Tanah Ulayat Jadi Penyertaan Modal, Moenek Dipuji Komisi II DPR RI

oleh -583 views
oleh
583 views
Sekjen DPD RI di Padang ungkap Tanah Ulayat jadi Penyertaan Modal dipuji Anggota DPR RI Guspardi Gaus. (foto: dok/setjen-dpdri)

Jakarta,—Gagasan Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPD RI Reydonnyzar Moenek terkait pemanfaatan tanah ulayat dalam penyertaan modal investasi yang masuk ke daerah tanpa dipindahtangankan dan diperjualbelikan, direspons positif anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gus.

Politis PAN itu menjelaskan, tanah ulayat merupakan sesuatu yang spesifik bagi masyarakat Sumbar, berbeda dengan daerah lainnya berkaitan dengan status kepemilikannya.

Selama ini, bagi investor dianggap sulit mereka menanamkan modal karena komplitnya persoalan tanah ulayat. Padahal, kata dia, permasalahan eksistensi tanah di Sumbar bukan sesuatu penghalang bagi investor untuk menanamkan modal atau mengembangkan usaha.

“Kenapa bukan menjadi penghalang? Karena ini malah merupakan sesuatu yang memudahkan peluang investor untuk berinvestasi kalau seandainya dilakukan dengan itikad baik, win win solution, saling menguntungkan antara pemilik modal dengan pemilik lahan,” kata legislator yang membidangi pemerintah daerah, aparatur negara dan reformasi birokrasi, kepemilikan serta pertanahan dan reforma agraria ini.

Selama ini, lanjutnya, masyarakat sering dipaksa untuk menandatangani surat, tanah berubah status menjadi hak guna bangunan (HGU) atau menjadi hak milik. Padahal, kalau ada itikad baik investor untuk menanamkan sahamnya di Sumbar, sebetulnya bisa mengajak para ninik mamak sebagai pemangku ahli waris untuk bekerja sama.

Salah satunya dengan penyertaan modal dan memasukkan perwakilan ninik mamak sebagai pemegang saham melalui rapat umum pemegang saham (RUPS).

“Syaratnya, tanah tidak dipindahnamakan, tidak diperjualbelikan, dan tidak diubah kepemilikannya. Apakah itu menjadi hak guna bangunan atau hak guna milik dan sebagainya. Kalau itu dilakukan, masalah hak ulayat akan hilang,”ujar Guspardi Gaus.

Makanya, ketika ada Undang-Undang Agraria, berubah status tanah kalau sudah 25 tahun dipakai menjadi hak guna bangunan, inilah yang ditentang oleh masyarakat Sumbar.

“Hal inilah yang kurang disosialisasikan dan perlu dijelaskan kepada investor ketika ingin berinvestasi di Sumbar,” jelasnya.

Apabila tanah ulayat dijadikan sebagai investasi dan penyertaan modal, kata Guspardi, itu saling menguntungkan.

“Tanah tetap dimiliki ulayat dan masyarakat ulayat menikmati hasilnya selama investasi itu ada. Tanah tidak berubah status kepemilikan, hak ulayat tidak hilang, dan investor bisa menanamkan modalnya di Sumbar.,” tambah salah seorang tokoh Muhammadiyah Sumbar ini.

Artinya saling bersinergi dan saling menguntungkan. Kalau itu dilakukan, Guspardi yakin masyarakat Sumbar akan merespons dengan baik gagasan itu karena saling menguntungkan dan tidak menimbulkan kemudaratan antar-kedua belah pihak.

Meski demikian, Guspardi mengingatkan agar semua itu dilakukan secara transparan dan disosialisasikan dengan terbuka kepada seluruh pemangku adat dan anak kemenakan.

“Sosialisasi bahwa dalam pemanfaatannya, tanah ulayat tersebut tidak akan berubah status, tanah tidak menjadi hak guna bangunan apalagi hak milik. Namun memaksimalkan pemanfaatan tanah yang menganggur tersebut menjadi produktif untuk kepentingan pemilik ulayat dan dampak jangka panjangnya sangat besar bagi terbukanya lapangan usaha dan ekonomi suatu nagari dan daerah,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar M Sayuti menyebutkan sejauh ini sudah ada muncul gagasan seperti itu, namun tidak pernah diaplikasikan.

