Perempuan Dalam Belenggu Patriarki

oleh -463 views
oleh
463 views
Leni Anindita, Mahasiswa FISiP UNAND. (dok)

Oleh: Leni Anindita

Mahasiswi Jurusan Ilmu Politik UNAND

JIKA melihat Indonesia saat sekarang ini cenderung masih memprioritaskan kaum laki-laki di atas kaum perempuan. Hubungan yang terjalin antara laki-laki dan perempuan masih didominasi dan dipengaruhi oleh pemahaman gender yang menumbuhkan budaya Patriarki di masyarakat kita.

Budaya patriarki merupakan suatu budaya yang menempatkan perempuan sebagai subordinat dari kaum laki-laki dengan berbagai peraturan yang mengikat kaum perempuan. Dalam (Pinem : 2009) menyebutkan bahwa budaya patriarki merupakan budaya yang menempatkan kaum laki-laki sebagai sosok otoritas sentral dan utama dalam masyarakat serta posisi laki-laki berada lebih tinggi dibandingkan posisi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dari segi ekonomi, politik, budaya dan pendidikan.

Penempatan perempuan sebagai opsi kedua setelah laki-laki ini tidak hanya menimbulkan ketidaksetaraan gender di kalangan masyarakat, tetapi juga mendoktrin perempuan bahwasanya kaum laki-laki memang berada di atas mereka dan sudah sepatutnya seperti itu. Hal ini secara tidak langsung telah merasuk kedalam alam bawah sadar perempuan bahwa mereka harus tunduk kepada kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah subordinat dari kaum laki-laki.

Lebih lanjut, budaya patriarki ini telah menempatkan kaum laki-laki sebagai tokoh sentral yang memiliki kekuasaan mutlak diatas perempuan. Selain itu, perempuan juga dikelilingi oleh rentetan peraturan yang membatasi ruang gerak perempuan dalam ranah publik. Banyak sekali aturan dan stigma negatif dari masyarakat yang harus dapat perempuan patahkan saat tampil di ranah publik, baik dari segi ekonomi, politik, budaya dan pendidikan. Contoh dari stigma negatif tersebut misalnya dengan pelabelan perempuan tidak baik bagi kaum perempuan yang pulang larut malam, meskipun terdapat alasan logis dibalik hal tersebut, misalnya saja tuntutan dari pekerjaan sebagai tenaga kesehatan yang mengharuskan perempuan tersebut untuk pulang larut malam.

Dalam hal pendidikan dapat dilihat masih banyaknya masyarakat kita yang beranggapan bahwa perempuan yang menempuh pendidikan yang tinggi merupakan suatu hal yang sia-sia. Mengapa demikian? hal ini terjadi karna masyarakat kita masih memiliki pemikiran bahwa bagaimanapun tingginya pendidikan seorang perempuan, dia juga akan berakhir sebagai ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya berkutat pada agenda mengurus anak, rumah, dan suami.

Hal ini menjadi salah satu aspek yang menyebabkan terbatasnya sumber daya yang dapat diakses oleh perempuan, sehingga efek dari hal tersebut ialah perempuan tidak dapat mengeksplorasi peluang untuk dapat meningkatkan kualitas diri mereka. Masyarakat kita seolah melupakan bahwa seorang perempuan merupakan tonggak dari sebuah perdaban, sehingga penting untuk dipastikan bahwa generasi penerus bangsa ini harus lahir dari seorang perempuan yang cerdas. Demi terciptanya generasi cemerlang dimasa yang akan datang.

Dari berbagai hal tersebut dapat dilihat adanya diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat kita yang menyudutkan kaum perempuan. Bahkan tak jarang stigma-stigma negatif tersebut muncul dan digaungkan oleh sesama perempuan itu sendiri. Hal ini secara tidak langsung telah memberikan batas-batas bagi apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Lebih lanjut, hal ini dapat menciptakan standar ganda bagi perempuan. Perempuan harus mampu mengerjakan peran domestik terlebih dahulu sebelum memasuki peran dalam berbagai aspek kehidupan baik itu ekonomi, sosial, politik, atau pun pendidikan.

