Transparansi Bantuan Sosial dalam Penanganan Dampak Covid-19 (tulisan 2-habis)

oleh -612 views
oleh
612 views
Banaos saat bencana adalah iklhas dan tukus jangan disiaipi pencitraan politik kepala daerah yang ingin maju Pilkada, masyarakat tahu kok, Ilham Aldelano Azre (foto: dok)

Oleh: Ilham Aldelano Azre

(Dosen Jurusan Administrasi Publik FISIP Unand)

TRANSPARANSi dan Politisasi Bantuan Sosial Transparansi dan keterbukaan informasi penerima bantuan sosial ini menjadi sangat penting, jika kita kaji lebih jauh dari dimensi politik untuk mencegah bantuan sosial dipakai untuk kepentingan pencitraan atau transaksional aktor-aktor politik, apalagi Sumatera Barat akan melakanakan Pilkada Gubernur/Bupati dan Walikota secara serentak pada bulan Desember 2020 ini .

Bantuan sosial kepada masyarakat acapkali cenderung digunakan elite politik dalam membangun pencitraan dibungkus dengan program pemerintah yang dianggarkan APBD, serta sebagai alat politik transaksional dalam era pemilihan kepala daerah secara langsung saat ini.

Menurut Agustino (2014) penyimpangan pemberian bantuan sosial dimulai ketika proses pengajuan bantuan dilakukan dengan melibatkan timses ataupun kerabat dalam mengkondisikan siapa yang menerima bantuan, dan aktivitas ini melibatkan aparatur yang berwenang menangani masalah bantuan.

Nurnas Anggota DPRD Provinsi Sumbar dari Fraksi Demokrat dalam pemberitaan Tribunsumbar.com tanggal 19 April secara jelas mengingatkan “Jangan ada kepentingan lain apalagi politik untuk menentukan masyarakat penerima bantuan jaring pengaman sosial ini”.

Apa yang dikatakan Nurnas ini sebenarnya bukanlah isapan jempol semata, menurut Agustino (2014) politik transaksional terjadi dalam pelaksanaan pilkada baik sebelum atau sesudah pilkada dengan modus pembagian bantuan sosial, dana hibah dan proyek pekerjaan Pemerintah kepada proksi-proksi calon Kepala Daerah.

Komisi Pemberantasa Korupsi menyadari praktek-praktek dan perilaku seperti ini, dalam Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding dalam rapat koordinasi pencegahan korupsi terintegrasi wilayah IX Provinsi Sumatra Barat (Mediaindonesia.com) menekankan kepada Kepala Daerah di Sumatera Barat untuk tidak memanfaatkan bantuan sosial penanganan dampak Covid-19 senilai Rp1,2 Triliun untuk kepentingan pemilihan Kepala Daerah.

Praktek penyalahgunaan bantuan sosial ini menurut Ketua Bawaslu Abhan dijalankan dengan tiga Modus yaitu:

1.) Bansos yang didistribusikan dikemas atau dilabeli gambar kepala daerah, hal ini terjadi di Klaten, dimana Bupati Klaten yang memang berencana maju kembali dalam Pilkada Desember 2020 ini.

2.) Bansos dikemas dengan menyertakan jargon dan simbol-simbol politik atau jargon kampanye yang telah digunakan pada pilkada periode sebelumnya atau yang akan digunakan pada pilkada tahun ini.

3.) Bansos diberikan tidak mengatasnamakan pemerintah, melainkan atas nama kepala daerah pribadi (Kompas.com,2020).

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, menjelaskan dalam tempo.com 7 Mei 2020, politisasi bantuan sosial atau bansos untuk masyarakat terdampak Covid-19 oleh sejumlah kepala daerah dapat dianggap melanggar Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal yang bisa dikenakan yakni Pasal 76 ayat (1) huruf a UU tersebut, Pasal 76 ayat (1) huruf a berbunyi, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Potensi Abuse of Power ini akan semakin terasa ketika Kepala Daerah memanfaatkan seluruh media sosialisasi pencegahan Covid-19 dengan memasang foto di baligho, iklan koran, suara di radio dan iklan di televisi dengan dalih kepentingan sosialisasi Covid-19, hal ini akan semakin jelas dan kentara ketika misalnya wakil walikota/bupati tidak diberikan ruang yang sama dengan Kepala Daerahnya. Bahkan kita akan semakin sering melihat bagaimana Kepala Daerah hadir dalam pemberian bantuan yang dilakukan oleh pihak lain sembari melakukan citra diri dengan menunjukan kepedulian kepada masyarakat, kemudian oleh tim suksesnya dimasukan kedalam media sosial/fanspage Kepala Daerah tersebut.

Selama masa pandemi COVID-19, tujuan utama setiap kebijakan semestinya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa. Untuk itu, kebijakan pembatasan jarak sosial diterapkan dengan harapan bahwa penyebaran COVID-19 tidak semakin meluas dengan semakin banyak orang yang tinggal di rumah saja. Selain itu juga ada kebijakan untuk menyelamatkan masyarakat dari guncangan-guncangan ekonomi melalui pemberian bantuan sosial. Sehingga seyogyanya bantuan sosial yang didapatkan masyarakat harus sesuai sasaran dan mampu menyembuhkan ekonomi masyarakat, lepas dari kepentingan politik praktis.
Dalam kajian Departemen Ekonomi CSIS “Bantuan Sosial Ekonomi di Tengah Pandemi COVID-19: Sudahkah Menjaring Sesuai Sasaran” (2020), keefektifan pemberian bantuan sosial kepada masyarakat dipengaruhi oleh 1.) seberapa tepat cakupan dan pemetaan target penerima bantuan sosial.

2.) Terkait waktu, seberapa cepat bantuan diterima dan seberapa antisipatif pemerintah jika pandemi berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.

3.) Sefleksibel apa persyaratan dan skema program. Dan Terakhir, ketepatan mekanisme distribusi bantuan. Berdasarkan kajian nomor satu dan dua, kita tentu saja berharap Kepala Daerah dapat secara cepat dan tepat untuk mengucurkan bantuan sosial, tidak memikirkan ambisi politik tertentu atau lebih tinggi, dengan berperilaku “menahan bantuan sosial” dengan bermacam alasan pendataan, sembari nanti menjadi “Sinterklas” politik. Kita meyakini hal ini tidak terjadi, jikapun terjadi publik harus menghukum perilaku seperti ini.

Pandemi Covid-19 ini hendaknya dijadikan momentum bagi Pemerintah untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas kebijakan pemerintah dalam kerangka good governance, penguatan sistem perlindungan sosial bagi seluruh masyarakat, serta untuk memperbaiki nalar-nalar kita dalam berpolitik.(analisa2-habis)