kuota khusus yang disiapkann untuk kelompok perempuan. namun, jaminan ini belum memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan keterwakilan politik kaum minoritas atau kaum perempuan dalam politik.Uniknya, kalangan aktivis perempuan di India menganggap orang yang menguggat kesetaraan perempuan berarti mengakui telah terjadi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Senada dengan itu perspektif lain juga mengatakan, kebijakan afi rmatif bermakna pelemahan dan degradasi kepercayaan terhadap kemampuan wakil rakyat dari kalangan perempuan. Hak istimewa yang diberikan kepada caleg perempuan sesungguhnya malah bisa terbaca sebagai bentuk pelecehan atas kemampuan politik perempuan.

Sulit dibayangkan bagaimana jadinya jika caleg yang tidak mendapat kepercayaan rakyat dan tak cukup punya kemampuan politik, bisa melenggang menjadi wakil rakyat hanya karena jenis kelaminnya perempuan. Bagi perempuan bermartabat, menerima perlakuan khusus seperti itu adalah bentuk pemakzulan terhadap kemampuan politiknya meraih simpati rakyat secara langsung.

Padahal sesungguhnya masih banyak caleg perempuan berkualitas dan bervisi jelas. Untuk itu, bisa disimpulkan ketiadaan aturan affirmative action dan penetapan caleg dengan sistem suara terbanyak belum tentu akan merugikan caleg perempuan yang sudah jauh-jauh hari mengantisipasinya.

Perempuan juga belum tentu diuntungkan sama sekali secara otomatis dengan kebijakan affrimatif. Sebab dalam hal tertentu, kualitas kadang jauh lebih penting dari sekedar kuantitas. Hal ini menimbulkan paradox bagi tujuan kebijakan affirmative action yang ingin memperbanyak keterwakilan perempuan pada lembaga perwakilan.(analisa)