Realita Perempuan Dalam Kancah Politik

oleh -226 views
oleh
226 views

Oleh: Zifa Indah Pratiwi

Mahasiswa Ilmu Politik UNAND

​PEREMPUAN dalam politik sudah tidak asing lagi didengar oleh kita. Secara penuh perempuan sebenarnya memiliki hak untuk berpolitik. Dalam Undang – Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggaraan Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%.

Aturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan jumlah perempuan yang duduk di lembaga Legislatif maupun di dalam kancah politik.

Pada saat ini, realita yang terjadi ialah masih kurangnya keterwakilan perempuan dalam dunia ataupun kancah politik. Hal itu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu kesetaraan gender dan stigma masyarakat terhadap perempuan, serta minimnya dukungan dari laki- laki dalam suatu partai ataupun di dalam dunia politik.

Keterwakilan pria dalam dunia politik yang sama–sama kita ketahui begitu banyak dibandingkan dengan perempuan. Kesenjangan itu dapat terjadi juga karena tidak adanya kesetaraan gender.

​Pembagian peran serta tanggung jawab baik dari laki – laki maupun perempuan ditetapkan secara sosial maupun kultural atau budaya. Kesetaraan gender (pembagian peran) di dalam kondisi ini masih jauh dari kata setara.

Realita yang terjadi yaitu masih banyaknya peran ganda terhadap perempuan. Contohnya saja perempuan selain ingin berkecimpung di dunia politik, tetapi mereka juga harus memikirkan perannya di dalam Rumah Tangga.

Secara kultural pun stigma yang melekat pada masyarakat Indonesia yaitu perempuan hanya berperan di Dapur, Sumur, dan Kasur. Stigma tersebut yang membuat kegagalan dalam rekruitmen perempuan dalam kancah politik. Dengan adanya stigma tersebut, perempuan akan selalu berpikir bahwa dirinya tidak pantas untuk masuk kedalam dunia politik.

Padahal kenyataannya perempuan juga mampu menjalankan peran nya dalam dunia politik, perempuan juga mampu jadi pemimpin, juga perempuan dapat melaksanakan peran ganda walaupun sebenarnya stigma perempuan hanya berperan di dalam urusan rumah tangga itu tidak selalu benar. Laki-laki juga seharusnya mampu dan dapat mengurus rumah tangga (mengasuh anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga).

​Tidak adanya support ataupun dukungan dari laki–laki dalam dunia politik juga menjadi salah satu faktor kegagalan dalam perekrutan perempuan di dunia politik. Di dalam sebuah partai pada saat perempuan memimpin rapat atau memimpin sebuah lembaga, kebanyakan realita yang terjadi adalah laki–laki tidak dapat menghargai perempuan sebagai “pemimpin”.

Laki–laki tidak dengan sepenuh hatinya melakukan tugas atau apapun yang diperintahkan oleh Perempuan jika mereka menjadi Pemimpin. Perempuan akan selalu merasa di sepele kan oleh laki–laki. Hal itu yang membuat tidak adanya kepercayaan diri perempuan untuk menjadi pemimpin ataupun masuk kedalam kancah politik.

​Oleh karena itu, marilah perempuan memperjuangkan hak–hak dalam dunia politik dan mengasah serta mempertahankan kepercayaan diri untuk masuk kedalam dunia politik tanpa memikirkan stigma masyarakat serta dukungan dari para laki-laki yang ada dalam dunia politik.

Begitu juga sebaliknya, stigma yang beredar ataupun kultural itu harus dipecahkan ataupun disadarkan dengan realita bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin dan memiliki keberanian serta kemauan yang besar dalam memimpin. Serta dukungan dari laki laki juga seharusnya disemarakkan kepada perempuan sehingga kepercayaan diri perempuan tidak hilang begitu saja. (analisa)