Supardi, Ceburkan Diri ke Dunia Aktivis

oleh -337 views
oleh
Ketua DPRD Sumbar, Supardi, aktivis bernyali. (foto: dok/grp)

Oleh : Bhez Maharajo

PERTENGAHAN menuntut ilmu di ST (Sekolah Teknik, setingkat SMP) sekitar tahun 1987, Supardi, anak STM, kini jadi Ketua DPRD Sumbar  dipaksa uda-nya masuk ke organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).


Organisasi ini sarat sejarah, yang melahirkan banyak tokoh besar. Sebut saja, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Muhajir Efendy Kivlan Zen dan sederet lainnya.

PII lahir dari pemikiran Yoesdhi Ghozali yang sedang melakukan iktikaf di masjid, Yogyakarta dan pada 25 Februari 1947. Kala itu dualisme dalam sistem pendidikan terhadap umat Islam Indonesia sedang berkecamuk.

Ada pertentangan pola pendidikan antara pesantren dan sekolah umum. Pesantren dianggap memiliki orientasi esakatologis sementara sekolah umum dituduh berorientasi pada duniawi.

Sebagai konsekuensi dari dualisme sistem ini para siswa terpecah menjadi dua kubu dan saling mengejek. Para santri mengklaim sekolah umum sebagai sekolah sekuler yang tidak percaya pada Tuhan, sistem pendidikan warisan penjajah Belanda dan mengkafirkan para siswa yang belajar di sekolah umum.

Pada sisi yang lain, pelajar dari sekolah umum mengejak santri sebagai pelajar yang tradisional, kuno, konserfatif dan ketinggalan jaman. Pada saat itu PII hadir.

Supardi awalnya merasa terpaksa bergabung dengan PII. Dia muda, ingin bebas, tidak terikat, dan bisa melakukan apa saja dengan hasrat mudanya. Namun, dia tak berani melawan kehendak uda-nya. Kehendak, yang kini terbukti benar, dan mengubah jalan hidupnya.

Di PII, mental Supardi dididik, ditempa dengan landasan ke-Islam-an yang kuat. Tempaan terus menerus itu membuat Supardi kembali percaya diri, bahwa kehidupannya memang di dunia aktivis.

Beragam aksi dilakukannya selama di PII. Dia dalam hitungan yang cepat bisa menjadi mentor, dan tokoh muda sentral di PII Payakumbuh. Dia tenggelam di dunia barunya, hingga tamat ST, Supardi memilih masuk ke Sekolah Teknik Menengah (STM) Payakumbuh, dan memilih jurusan bangunan air. Meski demikian, gelagat aktivisnya tak padam.

Sewaktu di STM, terjadi bedol desa di Kapur IX dan Pangkalan. Tujuannya untuk membuat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang. Pembangunan itu mulai direncanakan dibangun tahun 1979, dengan menggunakan 33,320 miliar Yen dana pinjaman Jepang (Japan Internasional Cooperation Agency/JICA) dan Rp 102,05 miliar dana dalam negeri pemerintah Indonesia.

Pembangunannya diiringi air mata. Sepuluh desa ditenggelamkan di masa orde baru itu. Dari 10 desa itu, dua desa, Tanjuang Balik dan Tanjuang Pauah ditenggelamkan. Warganya dipaksa pindah. Mereka terpaksa mengubur tanah, dan sejarah hidupnya di danau buatan yang jadi sumber air PLTA. Supardi dengan LSM Taratak hadir membela masyarakat yang terbuang, dan tak mendapatkan ganti rugi layak.

Aksi dan kecaman kerasnya itu membuat pemerintah berang. Sama tahu saja, di masa orde baru, kritik kepada pemerintah itu tabu. Supardi yang masih duduk di bangku STM dicari-cari aparat, dianggap menghambat pembangunan. Namun, semangatnya tak pudur, Supardi tidak takut karena yakin apa yang dilakukannya itu benar.

Setamat STM, Supardi bergabung dengan Sarekat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Organisasi ini, organisasi nirlaba yang tujuannya memperbuangkan kesejahteraan buruh. Paling heroik, Supardi terlibat aksi besar-besaran di Medan, Sumut sekitar tahun 1994-1995. Dia satu dari sedikit aktivis buruh yang turut berunjuk rasa di sana.

Dunia aktivis mempertemukannya dengan banyak tokoh. Bahkan, Supardi pernah satu angkatan pelatihan dengan Wiji Tukul. Dia sering terlibat diskusi dengan aktivis yang sampai saat ini tidak diketahui rimbanya itu. (analisa/rewrite-halonusa/3-bersambung)