Perempuan Perlu Berpartisipasi dalam Politik dan Turut Mengmbil Kebijakan

oleh -192 views
oleh
192 views
Dayangku Intan, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas. (dok)

Oleh: Dayangku Intan

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas,

TERDAPAT banyak kebijakan dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Daerah mendiskriminasi perempuan. Hal ini terjadi karena pembuat kebijakan yang didominasi laki-laki tidak memiliki gambaran bagaimana melindungi dan memajukan perempuan. Perempuan haruslah berpolitik dan masuk parlemen.

Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat berbunyi “Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya pada selang waktu pukul 24.00 sampai dengan pukul 04.00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pada penyusunannya, Peraturan Daerah ini ingin melindungi perempuan, namun tidak memiliki bayangan bagaimana cara melindungi perempuan dari kejahatan seksual. Dalam aturan itu stigma bahwa perempuan adalah penyebab tindakan maksiat diformalkan.

Maka dari itu perempuan di dorong untuk masuk ke dalam dunia pengambilan kebijakan, dunia politik. Dengan dimasukkannya perspektif perempuan, sebuah kebijakan diharapkan mencerminkan kepekaan terhadap perbedaan kepentingan tersebut dan kebijakan yang dihasilkan berpihak pada kepentingan perempuan.
​​Berbeda dengan era Kartini, kini perempuan tidak lagi harus masuk pingitan dan menunggu dinikahi.

Perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk aktualisasi diri. Seorang perempuan dimata orang tua adalah seorang anak, seorang perempuan di mata suami adalah seorang istri, dan seorang peremuan di mata anak-anak adalah seorang ibu.

Pada dasarnya, hakikat pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia seutuhnya tanpa membedakan suku bangsa, agama, golongan, kelompok sosial, dan jenis kelamin.

Hasil pembangunan yang dilaksanakan selama ini menunjukkan adanya kesenjangan relasi antara perempuan dan laki-laki, baik dalam mendapatkan akses terhadap sumber daya pembangunan, kesempatan berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan dan pengambilan keputusan, melakukan kontrol maupun penguasaaan atas hak dan tanggung jawabnya terhadap sumber daya pembangunan maupun dalam menikmati hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan.
​​

Saat ini dengan adanya affirmative action diharapkan jumlah perempuan yang duduk pada posisi pengambilan keputusan semakin banyak sehingga produk kebijakan lebih sensitif terhadap perempuan. Karena affirmative action merupakan langkah yang strategis untuk mengupayakan kemajuan dalam hal kesetaraan dan kesempatan yang lebih substantive dan bukannya formalitas, bagi kelompok-kelompok tertentu seperti kaum perempuan atau minoritas kesukuan yang saat ini kurang terwakili di posisi-posisi yang menentukan di masyarakat.

Perempuan juga memiliki hak politik, termasuk salah satunya dalam mengambil keputusan. keikutsertaan ini dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperi diskriminsi di tempat kerja yang menganggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan, penetaan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama.

Hal seperti ini sangat merugikan posisi perempuan, maka dari itu partisipasi perempuan dalam politik sangat diperlukan untuk mengambil kebijakan agar tidak ada lagi diskrimasi teerhadap perempuan yang dianggap tidak bisa lebih dari laki-laki.
Tetapi saat ini partisipasi perempuan Indonesia masih di bawah 30%.

Pentingnya peningkatan partisipasi perempuan supaya pengambilan kebijakan yang lebih akomodatif dan substansial. Selain itu menguatkan demokrasi yang senantiasa memberikan gagasan terkait perundang-undangan pro perempuan dan anak di ruang publik. Peningkatan kualitas perempuan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan politik di parlemen guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan gender.(analisa)