Quo Vadis Sepakbola Sumbar

oleh -913 views
oleh
913 views
Rakhmatul Akbar
Rakhmatul Akbar

Oleh: Rakhmatul Akbar (Wartawan Olahraga)

TAHUN 2017 bak lembaran hitam bagi sepakbola Sumbar. Puncaknya, saat satu-satunya tim elite di kancah sepakbola nasional asal Sumbar, Semen Padang FC terlempar ke level kompetisi kelas dua, Liga2. Sejak itu, sepakbola di daerah yang punya sejarah panjang sepakbola di Indonesia ini seperti buram.

Semua komponen seperti tertunduk layu, seperti tak tahu mesti bagaimana. Padahal sejarah panjang sepakbola Sumbar, daerah ini bukan daerah kemarin sore yang mewarnai sepakbola di republik ini. Selain Semen Padang FC, ada juga nama PSP Padang yang pada dekade-dekade lalu, jadi rujukan sepakbola nasional. Di masa jayanya, PSP adalah lawan latih tanding tim-tim asal Eropa sana. Di tengah kondisi perpolitikan nasional belum setenang saat ini, yakni di dekade 1950-an, Pandeka Minang, julukan PSP Padang bahkan pernah meladeni tim Juara Piala Champions Eropa, Red Star Belgrade asal Yugoslavia untuk berlatih tanding.

Belum lagi tim-tim elite Eropa lainnya. Begitu harumnya nama PSP Padang saat itu. Di level nasional, PSP Padang adalah tulang punggung tim Sumbar di ajang PON (Pekan Olahraga Nasional). Hasilnya, luar biasa. Sumbar, (kala itu masih Sumatera Tengah) jadi juara III pada PON III di Medan tahun 1953 dan finalis pada PON IV Makassar tahun 1957. Itulah masa lalu sepakbola di Ranah Minang.

Di era sepakbola modern, penyuplai pemain sepakbola untuk Sumbar tak hanya tertumpang lewat PSP Padang saja. Para pemain tumbuh dari berbagai sentra, tapi capaian tak segemerlap capaian di dekade 1950-an itu. Capaian terbaik sepakbola Sumbar di ajang resmi nasional barulah lahir di tahun 2004 saat Hengki Ardiles Cs menjejak pada fase semifinal PON XVI tahun 2004 di Palembang.

Tanpa mengabaikan fase sebelum Hengki Ardiles Cs, sepakbola Sumbar perlahan seperti meredup kembali. Dan puncaknya adalah di tahun 2016-2017. Tim sepakbola Sumbar tak lolos ke PON XIX-2016 Jawa Barat, PSP Padang berkutat di level bawah kompetisi nasional dan akhirnya, Semen Padang FC ikut terjerembab.

Kini, tahun telah berganti. Tahun 2018. Tahun ini, penikmat sepakbola Sumbar, baik itu di ranah ataupun di rantau sudah kehilangan cita rasa sepakbola Sumbar. Tak ada lagi wajah sepakbola yang bisa mereka banggakan dan nikmati. Mulai dari fase junior, amatir hingga pro, semua seperti tengah berada di kubangan.

Mestinya, ada upaya untuk mengantarkan bersama-sama satu kelompok, perwakilan dan tim untuk bisa menyodok di kompetisi yang lebih baik.

Bicara soal persiapan tim sepakbola PON XX di Papua tahun 2020 mendatang, Sumbar seperti kehilangan arah. PSSI yang diharapkan ntah memikirkan itu ntah tidak. Akhir tahun 2017 lalu, dilaksanakan pemilihan Ketua Asprov PSSI Sumbar. Hasilnya, terpilihlah seorang Indra Dt Rajo Lelo secara aklamasi. Keterpilihan seorang Indra Dt Rajolelo ini jelas merupakan perpanjangan tangan sepakbola Sumbar yang ditopangkan kepadanya. Ia muncul sebagai calon tunggal dengan segala bentuk kesiapannya.

