Perjuangan Perempuan dalam Mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan dan Mengapa Keberadaan Pentingnya Keberadaan Perempuan di Lembaga Legislatif dalam Mewujudkan Affimative Action

oleh -196 views
oleh
196 views
Ahmad Harits Azzaki, Mahasiswa FISIP. UNAND. (dok)

Oleh :  Ahmad Harits Azzaki

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

JIKA melihat perjuangan perempuan di Indonesia, tentu kita tak lepas dari sejarah. Banyak perempuan-perempuan Indonesia yang sadar adanya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan pada akhirnya berjuang untuk mendapatkan kesetaraan, keadilan, dan hak-hak perempuan.

Sebut saja RA. Kartini, salah satu tokoh nasional Indonesia yang memperjuangkan hak-hak perempuan dengan menggaungkan emansipasi wanita, yang diharapkan dapat melahirkan wanita-wanita hebat yang kritis melihat dan memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia.

Awal gerakan perempuan di Indonesia dimulai sebelum kemerdekaan dideklarasikan, yaitu pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Salah satu gerakan awal perempuan dengan dibentuknya organisasi perempuan pertama yaitu Poetri Mardika yang berupaya memperjaungkan hak-hak perempuan. Kemudia muncul gerakan-gerakan baru seperti Pawijitan Wanita di Magelang (1915), Aisiyah di Yogyakarta (1917), Wanita Susilo di Pemalang (1918) hingga terciptanya kongres perempuan pertama di Indonesia pada tahun 1928 yang berlokasi di Yogyakarta.

Seiring berjalannya waktu hingga mencapai kemerdekaan, gerakan perempuan tidak hanya terhenti sampai disitu saja, perempuan tetap memperjuangkan hak-haknya dan ingin mencerdaskan perempuan bangsa agar perempuan mendapatkan kehidupan yang layak.

Perempuan mulai melek terhadap persoalan-persoalan politik yang dimulai sejak zaman orde baru. Zaman Orde Baru merupakan zaman kemunduran dari gerakan-gerakan perempuan yang selama ini telah diperjuangkan. Pada masa itu, perempuan sangat terkekang oleh ideologi Panca Dharma Wanita, yang dimana perempuan tunduk kepada suami atau pejabat negara, dan dituntut untuk tidak melanggar aturan dan mentaati nilai dan norma, dan perempuan pada saat itu dijadikan alat komersialisasi, seperti iklan, dsb.

Pada masa Orde Baru, Soeharto dengan sengaja membentuk suatu konstruksi sosial yang dimana perempuan itu hanya bertugas menjadi ibu rumah tangga yang baik, serta adanya imbauan agar perempuan tidak bergabung dalam dunia politik, hal ini membuat budaya patriaki melekat pada masyarakat.

Kudeta politik pada tahun 1965 membuat stigma terhadap perempuan bahwa perempuan tidak seharusnya berada dalam dunia politik, melainkan berada pada ranah sosial dan budaya. Depolitisasi sengaja dilakukan pemerintah Orde Baru agar kaum perempuan, terkhusus para perempuan terdidik, kritis, aktif dalam berorganisasi dan berpolitik di masa orde lama, secara tidak langsung menggantikan peran yang dianggap layak dalam pergerakan perempuan yang diawasi oleh negara, hal ini menyebabkan perempuan yang pada awalnya memiliki peran dalam dunia politik mengalami perubahan yang sangat drastis dengan digantikannya dalam progam PKK.

GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) merupakan organisasi yang dibentuk pada era Orde Lama dengan tujuan melakukan kegiatan-kegiatan untuk peningkatan kesadaran kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Namun sayangnya organisasi ini mengalami kehancuran karena beredarnya isu bahwa GERWANI berpihak kepada PKI yang saat itu menjadi perbincangan hangat. Framing media massa pada saat itu yang menarasikan bahwa PKI berafiliasi dengan GERWANI dan dituduh berkomplotan membunuh 7 jendral yang mayatnya dibuang kedalam lubang buaya, yang pada akhirnya GERWANI mengalami kemunduran.

Tentunya hal ini ditandai dengan kemunduran jauh peranan perempuan dalam meningkatkan kesadaran serta isu-isu yang berkaitan dengan hak-hak perempuan karena telah dirampas perlahan-lahan sehingga terciptalah sebuah stigma bahwa perempuan lebih baik dirumah saja mengurusi keluarga.

