Perempuan, Politik dan Ketidakadilan Gender

oleh -518 views
oleh
518 views
Sauqiyati Azkiya Darman, Mahasiswa FISiP UNAND. (dok)

Oleh:  Sauqiyati Azkiya Darman

Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UNAND

MEMBANGUN demokrasi mustahil dilakukan tanpa memperjuangkan ruang politik yang di dalamnya mengakomodasi hak seluruh warganegara, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam konteks politik nasional, perempuan kerap dijadikan warga kelas kedua.

Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda. Namun, gender bukanlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan sebagai anugerah dari tuhan.

Gender lebih ditekankan dalam kaitannya dengan berbagai peran dan ciri yang ada dalam masyarakat. Dalam kehidupan nyata, terdapat perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan perbedaan status sosial mereka di masyarakat. Karena struktur sosial mereka, hal ini laki-laki lebih baik daripada perempuan. Sehingga terdapatnya hambatan dan rintangan ketika perempuan berniat terjun ke politik.

Politik praktis kadang dianggap wilayah yang tabu dimasuki oleh perempuan. Karena partisipasi perempuan dalam politik praktis terbilang rendah dan mengakibatkan kurang terakomodasinya kepentingan mereka dalam keputusan politiknya.

Sehingga setiap kebijakan politik diambil dari sudut pandang laki-laki dan miskin prespektif dari gender di dalamnya, maka terjadilah pembagian peran gender antara peran domestik dan peran publik.

Di mana peran domestik cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan, atau pun pengaruh. Peran ini terutama diberikan kepada wanita. Sedangkan peran publik menghasilkan uang, kekuasaan, atau pun pengaruh, yang mana di utamakan kepada kaum laki-laki.

Pembagian kerja yang tidak merata menyebabkan ketidaksetaraan peran laki-laki dan perempuan, yang berujung pada ketimpangan gender yang tidak menguntungkan perempuan.

Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat jelas di semua aspek, termasuk keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan pemerintahan.

Perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang setara ini juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan kultur masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan suku.

Setiap masyarakat suku di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri untuk  memahami peran gender di negara ini. Selama ini, pemahaman masyarakat Indonesia telah direkontruksi bahwa perempuan bersifat lemah dan laki-laki kuat, sehingga kepemimpinan keluarga tetap diserahkan kepada laki-laki.

Hal ini menunjukkan dominasi laki-laki dalam peran domestik. Dalam situasi ini, perempuan akan terlibat dalam berbagai tugas tanpa batas waktu, seperti memasak, pekerjaan rumah tangga, dan merawat anak, pekerjaan rumah tangga dilakukan dengan fungsi reproduksi.

Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih diperebutkan baik di tingkat administratif maupun legislatif. Permasalahan tentang kesetaraan gender mengandung pemahaman substantif politik dari prespektif gender itu sendiri.

Peningkatan kesadaran dan pemahaman ini membutuhkan keterlibatan perwakilan perempuan di lembaga nasional, terutama lembaga politik. Mengingat perempuan masih mengalami ketimpangan dalam pendidikan, masalah sosial, politik dan ekonomi hanya karena pengetahuan masyarakat indonesia tentang gender masih sangat lambat berkembang. Tidak hanya di politik tetapi di lingkung keluarga peran perempuan selalu di nomor duakan.

Menempatkan perempuan dalam tugas domestik sama sekali mengurangi peluang mereka untuk melakukan hal-hal yang produktif. Padahal, sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah secara resmi telah melaksanakan dan menetapkan kesepakatan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan Undang-Undang Dasar 45 pasal 27.

Namun demikian, dalam perkembangannya, beberapa UU yang selama ini berlaku di Indonesia, disadari mempunyai arti yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Terdapatnya salah satu contoh kasus isu pelecehan tentang perempuan yang mewarnai tahapan awal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Yang mana terdapatnya komentar menyasar pada salah satu bakal calon wali kota Tenggarang Selatan, Rahayu Saraswati.

Maka tidak diragukan lagi bahwa konteks pelecehan seksual yang dialami perempuan. Menjadikan perempuan sebagai objek seks dan bahan candaan seksual seolah telah menjadi bentuk kewajaran yang disikapi secara permisif oleh masyarakat.

Tidak terkecuali di ranah politik yang merupakan wilayah di dominasi oleh nalar maskulinitas. Persaingan politik baik di tingkat Pilkada maupun di tingkat legislatif terkenal sangat sengit dan seringkali menyesatkan perempuan.

Perempuan yang diakui sebagai warga negara kelas dua sering diserang secara politik karena identitas femininnya. Mulai dengan komentar aneh tentang tubuh, penampilan, dan sebagainya.

