Perbandingan Hak Politik Perempuan di Negara Berkembang dan Negara Maju

oleh -348 views
oleh
348 views
Randi Rahmadani, Mahasiswa FISIP UNAND. (dok)

Oleh: Randi Rahmadani

Mahasiswa Ilmu Politik UNAND

INDIA dan Australia merupakan dua negara yang sistem politiknya masih didominasi oleh budaya patriarkat yaitu sebuah sistem yang menempatkan laki-laki dewasa pada posisi sentral atau yang terpenting.

Budaya patriarkat ini sangat menghambat terhadap perkembangan keterlibatan perempuan dalam parlemen. Saat ini, keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen di parlemen hanya terjadi dibeberapa negara saja.

Dalam hal ini, meskipun India dan Australia memiliki persamaan budaya patriarkat, akan tetapi Australia lebih cepat mengalami perubahan dalam merespon untuk melibatkan perempuan dibandingkan dengan India. Oleh sebab itu disini akan membahas perbandingan hak politik yang yang dierapkan antara India sebagai negara berkembang dan Austaralia sebagai negara maju.

1. Hak Politik Perempuan Di India 

India merupakan negara dengan jumlah penduduk kedua terbanyak di dunia, negara ini menganut system pemerintahan republic federal parlementer yaitu sistim pemerintahan dengan kepala negara seorang presiden yang dipilih tidak oleh parlemen.

Sedangkan kepala pemerintahannya adalah seorang perdana Menteri yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum legistalatif 5 tahun sekali.

Berbicara tentang persaman hak dan gender di India telah diatur dalam Konstitusi atau undang-undang tentang persamaan hak dan kesempatan bagi semua warga negaranya, namun faktanya bertentangan dengan kenyataan sosial, adat istiadat, dan kebiasaan.

Berdasarakan laporan konrensi eko Komariah kuncuro dalam Hardaloka (2012) disebutkan bahwa faktanya Pembagian peran gender tidak hanya terbatas dalam lingkungan keluarga tetapi meluas ke kehidupan social di mana pada kegiatan tertentu dibatasi hanya khusus bagi kaum lelaki dan perempuan dilarang trelibat dalam kegiatan tersebut.Akan tetapi, dengan adanya pelaksanaan RUU Panchayati Raj selama tiga tahun setelah negara-negara bagian mengesahkannya sesuai dengan amandemen Konstitusional ini, satu juta perempuan terpilih untuk duduk di dalam badan-badan setempat.

Di banyak negara bagian, mereka bahkan melampaui kuota itu, misalnya di Karnataka, kaum perempuan adalah 47 persen dari anggota panchayat yang terpilih. Nyatanya, penyisihan sepertiga kursi kaum perempuan di dalam badan legislatif merupakan bagian dari suatu perubahan besar di dalam sistem itu. Meskipun keberhasilan kecil ini belum sepenuhnya mewakili keberhasilan nasional sehingga negara harus bekerja keras agar secara nasional, perempuan dapat merepresentasikan dirinya dalam rangka memenuhi hak politiknya.

2. Hak Politik Perempuan Di Australia

Aturan kuota perempuan di Australia tidak tercantum dalam Undang-Undang Negara seperti konstitusi, Undang-Undang Pemilu, maupun Undang-Undang Politik. Akan tetapi system kuota diadopsi oleh partai-partai di Australia. sikap partai-partai politik Australia terhadap kuota perempuan di parlemen berbeda-beda.

Hal ini terjadi karena cara pandang mereka terhadap peran perempuan dalam politik juga berbeda-beda. Beberapa partai yang mendukung sistem kuota perempuan dalam politik adalah partai buruh, partai green dan partai demokrat. Partai liberal tidak menyetujui penggunaan sistem kuota, namun partai ini menempuh cara lain untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen

Menurut Australian Bereau of Statistic (ABC) bahwa keterwakilan perempuan di parlemen masih kurang, mengingat populasi perempuan di Australia mencapai 50,2 persen. Dalam “The Australian Human Rights Commission’s Gender Equality Blueprint 2010” mennjelaskan bahwa partisipasi perempuan dalam bidang politik adalah salah satu dari lima prioritas utama yang bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Di tahun 2010 merupakan momentum kebangkitan kesetaraan gender di Australia dengan terpilihnya Julia Gillard sebagai perdana menteri Australia ke-27 dan sebagai Perdana Menteri perempuan pertama bagi Australia.

Pada saat itu keterlibatan perempuan dalam pemerintahan mengalami peningkatan karena telah memenuhi angka Critical Mass yaitu 32 persen. Penyumbang representasi perempuan tertinggi dari Partai Buruh. Di senat keterlibatan perempuan Australia mengalami kenaikan mencapai 38,2 persen lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Inggris.

Dengan terpilihnya Gillard mempengaruhi perubahan orientasi kebijakan partai buruh terhadap isu gender. Di tahun 1981 konferensi Partai Buruh mendukung kebijakan dimana harus memenuhi standar 30 persen dari semua posisi internal partai dan tahun 1994 Partai Buruh mengadopsi standar 35 persen sebagai kandidat pemilihan dan di tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi 35,6 persen. Partai Buruh membentuk sebuah jaringan yang bernama ALP’s National Labor Women’s Network yang memiliki fungsi sebagai wadah bagi perempuan Australia untuk melakukan pelatihan, mentoring, dan penguatan jaringan perempuan dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan representasi perempuan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwasanya antara India dan Australia sebelum adanya kebijakan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) hak wanita untuk terlibat dalam politik sangat terbatas bahkan cendrung dianggap tidak ada. Namun dengan ada kebijakan ini wanita diberikan ruang untuk terlibat 30% duduk di parlemen.

Di sini kita lihat bahwa keterlibatan wanita dalam berpolitik baik itu di negara berkembang dan maju dari tahun ke tahun terus meningkat. Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, terutama dalam Pemilu tidak terjadi secara serta merta, namun karena perjuangan yang terus menerus untuk mewujudkan hak setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan, salah satunya adalah dengan mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan.(analisa)