PDRI dan Peran Chatib Soelaiman yang Terlupakan

oleh -432 views
oleh
432 views
Sketsa Chatib Sulaiman, Chatib Sulaiman pantas jadi Pahlawan Nasional. (sumber google)

Oleh: AISYAH NURHANIZA

(Mahasiswa Ilmu Sejarah UNAND Peserta Mata Kuliah Menulis Artikel Sejarah)

MASA-MASA setelah kemerdekaan, merupakan periode yang amat sulit dilalui. Salah satu situasi dan kondisi terberat yang pernah dialami dalam perjalanan sejarah bangsa.

Bayangkan saja, negara yang masih seumur jagung dan baru merdeka ini mengalami cobaan yang bertubi-tubi. Cobaan tersebut datang silih berganti, baik itu dari internal maupun eksternal.

Mereka mencoba mengganggu dan menggoyahkan keutuhan Negara Indonesia yang baru memasuki masa-masa awal perjalanan sebagai sebuah negara merdeka.

Indonesia yang baru merdeka di tahun 1945, mendapatkan gangguan yang cukup menyita perhatian dunia Internasional. Para penjajah kembali berusaha menancapkan kukunya untuk menguasai Indonesia.

Hal ini tentunya menjadi sebuah ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan nyata yang dihadapi oleh para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Ada dua peristiwa besar yang terjadi ketika itu yakni, Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II.

Kedua aksi polisionil Belanda ini dilancarkan hanya berselang dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia yakni di tahun 1947 dan 1948. Terkhusus Agresi Militer Belanda II, merupakan titik penentuan kelangsungan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka.

Hal ini disebabkan karena terjadinya penyerangan ibukota di Yogyakarta dan penangkapan terhadap para pemimpin negara. Dengan demikian terjadi kekosongan pemerintahan yang kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk menyatakan bahwa Indonesia telah hilang dari peta dan kembali meneruskan cita-citanya untuk membentuk negara federal.

Namun kenyataannya, Belanda gagal dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Memang dari segi militer mereka mampu mencapai hasil gemilang, tetapi itu hanya kemenangan yang semu. Jauh di pedalaman Sumatera, ternyata berdiri pemerintahan yang sah dan diluar dugaan Belanda.

Pemerintahan tersebut terbentuk melalui pesan surat kawat yang telah dikirimkan Soekarno kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi sebelum beliau ditangkap. Melalui pesan tersebut, dimandatkan kepada Syafruddin untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan secara darurat dari tempatnya berada.

Melalui mandat tersebut, Mr. Syfruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi membentuk emergency gouvernment atau Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selama masa PDRI, banyak sekali tokoh yang terlibat baik tokoh nasional maupun tokoh daerah. Semua tokoh tersebut memiliki perannya masing-masing yang sama pentingnya. Bahkan dari mereka juga banyak yang gugur sebagai pahlawan yang dikenal dan tidak dikenal.

Salah satu dari sekian banyak tokoh yang terlibat ialah Chatib Soelaiman. Tidak banyak orang yang tahu dan mendengar nama beliau. Terutama para generasi muda, pasti sangat asing ketika mendengar namanya.

Kalau pernah mendengar pasti itu dari nama salah satu ruas jalan protokol di Kota Padang yakni Jalan Khatib Sulaiman, tetapi terkait peran dan jasa beliau kurang tersorot. Padahal beliau merupakan salah satu tokoh yang berjasa selama masa PDRI.

Chatib Soelaiman merupakan seorang tokoh yang lahir dari sebuah nagari di tepi Danau Singkarak yakni Nagari Sumpur di Kabupaten Tanah Datar. Beliau lahir di antara tahun 1906 atau 1907 dari keluarga yang mapan dan terpandang. Ayahnya Haji Sulaiman merupakan seorang pedagang di Pasar Gadang.

