Partisipasi Perempuan dalam Dunia Politik di Ranah Minang Sumatera Barat

oleh -557 views
oleh
557 views
Intan Ardiana, Mahasiswa FISIP UNAND. (dok)

Oleh: Intan Ardiana

Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UNAND

BERBICARA politik bukan hanya berbicara tentang kekuasaan dan pengaruh yang cenderung menguntungkan segelintir pihak. Namun, politik juga harus berbicara tentang partisipasi dan representasi.

Partisipasi dan keterwakilan dalam Pertanyaannya adalah bagaimana politik memiliki kemauan untuk mengakomodasi keragaman masyarakat yang selama ini terpinggirkan, terutama wanita.

Keterwakilan perempuan di panggung politik dibuktikan dengan partisipasi perempuan dalam legislatif dalam rangka menciptakan pembuatan kebijakan publik yang ramah dan peka gender.

Di Provinsi Sumatera Barat keterwakilan perempuan di parlemen atau DPRD menunjukkan penurunan. Di beberapa kabupaten/kota juga terjadi penurunan jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi DPRD.

Bahkan terdapat kabupaten yang tidak memiliki wakil perempuan di DPRD, seperti Kabupaten Mentawai dan Kabupaten Solok Selatan. Namun di beberapa kabupaten/kota juga terjadi peningkatan jumlah anggota DPRD perempuan seperti Kab. Pasaman, Kab. Lima Puluh Kota, Kab. Pesisir Selatan, Kab. Solok, Kab. Sijunjung, dan Kota Padang.

Salah satu penyebab penurunan tersebut ialah kuatnya kultur patriakhi, keterbatasan perempuan, kurangnya pemahaman, lemahnya daya saing perempuan dan budaya diam.

Kuatnya budaya patriakhi berakar pada perspektif atau pandangan tentang kondrat, tugas dan peran perempuan secara tradisional meniscayakan bahwa peranan fungsi perempuan ditetapkan sebagai pelaku peran reproduksi dan peran domestik lainnya. Ketertinggalan perempuan juga disebabkan oleh keterbatasan dan ketidakmampuan perempuan untuk berkompetisi dengan laki-laki.

Dalam Budaya Matrilineal, perempuan adalah Bundo Kanduang, dan Bundo Kanduang adalah raja, dan raja pasti berkuasa. Disini jelas kontribusi Budaya Matrilineal sangat berpengaruh bagi kaum perempuan ketika mencalonkan diri sebagai legislatif.

Namun di dalam partai hampir sering terjadi persaingan yang tidak sehat dimana kaum laki-laki berusaha untuk memperlemah posisi perempuan. Jika dilihat dari perspektif adat dan budaya Minang sendiri, peranan perempuan Minang hingga kini terkesan paradoksial.

Sekalipun Minangkabau menganut sistem Matrilineal, tetapi di sisi lain perempuan pada dasarnya tetap tidak berdaya menghadapi dominasi budaya patriarki yang masih dominan dalam masyarakat lokal dan Nusantara.

Berbicara tentang dominasi budaya patriarkhi yang masih dominan maka tidak lepas dari adanya isu kesetaraan gender dimana dalam konteks politik demokrasi menjadi sangat penting. Prinsipnya, setiap bagian dari masyarakat (tak peduli latar belakang jenis kelamin, suku, ras, agama, dan golongan) harus diutamakan dalam aksesnya terhadap jabatan publik, baik itu melalui sistem pemilihan atau bukan. Argumentasi lain yang sejalan, bahwa banyak masalah yang terkait perempuan tidak pernah serius dibicarakan para pria atau diberi prioritas mamadai dalam persaingan memperebutkan jabatan dan pendanaan publik.

Secara realistis, perjuangan meningkatkan partisipasi perempuan menemui banyak kendala. Walaupun secara kuantitas jumlah perempuan melebihi laki-laki, namun perempuan semakin menunjukkan ketidak berdayaan, karena perannya di berbagai lembaga politik formal atau pengambilan keputusan politik, baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif masih belum terwakili secara seimbang.