Dari titik ini, Sumbar seperti tak punya tokoh lain, tokoh pembanding yang siap tampil di depan mendorong sepakbola ke pentas sepakbola yang diperhitungkan. Para pemilik suara, seperti lupa kegagalan Sumbar melenggang ke arena PON XIX Jawa Barat lalu, ada di masa Indra Dt Rajolelo memimpin Sumbar. Terlepas dari rasa hormat kita kepadanya, ia merupakan sosok yang harusnya bertanggung jawab atas kegagalan itu.

Lalu, bagaimana ke depan? Apakah mampu perjalanan sepakbola Sumbar ini ditumpangkan kepadanya seorang. Tak mungkin rasanya. Karena formulasi yang ia miliki besar kemungkinan tak akan bergeser dari formula masa lampau yang akhirnya mengandaskan mimpi anak-anak Sumbar bertarung di level PON. Saat itu, di level Porwil Sumatera 2015 Bangka Belitung saja, mereka gagal lolos fase grup.

Lalu, apakah mungkin kita masih menumpangkan harapan kepadanya, kepada seorang Indra Dt Rajolelo? Saya menyebutnya mungkin saja, karena selagi masih ada harapan, maka saat itu pasti masih ada jalan yang bisa ditempuh untuk memperbaiki keadaan untuk mencapai level yang lebih tinggi. Apa itu? Saya menyebut Genggaman Kekuasaan.
Perlu ada pengaruh dan cengkraman dari penguasa tertinggi untuk mendorong program sepakbola yang sejalan. Siapa? Gubernur.

Iri rasanya ketika tetangga, Jambi, sudah memulai program tersebut. Saya terinsprirasi dari sebuah status di grup Facebook sepakbola Sumbar yang seolah menyentil penguasa Sumbar terkait pelaksanaan ajang Piala Gubernur Jambi. Pesertanya, seluruh kabupaten kota di provinsi tersebut. Konon kabarnya, mereka menggelar turnamen itu untuk menyongsong PON XX-2020 di Papua sana. Artinya, ada keterlibatan kekuasaan ini. Gubernur.

Apakah Sumbar tak punya potensi serupa? Saya lihat, ada! Apa itu, yakni menumpang pada iven tahunan turnamen sepakbola antarkecamatan, Minangkabau Cup yang kabarnya kini tengah disiapkan lagi untuk tahun 2018. Turnamen sepakbola yang diklaim sebagai turnamen terbesar di Indonesia ini mampu memunculkan potensi anak negeri. Hanya saja, dari dua kali gelaran, mimpi yang diharapkan sejak turnamen ini masih bertitel Irman Gusman Cup 2016 lalu itu belum menunjukkan buah nyata untuk sepakbola Sumbar.

Ceritanya, akan ada proses pemantauan bibit. Tapi kini, bibit-bibit yang terjaring itu ntah bagaimana nasibnya. Ntah masih dipupuk, ntah sudah dibiarkan begitu saja. Untuk itu, perlu evaluasi dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan di sepakbola untuk menghasilkan capaian target yang maksimal dan efektif tentunya.
Turnamen ini, harus diakui sebagai kepedulian sosok-sosok sepakbola untuk menyemarakan olahraga rakyat ini di kampungnya. Tapi, untuk saat ini, sepakbola tak lagi sekedar semarak.

Sepakbola harus memiliki tujuan yang jelas dengan formulasi yang jitu pula tentunya.Elok kiranya, jika Minangkabau Cup itu disederhanakan. Ini bisa disebut sebagai usulan evaluasi dimana Minangkabau Cup tak lagi mempertandingkan antarkecamatan, tapi antarkota-kabupaten di Sumbar dengan batasan usia yang jelas.

Lalu, apakah semarak antarkecamatannya dihilangkan? Tentu tidak. Ajang turnamen sepakbola antarkecamatan tak lagi menjadi tanggungjawab pihak Minangkabau Cup, tapi tanggung jawab daerah sepenuh.