Melalui peran keluarga inilah beliau dapat mengenyam pendidikan dari HIS hingga ke MULO. Namun, pada saat beliau bersekolah di MULO usaha ayahnya jatuh bangkrut tetapi Chatib tidak putus semangat. Melalui bantuan seorang saudagar kaya yakni Abdullah Basa Bandaro, beliau tetap dapat melanjutkan pendidikan dan bahkan juga mendapatkan ilmu yang mengasah pola pemikiran beliau di dunia pergerakan dan revolusi.

Sebelum terjadi peristiwa PDRI, Chatib Soelaiman telah berperan penting dalam perjuangan daerah. Beliau terkenal sebagai seorang aktivis muda dan dekat dengan Giyugun Sumatera Barat. Giyugun merupakan cikal bakal tentara nasional di Sumatera Barat yang berdiri pada masa Pemerintahan Jepang dan kelak akan menjadi tulang punggung kekuatan bersenjata setelah kemerdekaan.

Sehari setelah kemerdekaan Chatib muncul dengan mengumpulkan beberapa tokoh senior. Beliau memberikan pidato terkait perlunya membentuk gerakan pendukung proklamasi di tengah-tengah keraguan masyarakat. Melalui pidato tersebut, dibentuklah Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) sebagai wadah untuk mengkoordinasikan perjuangan. Chatib juga termasuk di dalamnya sebagai bagian bidang perhubungan bersama beberapa tokoh lainnya seperti Bagindo Aziz Chan. Selain sebagai anggota BPPI, beliau juga merupakan anggota Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatera Barat bidang Badan Penolong Keluarga Korban Perang.

Beberapa bulan sebelum Agresi, wakil presiden Mohammad Hatta datang berkunjung ke Sumatera. Selama di Sumatera beliau menelurkan beberapa kebijakan yang memiliki pengaruh besar dalam menghadapi Belanda di masa Agresi.

Salah satunya yaitu penyatuan kekuatan perjuangan. Di Sumatera Barat Hatta mencoba untuk menyatukan sejumlah partai dan organisasi sosial di bawah satu komando yakni melalui Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). BPNK merupakan suatu badan pertahanan dan keamanan sipil yang didirikan setelah Agresi Militer I.

Chatib Soelaiman termasuk salah satu dari lima tokoh yang menjadi pimpinan BPNK. Terpilihnya Chatib tentunya memiliki alasan karena merupakan seorang tokoh muda di bidang politik terkemuka di Sumatera Barat pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang memiliki peran penting selama masa perjuangan.

Memasuki masa PDRI dan setelah dilakukan penyusunan kabinet darurat, mereka mulai bergerak dari yang semula di Bukittinggi pindah ke Halaban.

Mereka memilih Halaban karena rute kesana merupakan jalan keluar yang paling mungkin untuk meloloskan diri dari Belanda. Selain itu, disana terdapat tempat menginap sementara tanpa mengganggu penduduk.

Ketika di Halaban juga ditetapkan susunan kabinet darurat pada tanggal 22 Desember. Keberadaan mereka di Halaban tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua hari saja kemudian berpindah lagi kedua tempat yakni Bidar Alam dan Kototinggi.

Rombongan PDRI akhirnya sampai di Kototinggi tanggal 24 Desember 1948. Mereka yang ikut terdiri dari kalangan sipil dan militer. Salah satunya ialah Chatib Soelaiman yang sebelum terjadinya peristiwa ini menjabat sebagai ketua eksekutif KNI Sumatera Barat.

Selama berada disana, mereka berusaha mengkonsolidasikan kekuatan perjuangan untuk melawan Belanda. Rasjid sebagai residen di Sumatera Barat kemudian mengangkat Chatib Soelaiman sebagai penasihat residen yang akan membantu residen dalam menjalankan tugas sehari-hari. Selain sebagai penasihat residen, Chatib juga termasuk kedalam jajaran Struktur

Kekuasaan di Sumatera Barat masa Agresi Militer II. Beliau menjabat sebagai pemimpin keamanan dengan mengepalai badan yang bernama Markas Pertahanan Rakyat (MPRD). Beliau merupakan orang pertama yang menjabat sebagai kepala MPRD yang kedudukannya sejajar dengan residen dan juga berasal dari kalangan sipil. Beliau bukanlah tokoh yang memiliki latar belakang militer, namun pada masa pemerintahan Jepang sangat dekat dengan Giyugun karena membantu merekrut pemuda agar masuk ke dalam Giyugun.

