Tak Cukup Cadangan Pangan, Kelak Daerah Juga “Harus” Memiliki Cadangan Emas

oleh -979 views
oleh
979 views
Tommy TRD (foto: dok)

Oleh : Tommy TRD

MASIH dalam suasana Covid-19, Pemerintah Pusat berkemungkinan akan mengurangi DAU/DAK bagi Pemerintah Daerah. Hal ini bertujuan untuk realokasi anggaran penanggulangan Covid-19.

Dan bisa jadi karena memang pemerintah pusat tidak memiliki dana yang memadai lagi akibat Covid-19 yang tidak hanya menghancurkan kesehatan, tapi juga sendi-sendi ekonomi. Penerimaan negara berkurang drastis, sementara ada angsuran hutang yang akan jatuh tempo serta belanja negara yang bersifat “wajib”.

Kebijakan pemotongan DAU/DAK itu sendiri bukannya hal mudah bagi daerah. Untuk daerah yang masih bersandar kepada DAU/DAK itu dalam menjalankan pemerintahannya, hal itu seperti gong kematian. Bukan tidak mungkin Pemerintah Daerah akan shutdown seperti administrasi pemerintahan di Amerika. Jika hal itu terjadi, maka seluruh program pembangunan akan ditangguhkan, tidak ada ASN daerah yang bisa menerima gaji, tidak ada anggaran untuk operasional kantor bahkan sampai membayar tagihan listrik. Intinya, tidak ada uang yang cukup. Jika kemungkinan terburuk seperti ini terjadi, maka kekhawatiran PHK bukan hanya milik dunia swasta saja. Aparatur pemerintahan pun bukan tidak mungkin menemui 3 huruf yang mengerikan itu.

Covid-19 telah membuka mata banyak orang bahwa ekonomi Indonesia tidaklah dalam posisi yang mapan. Tidak dalam kondisi yang kuat. Begitu krisis yang berdampak multi aspek terjadi, ekonomi dan pemerintahan bisa jatuh seperti rumah kartu. Bagi daerah, maka ini adalah saat yang tepat untuk memikirkan langkah panjang puluhan tahun ke depan. Kekuatan bergantung kepada pemerintah pusat ternyata tidaklah sekuat rantai jangkar. Daerah bisa menerima dampak pemotongan anggaran kapan saja, jika ada krisis melanda. Artinya, turbulensi parah di tingkat nasional bisa menjadi stall yang mematikan bagi pemerintah daerah. Mereka bisa terjun bebas.

Tentu penting bagi pemerintah daerah untuk menjaga eksistensi dan kesejahteraan masyarakatnya. Tapi hal ini tidak bisa dengan hanya mengandalkan pemerintahan pusat dalam aspek penganggaran. Sekali lagi, Covid-19 ini telah menunjukan buktinya akan kemungkinan-kemungkinan yang sangat perih bagi pemerintah daerah. Jika selama ini pemerintah daerah memiliki stok cadangan pangan, 5 atau 10 tahun ke depan mungkin Pemerintah Daerah juga harus memiliki stok cadangan emas sebagai aset kekayaan daerah. Persis seperti negara yang kekayaannya diukur berdasarkan cadangan emas yang dimilikinya. Gunanya akan sangat terlihat ketika krisis seperti saat ini.

Pemerintah Daerah bisa mendapatkan emasnya dari imbal keuntungan dari BUMD misalnya. Dari persentase pendapatan daerah setiap tahun misalnya. Jadi tidak semua PAD di poll kan lagi ke APBD tahun berikutnya. Ada yang dikonversi ke bentuk emas. Memang sekarang ada Dana Tak Terduga atau Dana Siap Pakai di setiap APBD, tapi itu pun tentu masih akan dipengaruhi variabel dari DAU/DAK di hulunya. Jika hulunya bermasalah ? Maka tentu ada kemungkinan “hanyut serantau”.

Sama dalam hal bernegara, cadangan emas akan membuat daerah memiliki posisi tawar yang kuat dalam menjalin kerjasama yang mereka butuhkan ketika krisis. Cadangan emas juga akan memberi mereka nafas panjang ketika dana dari pusat tidak bisa lagi diandalkan. Dan yang terpenting, eksistensi mereka dalam upaya memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat akan lebih terjaga peluangnya. Tentu dengan catatan pemerintah daerah itu mentaati azas-azas good dan clean governance.

Pemerintah Daerah harus mulai mampu belajar berdiri di kakinya sendiri, walaupun bentuk negara masih negara kesatuan. Jangan sampai lumpuhnya pusat atau Jakarta, juga diartikan sebagai kelumpuhan total Sabang sampai Merauke. Dulu Pemerintah Pusat dibiayai oleh daerah. Sumbangan dari Sultan Hamengkubuwono IX misalnya. Sumbangan dari rakyat Aceh misalnya. Semua itu sekarang adalah “daerah”. Daerah itulah yang dulu “menghidupkan” detak jantung pemerintah pusat. Maka ke depan, minimal daerah bisa menghidupi dirinya sendiri.

Ide ini mungkin akan terdengar gila. Tapi hal yang dianggap wajar saat ini, dulunya pun adalah hal-hal yang gila juga. Lagipula, kegilaan apa yang belum kita lakukan di nusantara ini ? (analisa)