Hal ini mengaburkan esensi dari apa yang sebenarnya menjadi isu utama dalam debat politik aktual, seperti program kerja, prestasi, integritas, dan ideologi politik yang mereka perjuangkan.

Politik pada hakikatnya adalah upaya untuk mengambil peran kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, situasi politik Indonesia masih sangat didominasi oleh kaum laki-laki, pada tingkat yang paling sederhana, baik keluarga, dari tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal.

Gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan perkembangan akses perpolitikan bagi perempuan. Melalui akses perpolitikan, maka kesadaran untuk membincang relasi gender di dalam kehidupan masyarakat menjadi semakin mengedepan.

Kesetaraan gender sebagaimana yang diketahui adalah produk impor dari negeri barat tentang adanya tuntutan untuk keseimbangan peran di dalam relasi gender tersebut.

Dari prespektif yang lebih luas, pelecehan terhadap perempuan di ranah politik sebenarnya di luar budaya patriaki yang kuat yang melanggengkan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Budaya patriaki cenderung tendensi untuk menjadikan perempuan pada kekuasaan laki-laki dan tidak memberikan hak otonomi bagi perempuan untuk berpatisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan gender dan seringkali menjadikan perempuan korban dari sistem sosial politik yang tidak mengadaptasi hak-hak perempuan.

Menurut Mansour Fiqih dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2003) mengklafikasikan bentuk ketidakadilan gender yaitu, marginalisasi (permiskinan), subordinasi, pelabelan negatif, kekarasan, dan beban ganda.

Akhir-akhir ini akses perempuan di dalam politik memang sudah mulai tampak dengan semakin banyaknya keterlibatan perempuan di dalam politik praktis.

Saat ini, semakin banyak perempuan di legislatif, birokratis, dan posisi politik lainnya. Ada beberapa bupati perempuan di Indonesia serta gubernur. Tidak hanya gubernur, bahkan bupati perempuan yang bisa menjabat dua periode.

Tak terhitung orang yang tinggal di partai politik dan kemudian pindah ke legislatif. Semakin besar akses keterbukaan politik, semakin banyak perempuan dapat bersaing dengan laki-laki di depan publik. Oleh karena itu, pemberian kuota kepada perempuan perwakilan rakyat tentu tidak penting. Meski demikian, hak politik perempuan kini diakui secara luas.

Namun, keberadaan hak-hak tersebut tidak menjamin ssitem politik yang demokratis di mana prinsip-prinsip partisipasi, keterwakilan,dan akuntabilitas memperoleh makna yang sebenarnya. Hak politik perempuan diakui, tetapi ada perwakilan perempuan, dan berbagai kebijakan baru yang ramah gender tidak selalu terwujud.

Dua puluh tahun telah berlalu sejak negara ini berada dalam era reformasi yang terkedan lebih demokratis. Kiranya dua puluh tahun reformasi demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil dapat menghilangkan praktik ketiadaksertaan gender dalam politik nyata.

Partisipasi perempuan dalam politik aktual baik di cabang eksekutif maupun legisltaif tidak hanya membutuhkan kerangka hukum, tetapi juga pemahaman bersama tentang martabat dan nilai-nilai perempuan. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi Warga Negara Indonesia yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.

Hal ini ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik.

Ada pentingnya pendidikan politik bagi elit dan masyarakat umum, yang mana dapat mengakhiri ketidaksetaraan gender di semua jenis dunia politik dan dapatnya peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik.

Kasus pelecehan tersebut dapat membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa politik praktis merupakan wilayah yang belum ramah pada perempuan, menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah dan Stakeholder serta masyarakat sipil untuk melakukan reformasi demokrasi ke arah yang lebih mendukung terciptanya keadilan gender. Ada pentingnya pendidikan politik bagi elit dan masyarakat umum, yang mana dapat mengakhiri ketidaksetaraan gender di semua jenis dunia politik. Yaitu, sebagai berikut;

Bagi elite, pendidikan politik berperspektif gender diperlukan agar ke depan tidak ada lagi praktik mendiskreditkan politisi perempuan hanya karena status keperempuanan yang disandangnya. Kontestasi demokrasi idealnya diwarnai oleh perang strategi dan adu gagasan, alih-alih mengumbar ujaran-ujaran yang bernada melecehkan dan merendahkan martabat lawan politik.

Bagi masyarakat umum, perlu ditanamkan kesadaran bahwa partisipasi dalam demokrasi tidak hanya ditunjukkan dengan antusiasme memberikan hak pilih, melainkan juga membangun paradigma politik yang adaptif pada keadilan gender.

Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan.(analisa)