Sinergitas Peternakan Galo-galo dengan Usaha Tanaman Hias

oleh -763 views
oleh
763 views
Antusiasme warga saat mengikuti sosialisasi Buididaya Galo-galo di Lubuk Minturun oleh akademisi UNAND dan STIKES Indonesia, Sumbar (kiri atas dan bawah), serta bunga Air Mata Pegantin salahsatu tumbuhan pakan potensial bagi galo-galo/kelulut yang kaya sumber madu dan serbuk sari (kanan). (foto: doc)

Oleh: Muhammad Nazri Janra & Henny Herwina

(Dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas)

INDONESIA sebenarnya berpotensi menjadi salah satu produsen madu terbesar di dunia. Dengan posisinya sebagai negara tropis, Indonesia memiliki berbagai modal kapital yang dapat dimaksimalkan untuk mencapai tujuan ini.

Karena berada di garis khatulistiwa yang otomatis memberikannya status sebagai negara tropis, Indonesia memiliki beragam jenis tumbuhan berbunga sepanjang tahun yang dapat digunakan untuk menunjang budidaya lebah madu.

Selain itu, ditengarai bahwa negara-negara tropis seperti Indonesia memiliki banyak jenis lebah penghasil madu lokal yang sejauh ini belum digali potensinya. Pun juga Indonesia hanya memiliki musim hujan dan musim panas, berbeda dengan negara barat yang memiliki musim salju, sehingga ini memungkinkan aktifitas peternakan lebah madu dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa terkendala dengan musim dingin yang biasanya memaksa hampir semua makhluk hidup untuk menghindari ganasnya suhu yang berada di bawah titik nol derajat.

Dari kebutuhan madu nasional yang diperkirakan mencapai sekitar 3.300 ton per tahunnya, Indonesia hanya mampu mencukupi kurang dari setengahnya saja.

Apalagi saat pandemi Covid-19 melanda sejak awal tahun 2020 yang lalu, kebutuhan akan madu semakin bertambah untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan virus baru yang mematikan tersebut. Permintaan yang meningkat tetapi tidak dibarengi dengan persediaan yang memadai membuat harga madu dapat sewaktu-waktu melonjak tinggi.

Seakan meramalkan bahwa kebutuhan madu akan semakin meningkat dari tahun ke tahun, lebih dari satu dasawarsa yang lalu masyarakat mulai dikenalkan dengan serangga penghasil madu alternatif yang dinamakan dengan galo-galo, klanceng atau kelulut. Kelompok serangga ini sebenarnya satu keluarga dengan lebah madu biasa dan dikelompokkn di bawah keluarga besar Apidae, tetapi dalam sejarah perkembangan evolusinya mereka tidak lagi memiliki sengat.

Mereka kemudian dikelompokkan ke dalam cabang keluarga tersendiri Meliponinae, terpisah dari cabang keluarga Apinae yang dihuni oleh lebah madu biasa yang bersengat. Selain tidak memiliki sengat, perbedaan lainnya adalah ukuran tubuh yang lebih kecil serta bentuk sarang yang berupa tabung atau pot, bukan sisiran seperti lebah madu biasa. Meskipun demikian, dalam melaksanakan fungsinya sebagai serangga pengumpul madu, lebah madu tidak bersengat atau galo-galo ini tidak kalah dari saudaranya yang berukuran lebih besar tersebut.

Terdapat beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dari pembudidayaan galo-galo ini. Yang pertama sekali tentunya tidak perlu ada rasa khawatir dari pemelihara lebah untuk terkena sengat saat berinteraksi dengan lebah yang dipeliharanya.

Galo-galo biasanya mempertahankan dirinya dengan menggunakan gigitan dari sepasang capit di bagian mulutnya dan ini cenderung tidak berbahaya bagi manusia.

Bahkan sebelum mengenal potensi madu galo-galo, manusia cenderung mengenal galo-galo sebagai serangga yang agak ‘mengganggu’ karena mereka sering hinggap di tubuh manusia mencari garam yang terkandung dalam keringat manusia. Bahkan tidak jarang mereka juga ‘mampir’ ke rambut manusia dan menimbulkan sensasi ‘geli’ bagi mereka yang sensitif.

Selain ketiadaan sengat yang membuat peternak lebih nyaman, galo-galo banyak yang hidup secara alami mulai dari sekitar pemukiman sampai ke dalam kawasan hutan. Populasi liar ini bisa dijinakkan dan kemudian diperbanyak untuk dapat mulai diambil manfaat madunya.

