Soal 9 Tahun Masa Jabatan Kades, Ini Sikap LuHak UMSB

oleh -296 views
oleh
296 views
Moh Raju, Jubir LuHak UMSB tolak perpanjangan masa jabatan Kades/Wali Nagari 9 tahun. (dok)

Bukittinggi— Wacana yang jadi pro kontra saat ini soal masa jabatan kepala desa (Kades) atau wali nagari sebutanya di Sumbar jadi 9 tahun.

Terkait wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa/Wali Nagari yang kini 6 tahun menjadi 9 tahun, Lembaga Kajian Hukum dan Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (LuHak UMSB), tegas menolak rencana tersebut.

Pernyataan sikap itu disampaikan melalui siaran pers (press release) dikeluarkan LuHak UMSB melalui juru bicaranya, Raju Moh Hazmi di Bukittinggi, Kamis 26 Januari 2023.

Dalam pernyataan sikap tersebut disebutkan bahwa aksi ribuan kepala desa (Kades) yang berdemonstrasi di gedung DPR RI, Selasa, 17 Januari 2023 tersebut yang meminta agar DPR merevisi Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) merupakan permintaan yang tidak pro demokrasi.

Sebelumnya dalam demonstrasi kepala desa di Senayan, diungkapkan bahwa permintaan revisi terkait perpanjangan masa jabatan Kades berangkat dari anggapan para kepala desa tidak efektif dan “mepet”.

Masa jabatan 6 tahun menjadi batu sandungan ketika hendak merealisasikan pekerjaan Kades terpilih setelah pemilihan kepala desa (Pilkades). Kades dianggap kesulitan meredam terjadinya polarisasi warga setelah pilkades. Bagi kepala desa tersebut menambah masa jabatan kades adalah keniscayaan.

Sinyal atas penambahan masa jabatan tersebut justru diamini DPR. hal ini terlihat ketika DPR “ngotot” mendorong revisi UU Desa masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun ini.

Menurut Raju Moh Hazmi, Juru Bicara LuHak UMSB, sikap tersebut perlu diuji, apakah alasan tersebut korelatif dengan memperpanjang masa jabatan kades?

Moh Raju menyampaikan setelah melakukan serangkaian analisa dan diskusi, LuHak UMSB menyimpulkan bahwa perpanjangan masa jabatan Kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme dalam negara hukum yang menghendaki adanya pembatasan terhadap masa jabatan penguasa.

Polemik perpanjangan masa jabatan Kades menjadi 9 tahun bukan tidak mungkin akan membuka ruang diskursus dan wacana tentang perpanjangan masa jabatan Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati.

Kemudian Perpanjangan masa jabatan Kades akan memperburuk dimensi demokrasi di level desa. Suksesi dan regenerasi (penggantian) kepemimpinan akan terhambat, sehingga menihilkan sosok kades potensial dan kapabel.

Perpanjangan masa jabatan Kades justru akan semakin menyuburkan praktik korupsi di tingkat desa. Dengan adanya rentang waktu yang lama terhadap kekuasaan, maka potensi kesewenang-wenangan itu akan semakin tinggi pula.

Setelah melakukan kajian atas wacana dan tuntutan perpanjangan masa jabatan kades tersebut, akademisi dan ahli hukum yang tergabung di LuHak UMSB menyatakan sikap mendesak Presiden dan DPR untuk menolak tuntutan revisi ihwal perpanjangan masa jabatan kades di dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Desa menjadi 9 tahun.

“Kedua, mendesak Presiden dan DPR untuk lebih fokus pada upaya pembenahan dan penataan terhadap pemerintahan desa, sehingga menghambat bahkan memberantas potensi korupsi serta memperbaiki dimensi demokrasi pada level desa,” ujar Moh Raju.

Ketiga, mendesak pihak yang tergabung dalam asosiasi pemerintahan desa untuk menghentikan kampanye wacana perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun, sehingga agar lebih fokus untuk meningkatkan iklim demokratisasi dan perbaikan tata kelola desa secara struktural dan kelembagaan

Pernyataan sikap LuHak UMSB tersebut juga ditegaskan oleh Wendra Yunaldi, Dekan Fakultas Hukum UMSB yang berkampus di Bukittinggi. Dalam konfirmasinya Wendra dengan ringkas dan tegas menyebutkan bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa berbahaya untuk demokrasi bangsa.

“Kembali saya pakai kalimat ini, kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Ibarat dua sisi mata uang, korupsi kerap mengiringi jejak langkah kekuasaan. Sebaliknya, rentang kendali kekuasaan yang absolut akan membuka “kran” praktik banal terjadinya tindak pidana korupsi yang semakin merunyam.” Kata Wendra Yunaldi penulis buku Nagari dan Negara, yang membahas kompleksitas tata pemerintahan nagari (desa) di Sumatera Barat. (ihm)