Apalagi saat ini, katanya sudah puluhan, bahkan ratusan ribu hektare tanah ulayat yang digadaikan kepada orang atau di-HGU-kan.

“Kalau akan merealisasikan gagasan itu, mesti dibatalkan atau revisi dulu aturan berkaitan dengan investasi di negara ini. Jika tidak, maka tidak akan bisa gagasan itu dilakukan,” tegasnya.

Sebelumnya, Sekjen DPD RI Reydonnyzar Moenek memiliki gagasan mengubah aset daerah yang selama ini tidak diberdayakan (idle asset) menjadi sesuatu yang memiliki nilai investasi tinggi.

Salah satunya pemanfaatan hak ulayat atas tanah yang selama ini sering dilihat sebagai penghambat investasi menjadi kekuatan dan peluang.

Aset ulayat yang dimiliki secara turun-temurun berupa hak ulayat adat atas tanah dan lainnya, bisa dikonversikan dalam bentuk penyertaan modal atau inbreng.

“Kita harus mengubah hambatan investasi ini menjadi sebuah peluang. Bagaimana pemberdayaan desa atau nagari itu menjadi sebuah keniscayaan, dalam menumbuhkembangkan potensi ekonomi maupun pertumbuhan desa atau nagari,” kata Reydonnyzar Moenek.
Gagasan tersebut disampaikan Reydonnyzar Moenek dalam Seminar Nasional 2019 Sustainable Multidiciplinary Academic Research (SMAR) yang diadakan Fakultas Ekonomi Universitas Taman Siswa Padang bertema ”Perguruan Tinggi dalam Mewujudkan Kemandirian Desa di Era Revolusi Industri 4.0” di Grand Inna Hotel Padang, Senin (28/10).

Pamong senior yang pernah menjadi Penjabat Gubernur Sumbar itu lebih lanjut menjelaskan, hak ulayat atas tanah tersebut dibuat menjadi memiliki nilai ekonomis, tetapi tidak boleh diperjualbelikan ataupun dibaliknamakan. Hanya boleh dimanfaatkan bagi kerapatan adat nagari. Caranya, menurut Donny Moenek, melalui penyertaan modal atau inbreng yang dimanfaatkan secara bersama-sama dengan masuknya investor ke Sumbar.

“Hak ulayat bagian yang tidak terpisahkan dari keberpihakan kita, untuk melindungi aset yang dimiliki masyarakat adat yang turun termurun tidak boleh diperjualbelikan. Dihitung melalui metode kuantifikasi asset. Yakni, dihitung berapa nilai rekapitulasi asset yang ada, untuk disertakan sebagai penyertaan modal. Dalam penyertaan modal itu dihitung secara bersama masuk dalam neraca, dan dilakukan dalam usaha bersama,” terang pakar fiskal yang pernah jadi Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri ini.

Dalam mengelola hak ulayat, ada prinsip co-sharing dan co-financing oleh masyarakat adat, kerapatan adat nagari, wali nagari dan seterusnya. Investor memperoleh jaminan kepastian sejumlah penyertaan modal. “Belanja terbesar dari investasi adalah berkaitan dengan pengadaan tanah. Karena tanah merupakan biaya produksi yang cukup tinggi. Kenapa tidak ubah saja hak ulayat itu menjadi kekuatan ekonomi yang kemudian dibuatkan perdanya. Yakni Perda tentang Mekanisme dan Tata Cara Penyertaan Modal Daerah kepada Investasi Swasta yang masuk ke Sumbar,” jelas pejabat asal Sumbar itu.
Lahirnya perda tersebut dapat memberikan kepastian dan kesungguhan bagi pemda untuk memfasilitasi dalam proses investasi dan investor merasa terbantu. (*rilis: mcdm)