Soeharto berhasil menciptakan konstruksi sosial yang bertujuan agar mendapatkan kekuasaan penuh dan mengontrol seluruh masyarakat Indonesia.

Tentunya HAM sebagai bentuk landasan nilai dalam melindungi seluruh hak-hak manusia terutama perempuan tidak terjadi pada era ini, hal ini menunjukkan betapa drastisnya penurunan terhadap perlindungan HAM di Indonesia demi mendapatkan kekuasaan semata. Padahal sebelumnya, Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang dimana dalam konvensi internasional tersebut berisi:

1. Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958.

2. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Tahun 1979 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman) menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984.

3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.

4. Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 beserta protokolnya.

5. Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 beserta protokolnya.

Maka dalam perkembangannya, setelah terjadinya reformasi tahun 1998 yang ditandai jatuhnya kekuasaan Soeharto, maka satu persatu perempuan-perempuan mulai memberanikan diri dengan ikut bergabung dalam pesta politik tahun 1999. Perempuan yang ikut pesta kontestasi politik sebanyak 9% dan Laki-Laki sebesar 91%.

Dari persentase tersebut, terlihat gap yang sangat jauh antara anggota dewan laki-laki dengan perempuan, oleh karena itu, dalam mewujudkan proses demokratisasi, maka dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun tujuan dari diadakannya kuota 30% pada tiap-tiap partai politik yaitu dengan harapan agar partisipasi perempuan meningkat, hal ini disebut sebagai tindakan afirmatif atau yang dikenal dengan affirmative action.

Karena pada dasarnya, dalam demokrasi setiap warga berhak untuk memilih dan dipilih, artinya perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk bergabung kedalam lembaga legislative, tentunya melalui pemilihan umum yang diusung oleh masing-masing partai politik.

Perkembangan keterwakilan perempuan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada pemilu 2004 mengalami kenaikan menjadi 11,8% sampai pada pemilu terakhir pada tahun 2019 di tingkat 20,52%. Namun dari kenaikan tersebut, keterwakilan politik belum mencapai kuota 30%, artinya ada sesuatu yang menjanggal sehingga tujuan 30% hingga saat ini belum tercapai.

Apa yang terjadi kepada perempuan sehingga tujuan kuota 30% sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2003 belum tercapai? Dilansir dari VOA Indonesia, bahwa terdapat kultur dalam Partai Politik yang menyebabkan lambatnya keterwakilan di lembaga legislative. Dijelaskan bahwa anggota DPR fraksi PKB Luluk Nur Hamidah mengatakan bahwa masih adanya persepsi masyarakat yang memandang bahwa perempuan itu seharusnya tidak berada dalam dunia politik.

Dari sini kita bisa menilai bahwa di era modern sekarang, masyarakat Indonesia masih memegang prinsip patriaki yang menyulitkan perempuan untuk maju berkarir di dunia politik. Maka perlunya dukungan dari keluarga, teman dekat, atau orang-orang yang berarti bagi perempuan agar perempuan tidak merasa minder atau merasa hina jika dirinya maju sebagai anggota dewan.

Dewasa ini, isu-isu terkait perjuangan hak-hak perempuan mulai mencuat kembali, dengan adanya kasus pelecehan seksual yang dimana para korban tidak mendapatkan keadilan serta hukum yang belum melindungi perempuan secara maksimal. Melihat dari kasus pelecehan seksual yang semakin menjadi-jadi, maka DPR mengeluarkan UU-TPKS yang bertujuan melindungi korban dari kejahatan seksual dan mendapatkan keadilan bagi perempuan.

Tentunya desakan akan dikeluarkannya UU tersebut tak lepas dari aksi-aksi yang dilakukan perempuan Indonesia, terutama aktivis dari kalangan mahasiswa yang sadar betul akan pentingnya perlindungan perempuan.

Maka dari sinilah peranan perempuan dalam parlemen sangat amat dibutuhkan, agar perempuan-perempuan yang menduduki kursi pemerintahan dapat membuat kebijakan yang melindungi hak-hak perempuan dan juga anak.

Harapan saya sebagai penulis adalah dengan adanya affirmative action, berarti telah meneruskan perjuangan yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan terdahulu untuk mencapai keadilan, kesetaraan, perlindungan hak manusia, terutama perempuan dan anak karena kasus-kasus pelanggaran HAM terutama perempuan sangat banyak dijumpai di masyarakat namun belum mencapai keadilan bagi perempuan itu sendiri.(analisa)