Pentingnya Peran Ibu Dalam Kesehatan Mental Anak Pasca Bencana

oleh -282 views
oleh
282 views

Oleh
Ayana Mey Surya, Khairunnisa, Nikitha Khairunnisa, Sheila Maeshade

Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Bencana adalah permasalahan global yang sangat kompleks, dimana setiap orang bisa mengalaminya dan tidak bisa mengelak dari bencana ini. Setiap tahunnya banyak orang akan mengalami dampak dari bencana yang ada, antara lain luka fisik, terganggunya kesehatan mental dan juga kesejahteraan hidup individu tersebut.

Bencana  menyebabkan banyaknya kerugian baik secara individu maupun kelompok, kerugian tersebut berupa kerusakan bangunan, lingkungan alam, dan dampak yang tidak dapat diatasi secara langsung oleh masyarakat disaat mengalami bencana tersebut (Asian Disarter Reduction Center, 2003).

Banyak sektor di kehidupan manusia mengalami gangguan tak dapat dipungkiri salah satunya adalah di bidang ekonomi dan sosial. The United Nation International Strategy for Disaster Reduction (UN-IDSR) menjelaskan bahwa bencana merupakan gangguan serius yang mengganggu fungsi komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian pada manusia, materi, ekonomi dan juga lingkungan yang meluas melebihi kemampuan dari manusia yang terkena dampak untuk dapat mengatasi dengan sumber dayanya yang ada.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa bencana adalah sebuah fenomena ekologis yang datang secara tiba-tiba dengan ukuran yang besar yang membutuhkan bantuan dari luar atau eksternal. Bencana sendiri memiliki dua jenis yaitu bencana yang datang secara alami dan ada yang terjadi karena buatan manusia. Bencana yang alami yaitu bencana yang berasal dari alam seperti gempa bumi, tsunami, angina topan, banjir, siklon tropis. Sedangkan bencana buatan manusia disebakan oleh tindakan manusia itu sendiri, seperti konflik militer, terorisme, kecelakaan industri. Namun ada juga beberapa bencana alam yang merupakan gabungan dari faktor alam serta sosial seperti banjir, dimana banjir ini bisa terjadi karena ulah kelalaian manusia dan digabung dengan adanya faktor dari alam itu sendiri.

Ketika terjadinya peristiwa bencana alam, individu dapat mengalami permasalahan pada kesehatan mental seperti depresi dan gangguan stres pasca trauma (Sari et., al, 2021). Trauma yang menggangu masyarakat karena pengaruh pasca bencana dapat menyebabkan dampak terganggunya psikologis yang mengganggu.

Dalam konteks trauma massal, seluruh keluarga akan berbagi berbagai hal serupa seperti pengalaman dan kerugian yang berpotensi traumatis pada individu. Paparan terhadap situasi trauma massal dapat mengganggu system social individu dengan mengorbankan keselamatan dan perawatan dan dapat membuat anggota keluarga merasa tidak kompeten, terisolasi dan tertekan dalam mengatasi kesulitan. Tingkat pengalaman individu ini, diperparah oleh paparan yang berkepanjangan terhadap stressor kumulatif dan rusaknya dukungan social dan kelembagaan, yang dapat menimbulkan gangguan dalam pola interaksi keluarga.

Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD ialah salah satu dari dampak psikologi yang dapat muncul pada korban bencana. PTSD merupakan permasalahan kecemasan yang dirasakan individu dikarenakan telah terjadinya suatu peristiwa yang mengancam atau menakutkan. Individu dapat didiagnosis kedalam PTSD dengan syarat telah menujukkan gejala yang esktrem akan kejadian traumatis yang dialami dengan perasaaan takut yang mencoba untuk selalu menghindari kejadian yang menyerupai kejadian trauma, menghindari orang-orang terdekat dan lokasi yang mengingatkan pada kejadian traumatis tersebut. Diagnosis PTSD berlaku apabila gejala yang muncul telah berlangsung selama 1 bulan atau jika gejala muncul dengan lambat maka terhitung dari 1 bulan setelah kejadian traumatis tersebut terjadi (Lopez-Ibor, et,.al, 2005).

Dalam WHO (2013) Dikatakan bahwa populasi individu pasca bencana yang mengalami gangguan mental ringan atau sedang sekitar 15-20 % mengarah pada gangguan post traumatic stress disorder atau disebut dengan PTSD, sedangkan 3-4 % dari populasi tersebut yang mengalami gangguan berat mengarah pada depresi berat, psikosis dan kecemasan yang tinggi. Ditemukan gejala PTSD yang dialami pada usia anak dan remaja yang menjadi korban bencana di Indonedia memiliki kisaran umur dari 8 hingga 17 tahun dengan presentasi 19,9% dengan artian 171 orang dari 859 jumlah data. Faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya PTSD adalah kurangnya dukungan sosial yang didapatkan, stres, jenis kelamin, dan beban yang dimiliki, riwayat keluarga, gaya koping yang dimiliki ketika menangani masalah, kepribadian, reaksi lingkungan sekitar yang ditunjukkan dan kejadian dalam hidup yang dialami.

