“Selamat tinggal” Baitullah 

oleh -3,995 views
oleh
3,995 views
Penulis di Ka'bah di Baitullah.

Oleh: Ust H Mulyadi Muslim

Ar Risalah (habis)

BERJALAN sudah sampai, yang dituju sudah didapatkan. Maka ibarat pepatah minang, bajalan lah sampai ka bateh, balayie lah sampai ka pulau, yang dimaksud sudah sampai nan diama alah pacah. Maka mau tidak mau setiap jamaah haji harus kembali ke tanah air. Kecuali yang sedang dirawat karena sakit berat harus menunggu rekomendasi dokter untuk boleh pulang atau tidaknya.

Secara sunnah disyariatkan bagi jamaah haji yang akan kembali ketanah air atau yang akan meninggalkan Masjidil Haram, untuk melakukan tawaf wada’ atau tawaf perpisahan yang dalam kajian fikihnya sunnat muakkad dan sebagian mazhab mengatakan wajib.

Begitu banyak kenangan kenikmatan dan keharuan beribadah selama prosesi ibadah haji dan khususnya ibadah sholat lima waktu didepan Ka’bah.

Umat islam memang tidak menyembah Ka’bah, tetapi menyembah pemilik Ka’bah, dzat pemelihara Ka’bah itu sendiri,yaitu Allah. Ka’bah hanyalah sentral kiblat dari empat arah, bangunan tua dari tembok tidak dapat memberikan manfaat dan kemudhoratan, karena Allah lah yang memberikan kemuliaan dan kehinaan kepada hambanya.

Cuma berdoa di depan Ka’bah, di tempat yang mulia, terasa Allah sebegitu dekat dengan hambaNya. Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat kapan dan di mana saja, tetapi di depan Ka’bah terasa Allah mendengar langsung keluh-kesah hambaNya.

Suasana hati yang mengharu biru, nikmatnya ibadah di Masjidil Haram memang harus diakhiri dengan tawaf perpisahan. Jika di awal kedatangan air mata berilinang karena kebahagiaan, rindu yang terobati melihat rumah Allah yang mulia secara langsung.

Selamat tinggal Baitullah. (dok)

Maka sejak putaran pertama tawaf wada’, air mata yang keluar adalah air mata kesedihan, berpisah dengan rumah Allah yang mulia. Seolah kita melepas kematian orang yang paling kita cintai dan bahkan lebih dari itu. Tidak ada kata-kata yang keluar, tapi air mata kesedihan itu tidak pernah berhenti membasahi pipi, lalu setelah tujuh putaran selesai barulah suara pecah, parau hingga tidak kuat lagi untuk melihat ka’bah yang sungguh anggun berwibawa itu.

Terpatri dalam diri, Aku hanya menyembahMu ya Allah, bukan menyembah Ka’bah apalagi budaknya hajar aswad. Maka mulai detik ini aku berjanji akan tetap mentauhidkanMu dalam uluhiyah, tidak akan lalai oleh tipu daya dan fatomargana dunia.

Engkau yang maha agung, selainMu adalah kecil. Aku akan penuhi panggilanMu, sholat lima waktu berjamaah di rumahMu, akan menjalankan syariatMu yang lain. Akan menjaga anak dan istri dalam taat kepadaMu.

Ya Allah panggil lah hambaMu yang lemah, papa dan sudah ringkih ini untuk kembali kesini menunaikan umrah atau haji dengan takdir kekuasaanMu, karena aku yakin jika Engkau berkehendak maka tidak ada satupun yang bisa menghalanginya.

Selamat tinggal Baitullah, Aku akan tetap taat kepada pemilik Baitullah. (analisa)