Sulitnya Perempuan Berkiprah di Ranah Politik

oleh -269 views
oleh
269 views
Wardah, Mahasiswa FISiP UNAND (dok)

Oleh : Wardah Putri Maghfirah

Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas

POLITIK memang identik dengan laki-laki, tapi bukan berarti keterlibatan perempuan dalam politik tidak diperbolehkan. Negara menjamin hak politik bagi masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.

Khusus bagi perempuan, negara sudah memberikan peluang dan kesempatan untuk terlibat dalam dunia politik yaitu dengan cara membuat peraturan wajib ada minimal 30% perempuan dalam daftar calon legislatif. Meski sudah diberi peluang, masih terdapat banyak sekali hambatan bagi perempuan dalam memasuki dunia politik. Hambatan itu dapat berasal dari diri perempuan itu sendiri dan hambatan dari luar.

Budaya patriarki merupakan hambatan terbesar bagi wanita, karena budaya patriarki ini selalu memandang wanita lebih lemah dari pada laki-laki. Dalam budaya patriaki sangat pantang bagi laki-laki melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, atau mencuci piring, padahal kegiatan tersebut tidak harus perempuan yang mengerjakannya.

Adanya anggapan bahwa keberadaan perempuan selalu dibawah kuasa laki-laki membuat perempuan sulit untuk maju, anggapan ini sudah tertanam sejak lama sehingga sulit untuk diubah.

Budaya patriarki menyebabkan perempuan sulit bersaing dalam politik, karena selama ini masyarakat banyak beranggapan bahwa politik itu merupakan ranahnya laki-laki, sementara perempuan bertugas di ranah domestik atau rumah tangga. Padahal peran perempuan dalam kancah politik itu sangat dibutuhkan terutama dalam memperjuangan kebijakan yang pro hak-hak perempuan, contohnya perjuangan untuk pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Awal UU mendapat penolakan dari berbagai pihak, tapi dengan adanya dukungan perwakilan perempuan di legislatif akhirnya UU ini dapat disahkan.

Untuk menjadi seorang pemimpin perempuan harus memiliki motivasi yang kuat karena nantinya peran dari perempuan ini sangat diperlukan terutama untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan perempuan. Tapi yang terjadi di negara ini adalah umumnya perempuan tidak memiliki motivasi untuk memasuki dunia politik. Hal ini bisa diatasi dengan cara memberikan pendidikan kepada perempuan tentang pentingnya peran perempuan dalam politik, dengan adanya pendidikan ini diharapkan pola pikir perempuan di Indonesia menjadi lebih maju serta sadar bahwa mereka juga dibutuhkan dalam politik. Tentunya ini butuh perhatian yang serius dari pemerintah, masalah ini tidak boleh dipandang sebelah mata.

Kurangnya dukungan dari keluarga dan lingkungan juga menjadi faktor penghambat perempuan dalam politik. Wanita yang sudah berkeluarga di umumnya dituntut untuk lebih fokus dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, dan tuntutan itu biasanya berasal dari orang-orang terdekat seperti suami, keluarga besar, atau lingkungan tempat tinggal.

Dengan adanya tuntutan dan minimnya dukungan dari orang terdekat membuat wanita sulit memasuki ranah politik, perempuan merasa mereka harus menuruti semua tuntutan yang diberikan kepadanya. Hal ini bisa diatasi dengan cara membangun komunikasi yang baik antara suami istri, keluarga besar, serta lingkungan. Setelah komunikasi dengan orang terdekat sudah terjalin dengan baik, diharapkan nantinya ada dukungan-dukungan yang membuat perempuan lebih percaya diri.

Faktor penghambat selanjutnya yaitu kurangnya minat perempuan dalam politik. Hal ini mungkin berkaitan dengan budaya patriarki karena selama ini politik didominasi oleh laki-laki sehingga perempuan tidak memiliki minat dalam bidang tersebut.

Cara yang tepat untuk menghadapi masalah ini adalah dengan cara memperlihatkan bahwa pada zaman sekarang perempuan juga bisa bergabung dalam partai politik, parlemen, atau instansi negara. Perlu juga kerjasama dari perempuan yang sudah terlebih dahulu memasuki ranah seperti di partai politik atau di legislatif untuk sama-sama membangkitkan minat perempuan indonesia dalam politik. Perempuan di parlemen bisa saja melakukan kegiatan dialog dengan wanita-wanita di berbagai daerah, dengan tujuan nanti akan lebih banyak lagi keterwakilan perempuan di parlemen

Negara Indonesia mungkin bisa mencontoh negara Swedia yang mana keterwakilan perempuan di negara tersebut dapat dibilang sangat bagus, karena sudah mulai banyak perempuan yang peduli dengan perpolitikan negara. Adanya perhatian perempuan terhadap politik membuat perempuan Swedia termotivasi untuk bergabung dalam partai politik dan berkiprah di parlemen. Dengan meratanya partisipasi politik perempuan, negara ini akhirnya termasuk ke dalam 10 besar negara dengan partisipasi perempuan terbanyak di dunia.

Rendahnya percaya diri perempuan juga berdampak pada sulitnya wanita memasuki dunia politik. Banyak perempuan yang tidak percaya diri dengan kemampuannya dalam politik karena mereka memandang politik itu adalah bidang yang sulit. Keraguan tersebut biasa diatasi dengan cara si perempuan harus memiliki motivasi untuk terlibat dalam organisasi atau pelatihan yang diberikan. Diperlukan juga mentor sebagai pembimbing bagi perempuan untuk membangun rasa percaya dirinya.(analisa)