Peningkatan resiko terjadinya PTSD dapat berkaitan dengan bagaimana cara individu mengartikan dan menyimpulkan peristiwa yang dialami (Schooshtary et.,al, 2008). Orang tua yang mengalami PTSD dapat memoderasi efek psikologis dari paparan insiden traumatis pada anak-anak. Gejala PTSD pada anak dapat diperburuk oleh gejala PTSD pengasuh sebagai tekanan traumatis yang mengganggu ketersediaan fisik/emosi ibu untuk anak dan kemampuan untuk mengelola emosi yang sulit.

Karakteristik PTSD dapat ditandai dengan adanya gejala yang didapat karena terpapar secara langsung atau dari mendengar cerita atau gambar yang membuat individu merasa stres karena kejadian traumatis yang direspon dengan rasa takut, dan tidak berdaya yang ditampilkan. Kejadian traumatis tersebut dapat muncul ketika individu dalam keadaan sadar ataupun dalam keadaan tidak sadar. Individu yang mengalami PTSD tersebut tidak mampu mengendalikan persepsi dan pikiran yang dimilikinya. Individu yang mengalami PTSD akan sulit untuk berkosentrasi, tidur dengan teratur, meredakan dan mengelola rasa marah, mengontrol perasaan waspada yang berlebihan, memiliki pandangan yang buruk akan dunia, memandang rendah diri serta perasaan terkejut yang berlebihan.

Orang tua dengan PTSD dapat meningkatkan faktor risiko untuk pengasuhan negatif, kekerasan lebih tinggi dan ketidakpekaan terhadap anak dan praktik pola asuh negatif yang dapat menjadi faktor risiko potensial untuk kesalahan penyesuaian pada anak dalam konteks stress tinggi. Sehingga anak-anak yang orang tuanya mengidap PTSD akan menunjukkan peningkatan dalam masalah perilaku seperti penarikan diri, keluhan somatic, masalah pikiran, perilaku nakal dan agresif, kecemasan/depresi, defisit perhatian dan masalah dalam hubungan social anak. Kualitas pengasuhan dapat berkurang karena tantangan penyesuaian yang dihadapi ibu terhadap stressor kontekstual, yang mengarah pada peningkatan perilaku kohersif, sehingga menghambat praktik pengasuhan yang positif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yumbul dkk, 2017) bahwa stressor kumulatif dalam kehidupan ibu sebelum bencana, diperburuk oleh paparan gempa bumi dan factor risiko kontekstual terkait setelah bencana, seperti ekonomi (kehilangan pekerjaan, rumah, pendapatan), emosional (pengungsian, isolasi), dan structural (kurang akses ke perawatan kesehatan dan sekolah).

Penelitian oleh Mohammad dan Peek (2019) menghasilkan bahwa dari Sembilan pasang Ibu dan Anak, empat pasang mengalami masalah pasca bencana, ketika ada stressor pra-bencana yang banyak dan bersamaan dapat meningkatkan kesulitan menghadapi tantangan satu sama lain yang dapat menciptakan tumpukan masalah yang diperparah dengan setiap bencana baru. Kurangnya sumber daya material dan dukungan social dapat menambah stressor pra-bencana dan dampak langsung dari pengalaman bencana, menciptakan perpindahan dan penyesuaian keluarga yang lebih lama dan tidak stabil. Terutama orang Afrika dan Amerika yang berpenghasilan rendah, ibu tunggal dan anak-anak mereka menghadapi stigma dan diskriminasi, serta memperlambat waktu pemulihan untuk setiap bencana. Masalah ini menumpuk dan memperlambat atau bahkan sepenuhnya menghambat pemulihan bencana bagi para penyintas yang paling rentan, ketidaksiapan dalam membuat persiapan bencana di masa depan (Mohammad dan Peek, 2019).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Abramson dkk (2014) yang menghubungkan pendapatan yang lebih tinggi dan tingkat dukungan social yang tinggi dengan kapasitas adaptif dan pemulihan yang cepat dari bencana dan bentuk kesulitan lainnya, dan ras minoritas berpenghasilan rendah, ibu tunggal, masalah kesehatan mental dan fisik, kesulitan dan hilangnya sumber daya material dan dukungan social menyebabkan periode pemulihan dampak bencana yang lebih lambat.

