oleh: Adrian Toaik
SEMBILAN Desember 2020 ditetapkan menjadi hari pemilihan kepala daerah pada rejim Pilkada serentak nasional.
Proses tahapan Pilkada sempat terpending karena pandemi, kini dilanjutkan masih saat pandemi.
Ber-Pilkada di tengah pandemi korona tentu beda dari Pilkada yang sudah-sudah.
Sehingga itu perlu para calon kepala daerah menentukan formula jitu agar pesan untuk merayu pemilih sampai ke relung hatinya.
Ingat pemilih di Sumbar itu beda, dalam ‘angguak ada geleng’ itu kalau ketemu bagaimana kalau tidak bertemu atau secara virtual dengan konstituen. Bisa-bisa pemilih bilang ‘indak ciek alah e ko doh’.
Sehingga itu calon kepala daerah harus pandai-pandai menyikapi situasi Pilkada beda tersebut. Jangan terjebak dengan pola Pilkada di era sebelum pandemi.
Apalagi pemilih di Sumbar tidak sama dengn pemilih di daerah lain. Dan untuk mendapatkan suara pemilih di Sumbar ini bisa costnya besar bisa pula costnya minim.
Pola mengumpulkan massa sekarang ini tidak bisa lagi karena ada korona yang mengintai. Pola baliho besar besar masih masuk nalar kita, tapi tetap tidak mempengaruhi eletabilitas calon.
Terus apa yang mesti dilakukan Calon Kepala Daerah di situasi Pilkada kekinian, jaringan dan simpul harus tumbuh bak cendawan tumbuh di musim penghujan.
Rawat dan selalu berinteraksi dengan simpul dan jaringan itu harus intens dilakukan para calon kepala daerah.
Selain itu calon harus berani keluar dari zona nyaman berkampanye yakni bahasa lips service harus diganti dengan bahasa ide atau gagasan yang tidak muluk-muluk tapi mengena hati pemilih.
Demikian juga memanfaatkan media massa dan media sosial, jangan pemberitaan kontennya ‘wak hebat wak ancak se’. Tapi bagaimana menggunakan media itu menabur ide dan gagasan.
Sudah begitu pun si calon belum 100 persen pemilih akan setuju dan memilihnya di TPS nanti.
Hasil Pilkada di Sumbar sulit ditebak siapa yang akan menjuarainya. Orang Sumbar itu DNA-nya adalah politik. Bergurau di lapau itu sarat makna.
Si Padang itu ‘alun takilek alah takalam’ maknanya ‘ota lapau’ di Minang itu penuh dengan analisa tidak peduli dia pakar atau bukan.
Dan jangan pernah man-den dengan masyarakat Sumbar,
maknailah ‘kacak langan alah balangan kacak batih alah babatih, kayo den indak ka maminta, cadiak pun den indak ka batanyo’.
Artinya meyakinkn orang minang akan gagasan sulitnya minta ampun, dikasih uang pun pemilih belum tentu akan memilih calon yang kasih duit.
Sehingga itu prilaku politik orang minang banyak politisi menggeleng-gelengkan kepala dibuatnya. Tidak ada parameter teori untuk memprediksi kemana suara pemilih Sumbar itu bermuara.
Makanya sebagai calon harus mengikhlaskan apappun penetrasi dilakukannya baik saat pra calon maupun telah ditetapkan KPU menjadi calon kepala daerah.
Kalau syahwat menang dan harus berkuasa di Sumbar,
maka ini ketika tidak berhasil akan menjadi bumerang tidak elok bagi para tokoh itu.
Penulis berharap Pilkada saat pandemi ini justru menghasilkan pemimpin yang melebihi ekspektasi akan pemimpin selama ini di ranah tercinto ini. (analisa)
Smoking Room BIM/17 Juli 2020