Hal- hal semacam ini semakin menutup kesadaran perempuan akan kesetaraan gender dan tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan itu akan semakin takut untuk unjuk diri di ranah publik. Akan timbul semacam pola pikir dari perempuan tersebut “sebaik apapun saya dan kemampuan yang saya miliki, saya akan selalu menjadi gender kelas dua yang harus mengikuti aturan yang ada dimasyarakat”, dimana aturan tersebut telah menempatkan kaum laki-laki sebagai tokoh sentral yang memiliki kekuasan yang mutlak atas perempuan.

Selain itu, sistem budaya patriarki ini telah mendorong terjadinya perbuatan tidak pantas kepada perempuan, pelecehan, hingga diskriminasi yang acap kali diterima perempuan saat menjalankan perannya di ranah publik. Hal ini tentunya sangat disayangkan masih terjadi di tengah maraknya gerakan feminis dan aktivis yang ingin mendobrak sistem budaya patriarki yang pada realitanya telah menciptakan berbagai masalah sosial di kalangan masyarakat.

Dalam konteks politik dewasa ini, calon perempuan yang maju dalam pemilihan umum hanya dijadikan sebagai syarat pemenuhan kuota affirmative action yang mengharuskan terdapat kuota 30% untuk setiap partai yang ada. Namun, pada kenyataannya sulit untuk menemukan kandidat perempuan yang benar-benar merupakan anggota partai, memiliki kredibiltas di bidang politik,dan mau dicalonkan dalam pemilihan umum. Berangkat dari hal tersebut, tentunya peran perempuan hanya sekedar pelengkap atau pun sarana untuk mencukupi kuota dari affirmative action yang berjumlah 30%.

Jika menilik lebih dalam terdapat faktor- faktor yang menyebakan masih terbatasnya peran perempuan di ranah publik. Faktor – faktor tersebut dapat datang dari dalam diri perempuan (internal) dan dari luar diri perempuan tersebut (eksternal). Faktor eksternal yang mempengaruhi partisipasi perempuan ini misalnya saja budaya patriarki yang masih mengakar, stigma negatif dari masyarakat, kepercayaan dari masyarakat itu sendiri, dan standar ganda yang dimiliki oleh perempuan. Sedangkan, faktor internal dapat datang dari dalam diri perempuan itu sendiri, dimana banyak perempuan yang merasa tidak pantas dan tidak cocok untuk turut berpartisipasi dan berperan aktif dalam ranah publik. Antara faktor internal dan eksternal akan saling berikatan dan mempengaruhi. Oleh karna itu, penting untuk dapat mengatasi kedua faktor tersebut, baik secara internal maupun eksternal.

Dari berbagai realitas yang dihadapi oleh perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut telah cukup menggambarkan bagaimana budaya patriarki telah mengakar dan menjadi budaya dikalangan masyarakat. Budaya patriarki ini telah meletakkan peran perempuan sebagai subordinat dan inferior laki-laki. Dalam hal ini tidak hanya dibutuhkan peran dari perempuan sendiri untuk menggebrak budaya patriaki yang ada. Laki -laki dapat berperan aktif dalam mengedukasi isu-isu yang berkaitan dengan kesetaran gender, memberikan ruang bagi perempuan untuk berkontribusi, serta menghargai hak asasi manusia yang memandang bahwa setiap manusia ialah setara. Perempuan memiliki hak untuk dipandang sebagai competitor laki- laki dengan kemampuan yang mereka miliki. Perempuan tidak hanya sebagai pelengkap atau pun support system bagi laki-laki, akan tetapi perempuan layak untuk dipandang sebagai rekan yang dapat diajak bekerjasama.

Selain itu, perempuan Indonesia harus berani untuk keluar dari zona nyaman dan belenggu patriarki, dengan membuktikan bahwa mereka mampu berperan aktif dalam berbagai bidang kehidupan dengan kemampuan yang mereka miliki. Perempuan Indonesia perlu menulis sejarah intelektual mereka sendiri. Setiap perempuan yang ada di Indonesia perlu untuk menyadari bahwa mereka dilahirkan dengan hak yang sama dengan kaum laki- laki dalam berbagai bidang kehidupan. Batas yang menentukan bisa atau tidaknya perempuan atau pun laki-laki dalam melakukan peran di ranah publik ialah kemampuan serta skill yang dimiliki oleh masing-masing individu, bukan bergantung atas gender yang mereka miliki.

Hidup Mahasiswa !

Hidup Rakyat Indonesia !

Hidup Perempuan Indonesia !

(anisa)