Perempuan dan Politik di Minangkabau

oleh -390 views
oleh
390 views
Muhammad Thoriq, Mahasiswa FISIP UNAND. (dok)

Oleh: Muhammad Thoriq

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

PEREMPUAN Indonesia tidak lagi terkurung dalam kegelapan intelektual. Perempuan yang dulunya tidak diperkenankan sekolah hanya diperbolehkan membersihkan rumah, memasak, menjahit, dan mengurus anak, kini dapat menikmati akses pendidikan dimanapun berada.

Tugas dan tanggung jawab seorang perempuan bukanlah sekedar menjadi ibu rumah tangga, secara tidak langsung juga mempunyai beban memikul arah politik bangsa Indonesia. Berbicara tentang politik tidak hanya dilakukan oleh kalangan politisi, pemerintah atau para birokrat saja namun semua lapisan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan.

Negara Indonesia adalah negara demokrasi dengan pancasilanya. Setiap individu dalam masyarakat memiliki kebebasan tersendiri. Kebebasan mengekspresikan dirinya melakukan segala tindakan sosial, memilih maupun dipilih, kebebasan berpendapat dan lainnya.

Itu semua ada dan hidup dari tubuh demokrasi tersebut. Begitu juga dalam sila yang kelima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menegaskan bawasannya tidak dibenarkan adanya perbedaan gender dalam masyarakat Indonesia.

Tidak boleh ada diskriminasi, pengkotakan atau pengkelasan dalam masyarakat apalagi berdasarkan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki. Semuanya dianggap sama dan harus diperlakukan adil. Keadilan dalam ruang politik, ekonomi, sosial masyarakat.

​Begitu juga di Minangkabau, orang dari luar daeah mengenal Minangkabau sebagai masyarakat yang egaliter yang kedudukan perempuan dan laki-lakinya itu setara. Karena hal yang demikian, banyak yang berharap di Minangkabau ada kemudahan dan kesempatan yang luas bagi perempuan untuk menduduki jabatan politik di pemerintahan.

Tetapi kenyataannya masih terdapat kesenjangan antara kesetaraan itu dengan keterwakilan. Padahal, perempuan Minangkabau sudah berperan dalam percaturan politik di Minangkabau sejak lama, dapat dilihat dari cerita-cerita klasik Minangkabau, seperti dalam kaba, tambo ataupun mitos serta legenda dan ada perempuan yang menjadi raja dan ratu.

Lusi Herlina (2003:30-32) menyatakan bahwa kharisma dan kekuasaan “Bundo Kanduang” sebagai simbol keperempuanan masyarakat Minangkabau dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintahan Nagari sudah jauh berkurang karena terkooptasi selama Pemerintahan Orde Baru sehingga peran itu telah tereduksi.

Akibatnya, pranata kebundokanduangan hanya tinggal hiasan dalam upacara adat dan negara. Bahkan, dalam beberapa peristiwa upacara adat peran perempuan termarjinalkan.

​Perempuan di Minangkabau di zaman sekarang seharsnya sudah menyadari bahwa perempuan harus ikut serta di dunia politik, karena harus percaya bahwa perempuan akan membawa agenda dan isu dan gaya kepemimpinan tersendiri dalam politik.

Prioritas dan gaya kepemimpinan laki-laki dan perempuan yang berbeda akan dapat bertemu di satu titik pada saat yang sama ketika mereka sama-sama berintegrasi dalam tugas politik yang menyangkut negara dan masyarakat dengan kombinasi yang unik karena perbedaan yang mereka punyai.

​Terlebih dalam beberapa tahun belakang ini, telah semakin banyak penerus Kartini di Indonesia yang diawali oleh Megawati Soekarno Putri yang menjabat sebagai presiden pertama perempuan di Indonesia, Ibu Tri Risma yang sempat menjabat sebagai Walikota Surabaya dan sekarang menjabat sebagai Mentri Sosial, dan ada juga Puan Maharani yang sekarang menjabat sebagai Ketua DPR RI dan digadang-gadang akan menjadi bakal calon presiden di Pemilu 2024 nantinya.

Pemilu 2024 nanti, seharusnya perempuan Minangkabau mengambil kesempatan dalam momentum tersebut untuk menunjukkan bahwasanya keluhuran nilai dari Bundo Kanduang masih ada dan hidup di darah srikandi-srikandi Minangkabau.(analisa)