Kondisi tersebut disebabkan karena adanya budaya patriakhi yang memang harus diakui secara kuat, telah mencemari seluruh dimensi kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya sistim politik yang kita miliki.

Sebagian besar masyarakat bahkan perempuan itu sendiri masih banyak memandang pembagian kerja secara seksual, ada perbedaan yang jelas dan tegas tentang wilayah kerja yang menjadi milik perempuan dan laki-laki. Kedua, berkaitan dengan kualitas kaum perempuan sendiri yang banyak tertinggal dibandingkan dengan laki-laki.

Walaupun ini adalah persoalan klasik namun tidak dapat dianggap sederhana. Ketiga, terkait dengan peran ganda yang harus dimainkan oleh perempuan, yakni sebagai perempuan yang tidak dapat melepaskan diri dari fungsi-fungsi reproduksi yang tidak bisa diwakilkan.

Terbatasnya partisipasi perempuan dalam politik tanpak pada tidak terpenuhinya kouta perempuan pada pemilihan umum. Tidak terpenuhinya kuota tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu seperti kesempatan yang diberikan partai politik berdasarkan komposisinya sangat minim sekali.

Kemudian terbatasnya pengetahuan perempuan dalam bidang politik, lalu beban kerja perempuan yang banyak sekali menjadi penyebab kurangnya kesempatan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dan aktif dalam politik. Disamping terbatasnya pengetahuan dan kemampuan perempuan dalam politik kegiatan politik tidak cocok dengan fitrah kaum perempuan disamping keterbatasan kemampuan ekonomi perempuan juga menjadi penyebab rendahnya partisipasi perempuan dalam politik

Keberhasilan perempuan untuk menjadi tokoh di masyarakat sangat ditentukan oleh karakter dan ilmu pengetahuannya dan juga keberhasilan perempuan dalam bidang politik sangat ditentukan oleh sumber daya yang dimiliki perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, serta pengalaman politik menjadi modal yang sangat penting bagi politisi perempuan. Dengan tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan pengalaman politik mampu meningkatkan kemampuan mereka dalam menjalankan peran politiknya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa siklus marginalisasi terjadi di DPRD Provinsi Sumatera Barat, di mana perempuan cenderung tidak memiliki kemandirian politik. Kehadiran perempuan di partai politik diposisikan sebagai objek, bukan subjek. Sehingga partisipasi politik perempuan cenderung rendah.

Kemudian juga peran perempuan sangat terbatas dalam pembuatan dan pengambilan kebijakan serta posisi kepemimpinan yang masih dipegang oleh laki-laki, yang disebabkan oleh kondisi sosio-kultural sehingga mempersulit perempuan untuk terlibat secara penuh di dalamnya.

Selain itu, tingkat pendidikan perempuan yang mayoritas masih rendah semakin memperburuk permasalahan dan tidak meyakinkan publik untuk memiliki caleg perempuan. Sehingga banyak perempuan yang tidak peduli terhadap hak politik khususnya terhadap caleg perempuan.

Beberapa faktor penyebab menurunnya jumlah keterwakilan perempuan di ranah politik di sumatera barat disebabkan karena, Pertama perspektif yang menganggap kuatnya paradigma patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia. Kedua, perempuan memiliki peran multi-ganda untuk mengurusi kehidupan domestik dan publik.

Ketiga, pola pikir masyarakat yang cenderung mengidolakan laki-laki gagah dan beruang untuk dipilih. Keempat, perempuan tidak memilih perempuan, artinya rendahnya kesadaran masyarakat perempuan untuk memilih calon legislatif perempuan. Kelima, organisasi politik tidak benar-benar memiliki komitmen penuh untuk pemberdayaan perempuan.(analisa)