Selama di Kototinggi, Chatib Soelaiman selaku ketua MPRD bersama dengan Datuak Simarajo tokoh adat yang aktif di politik melakukan perjalanan keliling. Perjalanan mereka pertama ialah ke Kamang yang merupakan garis depan pertahanan republik terhadap musuh di Bukittinggi.

Di sana beliau mencoba untuk mengkonsolidasikan BPNK setempat guna memperkuat pertahanan daerah demarkasi. Selain itu, beliau juga berusaha menjalin komunikasi dengan kelompok militer yang beroperasi di sekitar Kamang dibawah pimpinan Kol. Dahlan Djambek. Chatib tidak sempat untuk melanjutkan perjalanan ke daerah lainnya, karena dipanggil untuk kembali ke Kototinggi guna mempersiapkan rapat besar di Situjuh Batur.

Rapat besar tersebut diadakan pada tanggal 15 Januari 1949 di sebuah nagari yang bernama Situjuh Batur. Chatib Soelaiman hadir di sana sebagai salah satu sipil yang paling tinggi kedudukannya. Peran beliau dalam rapat tersebut sangat penting karena bertindak sebagai pemimpin rapat. Agenda rapat pada saat itu ialah membahas bagaimana memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang tergerus akibat kerapuhan barisan keamanan sipil dan militer yang menyebabkan diserangnya beberapa wilayah hingga ke pedalaman Payakumbuh. Tetapi ternyata dalam prosesi rapat tersebut,

Belanda tiba-tiba telah mengepung lokasi rapatnya di Surau Kincir. Akibat adanya pengkhianat yang memberi tahu tempat rapat para pejuang kepada Belanda. Sehingga Belanda menembaki mereka secara membabi buta dan menewaskan sebanyak 69 tokoh.

Tragedi ini merupakan yang paling memilukan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di Sumatera Barat. Rapat yang seharusnya menjadi wadah konsolidasi perjuangan melawan Belanda berubah menjadi peristiwa berdarah yang memakan banyak korban hanya dalam beberapa jam saja. Akibatnya banyak tokoh dan pemimpin terkemuka yang diharapkan dapat memimpin perjuangan justru gugur, termasuk salah satunya Chatib Soelaiman.

Perjuangan Chatib harus terhenti di tanggal 15 Januari 1949 Karena tewas dalam pertempuran Situjuh melawan Belanda. Beliau gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa yang jasanya harus selalu dikenang oleh para generasi muda sebagai salah seorang tokoh pejuang dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Chatib bukanlah orang yang sembarangan, karena sejak masa pendudukan jepang hingga masa PDRI telah memainkan peranan penting dalam bidang pertahanan dan keamanan rakyat.

Oleh karena itu, ia dipandang sebagai organisator pertahanan rakyat Sumatera Barat zaman perjuangan kemerdekaan.

Melalui peran beliau inilah, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah seperti yang dikutip melalui media antarasumbar. com mengatakan “Chatib Sulaiman adalah tokoh pejuang asal Sumpur, Tanah Datar, Sumatera Barat yang lahir pada 1906 dan meninggal dalam peristiwa Situjuah untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia pada 15 Januari 1949. Beliau sangat pantas dijadikan pahlawan nasional.

Semoga apa yang dicita-citakan dan diharapkan oleh masyarakat Sumatera Barat agar Chatib Soelaiman menjadi pahlawan nasional dapat terwujud beberapa tahun kedepan.(analisa)