Sehingga stressor kumulatif dapat menghalangi kemampuan ibu untuk mengatasi tekanan dan berdampak negatif pada hubungan ibu-anak. Reaksi emosional ibu menyebabkan peningkatan perilaku pengasuhan koersif mereka dan penurunan keterlibatan positif dengan anak-anak mereka (Mogil dkk, 2015).

Para ibu melaporkan bahwa sebagian besar teriakan, pemukulan, dan luapan kemarahan terhadap anak-anak mereka disebabkan karena tidak mampu mengelola kemarahan, frustrasi atau kesedihan mereka. Dampak negatif pada hubungan ibu-anak karena bencana dapat berkaitan dengan perubahan perilaku negatf pada anak dan kesulitan anak dalam menyesuaikan diri pasca bencana. Dilaporkan bahwa peningkatan atau penolakan pada kepatuhan dan keterlibatan emosional pada anak bervariasi menurut sifat interaksi ibu dengan anak-anak mereka. Perilaku timbal balik seperti perilaku koersif ibu dan ketidakpatuhan anak, meningkatkan konflik antara orang tua dan anak, yang mengarah pada peningkatan frekuensi dan intensitas ledakan kemarahan, hukuman fisik ibu, ketidakpatuhan anak dan pelepasan emosional dari ibu (Yumbul dkk, 2017).

Namun, guna mengurangi banyaknya dampak dari tekanan dan beban yang terjadi pada anak, selain bencana yang menimpa anak, ditambah dengan adanya tekanan yang diberikan oleh orang tua, maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh ibu untuk membantu anak menjaga kesehatan mentalnya pasca terjadinya bencana.
Berbagai studi juga menjelaskan bahwa tak hanya upaya mengurangi bentuk traumatis yang dapat membantu anak berjuang pasca terjadinya bencana. Solidaritas yang ada pada keluarga menjadi bukti bahwa dapat membantu anak menjaga kesehatan mentalnya.

Orang tua memiliki tugas untuk dapat membangun hubungan yang harmonis didalam keluarga tersebut. Komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak masuk kedalam bagian komunikasi keluarga (Nanda dan Maulana, 2021). Komunikasi yang terjadi diantara orang tua dan anak dinilai dapat membantu menurunkan dampak trauma pada anak ketika menghadapi bencana. Seperti bencana non alam yang terjadi yang merupakan dampak dari Hugo dimana terjadinya tingkat pernikahan dan kelahiran yang lebih tinggi, namun tingkat perceraian juga tinggi (Cohan & Cole, 2002),menyarankan bahwa pasca bencana, individu dapat mengambil tindakan dalam sebuah hubungan dekat yang dapat mengubah hubungan selanjutnya.
Norris dkk (2002) mengatakan bahwa efek psikososial dari bencana termasuk berbagai masalah psikologis tertentu seperti gangguan stress pasca trauma atau disebut dengan PTSD, gangguan kecemasan lainnya seperti depresi, distress dengan reaksi stress dan gejala psikosomatis, serta berbagai permasalahan yang dapat menurunkan kesehatan tubuh.

Reaksi individu dipengaruhi oleh tingkat keparaan dari berbagai paparan dan karakteristik individu, status sosial ekonominya, fungsi pra-bencana, faktor keluarga, tekanan dari dalam diri, dan sumber daya psikososial yang ada. PTSD tak hanya terjadi pada orang dewasa saja, namun juga dapat terjadi pada anak-anak.
Menurut Norris dkk (2002) anak-anak adalah salah satu bagian dari komunitas yang sangat rentan mengalamai dampak dari bencana. Anak-anak tidak memahami apa yang sedang terjadi serta merasakan takut dengan situasi tersebut, hal tersebut memunculkan persepsi yang berbeda pada diri anak, sehingga terjadi kesalahan persepsi yang menyebabkan interpretasi serta atribusi yang tidak akurat. Sama seperti orang dewasa, reaksi yang timbul pada diri anak hampir sama dengan orang dewasa, reaksi anak dipengaruhi pada paparan apa yang terjadi, dimana karakteristik yang terjadi pada individu yang melekat pada anak termasuk tingkat perkembangan dan kapasitas kognitif untuk memahami peristiwa dan konsekuensi yang terjadi, dan karakteristik keluarga serta sosial.

Perkembangan tidak hanya membentuk reaksi anak terhadap trauma, namun trauma yang memiliki potensi untuk mempengaruhi perkembangan dari anak dengan implikasi yang dapat terjadi seumur hidup.

Pertama, seorang ibu dapat memberikan dukungan kepada anak mereka dengan cara menjelaskan bagaimana suatu peristiwa atau bencana telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi ketika bencana itu muncul. Seorang Ibu dapat memberitahukan dengan kata-kata yang sederhana agar anak-anak dapat memahami dengan mudah dan jelas. Hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat tujuh puluh lima persen orang tua yang mengalami serangan terorisme memberitahukan kepada anak-anak mereka terkait apa yang terjadi dalam kehidupan mereka seperti terorisme (Cobham et al., 2016).