Galo-galo yang hidup di sekitar pemukiman manusia biasanya memanfaatkan celah-celah yang ada di rumah atau batang tanaman pelindung atau di tempat lain yang memungkinkan untuk menampung populasi koloni mereka dengan nyaman. Di dalam hutan atau tempat yang jauh dari hiruk pikuk manusia, galo-galo biasanya memilih batang kayu atau pepohonan yang memiliki rongga atau lubang. Bahkan kadang galo-galo juga bersimbiosis dengan rayap, dengan memanfaatkan rongga yang dibentuk oleh koloni rayap pada batang pohon. Semua jenis yang hidup alami tersebut dapat kemudian dipindahkan ke dalam lokasi peternakan galo-galo yang sudah disiapkan dengan teknik tertentu.

Seperti yang sudah disampaikan sekilas di atas, galo-galo dan lebah madu tak bersengat lainnya juga menggunakan sumber yang sama dengan lebah madu untuk menghasilkan madu. Mereka juga mengunjungi bunga dari beragam tumbuhan dan tanaman yang ada untuk mengambil sari bunga, serbuk sari dan lainnya untuk dibawa ke sarang mereka untuk kemudian digunakan memberi makan koloninya.

Sebagian besar juga disimpan sebagai cadangan makanan ke dalam gentong penyimpanan yang dibuat dari resin atau getah pohon. Dengan aktifitas ini, galo-galo memiliki peranan penting untuk menyerbuki beragam tumbuhan komersial yang dibudidayakan oleh manusia.

Nantinya tergantung dengan jenisnya, volume dan karakter madu yang dihasilkan juga berbeda dan khas. Namun satu hal yang penting untuk diingat bahwa madu galo-galo dalam volume yang sama mempunyai harga yang jauh lebih mahal dari madu yang dihasilkan lebah madu biasa.

Mengingat fungsi terakhir yang diuraikan di atas, jelas bahwa hal ini sangat berpotensi untuk dapat disinergiskan dengan kegiatan masyarakat yang umumnya sudah ada terlebih dahulu seperti perkebunan, pertanian atau budidaya tumbuhan hias.

Di Kota Padang sendiri, kesemua bentuk kegiatan yang berkaitan dengan tumbuhan tersebut telah lama ada, mulai dari tengah kota sampai ke pinggirannya. Di beberapa tempat bahkan terdapat sentra-sentra kegiatan yang mengkhususkan diri pada salah satunya, misalnya kawasan pertanian terpadu di Lambung Bukik Pauh, sentra manggis di Lubuk Kilangan ataupun pusat tanaman hias di Lubuk Minturun. Selama ini kawasan-kawasan tersebut lebih dikenal menghasilkan produk-produk tanaman dan pertanian yang memenuhi kebutuhan bukan hanya Kota Padang saja, tapi juga seluruh Sumatera Barat dan sampai ke provinsi tetangga. Sehingga dapat dipastikan bahwa pada tempat-tempat tersebut selalu terdapat bunga yang sedang mekar dan mengandung sari bunga dan serbuk sari yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang peternakan galo-galo.

Peternakan galo-galo sangat mungkin sekali untuk ditumpangsarikan di sentra-sentra tanaman dan pertanian tersebut, sehingga potensi sari pati bunga dan serbuk sari yang dihasilkan oleh tumbuhan yang ada dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang menghasilkan nilai tambah. Bukan tidak mungkin masing-masing tempat tersebut juga telah dihuni oleh populasi alami galo-galo yang menunggu untuk diperhatikan dan diternakkan secara lebih telaten.

Kendala mengenai teknis menternakkan galo-galo sebenarnya dapat diatasi melalui kerjasama dengan pihak-pihak yang sudah bergerak di bidang ini, termasuk pihak kampus yang ada di Sumatera Barat. Praktisi dan akademisi galo-galo di lembaga pendidikan dan penelitian tersebut tentunya sangat senang untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya sekaligus juga melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang menjadi salah satu pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Walaupun masih jauh dari kondisi yang ideal, tapi dapat dibayangkan bagaimana harmonisnya atmosfir yang bisa tercipta di kawasan-kawasan pertanian tersebut dengan makin semaraknya upaya peternakan madu galo-galo.

Selain mendapatkan madu, pollen, beewax dan produk lebah lainnya, dapat dipastikan potensi tumbuhan yang ada juga meningkat karena secara ekologis disokong secara aktif oleh hewan penyerbuk seperti galo-galo atau lebah madu tersebut.(analisa)