Untuk Rebuk Regional KI se Sumatera, Ini Rekomendasi CSO

oleh -530 views
oleh
530 views
Indira LBH Padang (foto: dok)

oleh : Indira                                                 LBH PADANG

CSO se Sumatera terdiri dari MATA Aceh, LBH Padang, FITRA Riau dan Pinus Palembang menyoroti iklim keterbukaan di pertemuan Rembuk Regional Komisi Informasi se Sumatera 15-16 Mei di Jambi.

Berdasarkan catatan dari CSO Sumatera yang memperjuangkan keterbukaan di sektor hutan dan lahan terdapat beberapa perubahan kondisi keterbukaan yang cukup membaik.

Hal ini terlihat dari respons positif dari PPID Utama yang telah bersengketa informasi dengan CSO yang kemudian mempublikasikan kepada publik melalui website.

Pembelajaran yang progresif juga dilakukan oleh komisi informasi Aceh dan Riau. Kedua komisi informasi menerbitkan surat edaran/ surat keputusan yang memastikan dokumen Hak Guna Usaha, Izin Usaha Pertambangan, Dokumen Reklamasi, Dokumen Kehutanan dan Izin di bidang SDA lainnya merupakan dokumen terbuka dan wajib disediakan oleh badan publik.

Pembelajaran positif juga dapat dipetik dari pengalaman CSO Padang berkolaborasi dengan KI Sumbar, PPID Utama dan Ombudsman Sumbar untuk memberikan edukasi keterbukaan informasi publik kepada kaum muda dan masyarakat.

Atas kegiatan tersebut, kepala Dinas Kominfo Sumbar dan PPID Utama membuat grup WA KEPO SQUAD yang bertujuan untuk mendorong banyak pihak untuk mengakses informasi publik kepada PPID Utama.

Selain itu, grup ini dimanfaatkan oleh PPID Utama untuk mempublikasikan informasi publik secara langsung kepada masyarakat. Kedepan Dinas Kominfo berupaya untuk mengembangkan edukasi masyarakat untuk keterbukaan informasi yang didukung penuh oleh Pemprov Sumbar.

Selain keberhasilan untuk menciptakan iklim keterbukaan masih terdapat beberapa hambatan yang dirasaka. Oleh CSO diantaranya :

1. Eksekusi putusan yang lama dan mahal. Walaupun telah ada Perma No : 2/2011 untuk eksekusi putusan KI namun skema ini tidak familiar digunakan oleh pengadilan.

2. Sulit diakses oleh masyarakat. Misalnya saja terjadi di Aceh untuk bersidang informasi bisa memakan waktu 10-12 jam untuk menghadiri persidangan di komisi informasi.

3. Pengarsipan yang bermasalah sehingga mempersulit pemberian dokumen publik karena dokumem tidak dikuasai oleh badan publik atau dokumen musnah ketika menghadapi bencana dll.

4. Keengganan pejabat publik untuk memberikan dokumen publik. Hal ini terlihat dari ketidakpatuhan terhadap putusan KI dan juga Mahkamah Agung. Hal ini terlihat dari enggannya menteri ATR yang hingga saat ini tidak mau memberikan HGU dan bahkan disupport oleh surat edaran menko perekonomian. Tindakan ini merupakan bentuk pembangkangan hukum yang dilakukan oleb pejabat publkk yang perlu disikapi serius dan tegas oleh KI.

5. Minimnya penganggaran terhadap KI.

6. Rendahnya pemahaman aparat penegak hukum dalam memproses delik pidana keterbukaan informasi yang diatur dalam Pasal 52 UU No 14/2008 untuk mendobrak iklim keterbukaan. Kasus ini pernah dilaporkan oleh masyarakat yg berada di Padang dan Aceh namun hingga saat ini kasusnya mandeg di kepolisian.

Atas permasalahan tersebut, CSO Sumatera merekomendasikan KI untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perkuat mekanisme eksekusi putusan yang seharusnya dapat diberikan secara cepat dan biaya murah. Tentunya penting membangun kesepahaman dengan pengadilan yang menjalankan eksekusi atas putusan KI;

2. Mendorong pemahaman dan mekanisme untuk memproses hukum delik pidana keterbukaan informasi bersama kepolisian dan kejaksaan;

3. Pengarsipan badan publik yang baik dan profesional.

4. Respons dan tindaklanjuti pembangkangan oleh pejabat publik yang mengganggu iklim keterbukaan.

5. Perlu diupayakan mekanisme sidang lapangan yang mana KI dapat bersidang di tempat sengketa agar mempermudah akses masyarakat dan membumikan keterbukaan informasi publik hingga akar rumput.(analisa)