Siapa mereka? PSSI Kabupaten/kota dan pemerintah daerah. Bicara soal pemerintah daerah, tentulah genggaman kekuasaan.
Dari sanalah, kemudian tersaring bibit-bibit unggul pesepakbola daerah yang bisa saja di dorong ke bond sepakbola daerah itu hingga kemudian di adu ke tingkat Sumbar. Di sinilah, proses selanjutnya dilakukan. Hanya saja, soal teknis tentulah pemangku kepentingan sepakbola Sumbar bisa menyarikannya menjadi sebuah formulasi sepakbola Sumbar ke depan, atau setidaknya menjadi blue print sepakbola Sumbar.

Dan di sinilah saatnya, seorang gubernur yang sebenarnya penikmat bola itu, ikut berperan. Kenapa penikmat bola? Karena di tahun 2013 silam, seorang Irwan Prayitno bahkan bela-belain minta izin ke Mendagri berkunjung ke India hanya untuk mendukung Semen Padang FC di ajang AFC Cup 2013.

Lalu, kemana mereka setelah menjadi alumni Minangkabau Cup? Disinilah kesepakatan itu harus coba dicapai. Walau terkesan konyol dan mungkin sangat sulit dicapai, para alumni Minangkabau Cup dapat didorong ke klub-klub lokal sebagai muara dari pembinaan. Harus ada mestinya yang didorong dari sekian banyak klub sepakbola di Sumbar yang kini masih berkutat di kubangan kompetisi nasional. Harus ada kesepakatan, tim mana yang mestinya didorong untuk keluar lebih dahulu dari kubangan tersebut.

Tim mana? Jika menilik kepada sejarah nama branding, tak salah kiranya kita menumpangkannya ke PSP Padang. Sejarah tak bisa memungkiri PSP punya nama besar dibanding tim lain, tanpa bermaksud mengecilkan tim lain yang ada di pusaran sepakbola Sumbar. Tapi, lagi-lagi formulasi diperlukan sebagai sebuah proses menuju langkah itu agar nanti bisa melahirkan kesepakatan dengan kebesaran jiwa para pemangku kepentingan sepakbola itu sendiri. Itu semua, demi sepakbola Sumbar dan orang-orang yang ada di lingkungan PSP Padang-pun tak perlu jumawa karena ada keterwakilan Sumbar di dalam tubuh Pandeka Minang, Pandeka urang minang, tim urang awak.

Apakah itu mungkin? Jawabannya ada pada para pemangku kepentingan sepakbola Sumbar itu sendiri dan waktu sudah membuktikan. Ketika semua pihak, semua komponen sepakbola Sumbar berjalan di rel nya sendiri-sendiri, yang ada hasilnya cuma mengantarkan tim sepakbola Sumbar di level bawah Indonesia. Cuma segitu.Saat inilah genggaman kekuasaan itu diperlukan. PSSI Sumbar dan gubernur mainkan lah kekuasaan itu. Menyatukan seluruh komponen tanpa ada yang setelah itu merasa dirinya sebagai dewa sepakbola Sumbar. Kita semua adalah dewa sepakbola itu.

Kekuatan yang ada sebenarnya sebagai tawaran untuk melepaskan ketergantungan sepakbola Sumbar ke PT Semen Padang. Perusahaan plat merah yang concern dengan sepakbola sejak awal Dekade 1980-an lalu itu kini juga sedang megap-megap sebenarnya. Menyelamatkan diri mereka saja kini sudah pusing, apalagi ikut membantu sepakbola Sumbar. Sumbangsih PT Semen Padang untuk kompetisi lokal sebenarnya tak perlu dipertanyakan lagi. Selain menggendong tim pro sekelas Semen Padang FC, mereka juga sempat ada menggelar iven tahunan Semen Padang Cup U-23 beberapa tahun lalu. Quo Vadis Sepakbola Sumbar.

(*kutip dari harian haluan)