Senator Nofi Candra, Hak Masyarakat Atas Tanah Adat Harus Diperkuat

oleh -969 views
oleh
969 views
Pimpinan PPUU DPD RI Nofi Candra FGD soal UU iniasiasi DPD RI di Unand Padang, Jumat 24/11. (foto: is)
Pimpinan PPUU DPD RI Nofi Candra FGD soal RUU iniasiasi DPD RI tentang HATA di Unand Padang, menerima plakat dari Dekan FH Unand Padang Zainul Daulay  Jumat 24/11. (foto: is)

Padang,— Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif DPD RI tentang Hak atas Tanah Adat (HATA) dibahas Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) bersama akademisi dan pakar hukum Universitas Andalas (Unand).

Pembahasan dalam bentuk FGD menginventarisi materi RUU HATA yang berlangsung di Fakultas Hukum Unand, Padang, Jumat (24/11) kemarin.

Paparan para akademisi dan praktisi hukum dalam FGD ini didengar langsung oleh tujuh anggota DPD RI, yaitu, Nofi Candra, Dedi Iskandar Batubara, KH Syibli Sahabudin, Basri Salama, Aji Muhammad Mirza Wardana, Ahmad Subadri, dan Eni Sumarni.

Suasana FGD DPD RI dengan Akademisi Unand Padang, Jumat 24/11 (foto: is)

Pakar Hukum Unand Prof Yuliandri mengatakan RUU HATA sebagai bentuk pengakuan atas masyarakat hukum adat dengan segala hak yang mengikutinya.

Menurutnya, tantangan dan perkembangan pembangunan, membawa konsekuensi terhadap keberadaan masyarakat dengan hak atas tanahnya.

“Sangat perlu pengaturan yang berkaitan dengan hak atas tanah terutama dalam lingkup ulayat,” kata Dekan FHUA periode 2010-2014 ini.

Narasumber lainnya, Dr Akmal menekankan, memisahkan orang atas tanahnya merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Makanya perlu yudivikasi dengan memperhatikan kearifan lokal.

Begitu juga dengan yang disampaikan Hendri Donald Dt Rajo Bagonjong dari LKAAM Sumbar, yang lebih banyak mengulas tentang tanah ulayat di Minangkabau.

Dalam diskusi, hadir beberapa pakar hukum Unand, diantaranya, Prof Yuslim, Kurnia Warman, Ilhamdi taufik, dari Kanwil Kemenkumham Sumbar, Biro Hukum Setda Sumbar, dan praktisi hukum.

Mereka menelaah RUU hak atas tanah adat ini dari berbagai aspek. Intinya, RUU hak atas tanah adat ini harus lebih diperdalam lagi studi akademik dan draftnya. Sebab, dikhawatirkan, dari draft yang disampaikan PPUU, akan melemahkan posisi hukum adat sebagaimana yang telah kokoh diatur dalam UU Pokok Agraria.

“Dalam UU PA, posisi hukum adat sangat kuat dan menjadi acuan atau rujukan. Makanya, RUU ini perlu pembahasan lebih dalam lagi,” ujar Pakar Gukum Agraria Unand, Kurnia Warman.

Begitu juga disampaikan advokat Roni Saputra, yang seharusnya diperkuat dalam undang-undang adalah masyarakat hukum adat. Sebab, tanah merupakan bagian kecil dari persoalan masyarakat hukum adat.

“Mestinya diperkuat dengan undang-undang tersebut, bagaimana Negara melihat posisi masyarakat hukum adat,” katanya.

Senator DPD RI asal Sumbar Nofi Candra diwawancarai wartawan usai FGD RUU Inisiatif DPD RI dengan akademisi Unand Padang, Jumat 24/11 di Kampus Unand Limau Manis Padang (foto: is)

Sementara itu, Pimpinan PPUU DPD RI Nofi Candra, mengungkapkan, RUU HATA tersebut merupakan salah satu inisiasi dari DPD RI. “Semangat ke-Nusantara-an menyebabkan mereka berpikir bahwa tanah adat di Indonesia memerlukan perlindungan. Dengan RUU ini, diharapkan bisa memberikan solusi bagi kasus sengketa lahan adat, sekaligus memperkuat tanah yang merupakan hak milik komunal masyarakat adat,”ujar Nofi putera asli Solok ini.

Dengan dilaksanakannya FGD di FH Unand ini Nofi Candra mengakui mendapatkan banyak masukan dan merasakan masih perlunya penyempurnaan Naskah Akademik dari RUU.

“Kami harapkan akademisi FH Unand agar bisa menjadi tim ahli dari perumusan RUU HATA ini seperti usulan dari KH Syibli Sahabudin dari Sulbar. Semuanya akan kita bahas di DPD nanti. Terutama tentang penguatan masyarakat hukum adat yang disampaikan dalam diskusi tadi,”ujar  Nofi, anggota DPD RI asal Sumbar tersebut.

Turut hadir dalam FGD tersebut, Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib Said Ismail, yang sangat mengharapkan adanya undang-undang terkait hak atas tanah adat.

“Di Kalimantan Tengah sudah ada Perda tentang tanah adat dan kelembagaan adat yang diperkuat lagi dengan Pergub hak tanah adat.

“Namun, keduanya belum kuat, harus ada undang-undang yang menguatkannya. Kalau tidak investasi bisa menjadi invasi terhadap tanah adat,”ujar Gubernur Kalteng. (rilise)