Seorang ibu dapat mengurangi dampak psikologis yang terjadi akibat suatu bencana terhadap anak, karena anak sudah mengetahui apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Anak-anak akan lebih paham dan lebih siap terhadap situasi yang ada. Seorang ibu harus dapat memahami apa yang anak sampaikan ataupun memahami cara berfikir anak tersebut, dengan demikian orang tua juga dapat melakukan atau mengambil tindakan secara tepat kepada anak.

Ketika terjadi suatu bencana yang tidak terduga, anak-anak dapat melakukan hal-hal apa saja yang harus dilakukan ketika terjadi bencana seperti berlari kelapangan ketika terjadinya gempa, menjauhi benda-benda yang akan tumbang ketika terjadinya gempa, ataupun hal-hal yang lainnya yang dapat terjadi. Anak-anak yang siap- sianga ketika terjadi bencana, dapat mengurangi trauma ataupun kecemasan yang disebabkan oleh bencana tersebut. Terkadang apabila anak-anak yang belum siap akan terjadinya bencana, maka bisa saja apabila terjadi bencana yang cukup besar bagi anak tersebut maka dapat menyebabkan anak tersebut mengalami ketakutan ataupun trauma ketika hal itu terjadi lagi.

Selanjutnya, seorang Ibu dapat menjelaskan kepada anak terkait dengan bahaya yang dapat ditimbulkan ketika terjadi suatu bencana. Dengan menjelaskan bahaya-bahaya yang terjadi kepada anak, anak akan tahu bahwa suatu bencana memiliki bahaya masing-masing kepada diri mereka. Mereka dapat menghindari perilaku yang akan merugikan mereka. Misalkan ketika terjadi bencana banjir, genangan air kotor yang disebabkan oleh banjir pasti sangat tidak bagus bagi kesehatan anak. Anak tidak disarankan untuk bermain dalam air yang kotor itu karena akan sangat berbahaya dan mudah timbulnya penyakit pada mereka. Orang tua melakukan tindakan pencegahan agar bencana tidak membuat anak mereka mengalami sakit. Bahaya psikologis juga dapat timbul kepada anak ketika terjadi bencana, seperti rasa takut atau cemas yang berlebihan. Seorang ibu dapat memberikan dukungan kepada anak mereka agar dapat mengurangi dampak psikologis yang akan timbul pada anak tersebut.

Pada penelitian yang dilakukan terhadap orang tua latin, Afrika yang memiliki ekonomi yang sedang memilih untuk menjelaskan kepada anak tentang pentinya pencegahan ketika terjadi suatu bencana (Cohen et al., 2011). Seorang ibu, dapat memberikan pengetahuan tentang pentingnya pencegahan terjadap suatu bencana, untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap anak mereka.
Seorang ibu juga dapat memberikan waktu dan perhatian yang lebih kepada anak mereka.

Dengan  perhatian yang diberikan oleh orang tua terhadap anak akan memberikan dampak meringankan  stress atau kecemasan yang timbul akibat suatu bencana. Ibu yang memiliki banyak waktu kepada anak mereka juga dapat melihat bagaimana anak mereka menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi akibat suatu bencana dan mereka juga dapat membantu anak mereka untuk menyelesaikannya. Banyaknya waktu dan perhatian yang diberikan kepada anak, dapat memberikan peluang untuk anak dapat lebih terbuka kepada orang tua tentang apa yang anak rasakan. Anak-anak akan dengan mudah menceritakan apa yang mereka rasakan kepada orang tua dan orang tua dapat memberikan tindakan atau apapun kepada anak mereka. Hal itu dapat membuat seorang anak tidak terlalu berat merasakan dampak stress atau dampak psikologis yang lainnya yang timbul akibat suatu bencana dengan berbagi hal tersebut kepada orang tua mereka.

Jika waktu bersama Ibu  lebih banyak bersama anak, ibu dapat memantau apakah anak mereka mengalami trauma akibat suatu bencana. Penting untuk seorang ibu, mengerti dan paham apa yang dirasakan oleh anak mereka, karena ibu adalah orang yang paling dekat dengan mereka dan dapat mereka percaya. oleh sebab itu komunikasi yang  baik dalam suatu keluarga sangat penting, begitu juga penanaman terhadap kesiapsiagaan ketika menghadapi bencana, pola pengasuhan yang tepat, memberikan kasih sayang dapat mengurangi rasa trauma yang muncul pada anak setelah mengalami bencana.(**)