Arifki Chaniago Pengamat PolitikPuasa Ramadan tidak hanya ritual yang dilakukan setiap satu bulan dari dua belas bulan yang diberikan Tuhan untuk hidup selama satu tahun untuk orang yang beriman.
Selain itu Puasa Ramadan tidak juga sebatas menahan haus, lapar dan hal-hal yang membatalkan puasa. Puasa Ramadan adalah kewajiban yang seharusnya muslim lakukan sebagai wujud kehambaannya kepada Tuhan dan perenungan kekhalifahnnya di muka bumi.Sebagai mahkluk Tuhan yang sanggup menerima beban khalifah di muka bumi dibandingkan makhluk lainnya seperti binatang, tumbuhan, malaikat dan jin. Manusia menunjukan keberadaannya sebagai khalifah, makanya menjadi manusia tidaklah mudah karena menerima beban : “saya telah terima Tuhan, amanah-Mu, dan selesai aku kerjakan”.
Posisi penghambaan manusia kepadaTuhan dan kekhalifahannya tidaklah seringan itu, sebab manusia diberikan pilihan untuk menjalankan tugasnya. Merujuk Ali Shariati: Annas, Basyar dan Insan adalah gambaran bentuk manusia.Annas merupakan manusia yang bersifat keseluruhan, Basyar adalah manusia yang tetap memosisikan dirinya sebagai mahkluk yang biasa tetap (being) dengan tidak mengalami kemajuan berupa perubahan diri ke ranah sosial yang ditunjukan dengan aksi. Sedangkan Insan adalah manusia yang melakukan metamorfosis sikap dan kepedulian yang berdampak terhadap lingkungan sekitar. Insan adalah proses menuju paripurna (Insan Kamil).
Pemaknaan manusia antara dua zat yang ada ditubuh manusia, ruh Tuhan yang suci serta lumpur manusia itu diciptakan, makanya saat manusia itu terus melakukan hubungan tanpa henti. Pemaknaan dirinya sebagai hamba terhadap Tuhan serta sebagai khalifah dimuka bumi, maka manusia sebagai Insan Kamil melalui garis seharusnya terus menuju titik roh yang saleharusnya. Sesungguhnya manusia yang Basyar atau lumpurlah manusia yang merugi. Ibadah Sosial Saat ini umat muslim sedang melakukan penghayatan ibadah Ramadan. Puasa dimaknai secara sosial dengan berpuasa di bulan yang suci ini bukan hanya memetik hikmah sebatas ritual. Menahan diri dari hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, maka tak ada salah puasa kali ini dimaknai sebagai pengungkapan empati terhadap lingkungan sosial. Puasa menjadi momentum untuk menghasilkan pemimpin yang berpuasa.
Menahan diri dari sikap korupsi, sombong dan zalim. Bukan rakyat saja yang berpuasa dan berbuka untuk pendidikan mental warga negara. Para pemimpin juga menjadikan Ramadan sebagai ranah pendidikan. Saat mendapatkan jabatan jangan mengucapkan Alhuma Lakasumtu…, sehingga tidak sanggup berpuasa jabatan, akhirnya memilih berbuka korupsi, kerusuhan dan kemiskinan sistematis ekonomi masyarakat. Agama harus menjadi alat filter yang diarahkan secara positif bukan bentuk politisasi.Hubungan agama dengan kekuasan, bukanlah masalah baru dalam diiskusi “politik”, selain agama sudah mendarah daging dalam masyarakat, agama juga menjadi bagian yang sudah melekat pada diri masyarakat. Seperti yang diungkapkan Soedjatmoko: agama sudah menjadi aturan tersendiri bagi masyarakat, sehingga sebelum negara membuat aturan, agama selalu menjadi alat filter bagi masyarakat, apakah sebuah keputusan itu “layak” atau “tidaknya” untuk dijadikan sebuah kebijakan (Soejadmoko: 1984).Berkaca pada literatur lain,agama berhubungan dengan kekuasan. Pergesekan antara rakyat dengan pemimpin. Pada masalah ini agama menjadi sesuatu yang diperebutkan—kata Marx, pemikir sosialis—agama menjadi kekuatan kaum kapitalis untuk menakut-nakuti masyarakat agar tetap patuh, sehingga hubungan ekonomi dan politik cendrung diam saat agama menjadi penengah yang melemahkan kritik masyarakat terhadap pemimpinnya atau kezaliman kapitalisme yang tak memberikan waktu berpikir bagi masyarakat untuk menentang kekuatan materi. Kehawatiran itu wajar saja, jika itu dikembangkan dalam suasana bulan Ramadan yang seharusnya kita memang berada dalam kesucian hati. Menggunakan bulan yang penuh ampunan ini, memang untuk beribadah kepada Allah (habluminallah) dan memperkuat sosial (habluminannas).Kepentingan yang bersifat terselubung dalam kegiatan suci ini wajar saja kita kritis sebagai masyarakat, baik itu politisi yang memberikan sumbangan saat tim Ramadan datang ke masjid/mushola/surau. Apabila sumbangan tersebut ada nilai ketulusannya sebagai “umat Islam” terimalah, tetapi jika sumbangan politisi itu berunsur pilih saya. Sekali lagi, harus ditegaskan sebagai masyarakat yang ada di masjid/mushola/surauvgerakan politik yang dibuat politisi sudah melewati batas yang ada sebagai masyarakat tak ada salahnya kita melakukanvpelarangan kepada para politisi.
Semua kita berharap ibadah Ramdahan saat ini memang memberikan tranformasi nilai hijrahnya kita dari keburukancmenuju kebaikan. "Modus” politik yang tetap menjadi bagian dalam ibadah Ramadan berarti makna Ramadannya sedang “terpolitisasi”. Jadi tidak salah, menyebarnya korupsi, kerusuhan, kemiskinandan penggangguran dengan gagalnya pemerintah menyejahterakan rakyat. Alasan yang sering dilemparkan pemerintah adalah rakyat, Rakyat tidak ada yang malas tetapi kondisilah yang menyulitkannya, sehingga tidak ada bisa berbuat banyak, akhirnya masyarakat menyerah pada kekuasan yang zalim. Pemimpin yang tidak pernah menyadari bahwasanya ia adalah seorang pemimpin selalu menggunkan jabatan untuk berbuka dengan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya.Seperti kata Milan Kundera, melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.***
Editor : Adrian Tuswandi, SH