Upaya Keterwakilan Politik Perempuan

oleh -231 views
oleh
231 views
Syahirah Atikah, Mahasiswa FISiP. UNAND. (dok)

Oleh: Syahirah Atikah

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UNAND

SEBAGAIMANA yang diketahui, pemilihan umum melibatkan semua elemen masyarakat yang ada di negara. Berkaca dari perkembangan pemilihan umum yang dilaksanakan di Indonesia, sangat minim dengan adanya kehadiran perempuan.

Pemilihan umum hanya diisi oleh kaum laki-laki, tidak hanya dari segi pelaksana tetapi juga dari pesertanya. Penguasaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki di ranah politik menjadikan kaum perempuan sebagai penerima atau dapat dikatakan sebagai “penikmat”. Keberadaan kaum laki-laki yang menjadi mayoritas hingga kini terus diperdebatkan.

Upaya mendobrak dalam memperbaiki sistem perpolitikan di Indonesia dengan keikutsertaan perempuan, telah banyak dilakukan. Sebagian besar lembaga legislatif masih dipenuhi oleh kaum laki-laki yang bahkan terkadang tidak memahami substansi politik itu sendiri.

Sebetulnya hal ini merupakan masalah yang sangat serius, ketika perwakilan rakyat yang diisi oleh kaum laki-laki hanya mampu untuk mewakili kepentingan kaumnya. Namun ketika adanya perwakilan perempuan yang juga tergabung dalam lembaga negara dan dapat mewakili kepentingan perempuan, itu akan lebih bagus. Ini dikarenakan kepentingan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan kaum laki-laki yang berkemungkinan akan merugikan perempuan.

Sedikitnya perempuan di legislatif disebabkan beberapa faktor, seperti pengaruh dari masih kuatnya peran dan pembagian gender antara laki–laki. Dominasi kaum laki-laki ini terjadi karena hingga saat ini kuatnya pemahaman masyarakat Indonesia terhadap paham patriaki. Budaya masyarakat secara turun-temurun yang masih diyakini yaitu mengutamakan posisi laki-laki dipuncak dan perempuan sebagai bawahannya mengakibatkan keterlibatan perempuan tetap rendah. Budaya patriaki juga berhubungan dengan doktrin agama yang selalu mengutamakan laki-laki di segala urusan.

Kemudian, kendala–kendala atas akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar di berbagai kelembagaan sosial politik, seperti pemilu dan kepartaian yang terjadi karena perempuan dianggap tidak memiliki modal.

Modal yang dimaksud ialah modal sosial, politik, ekonomi, komunikasi dan lainnya. kuatnya doktrin agama yang melekat pada masyarakat juga dapat dikatakan sebagai faktor besar yang menyebabkan rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dilegislatif.

Upaya mendobrak dalam memperbaiki sistem perpolitikan di Indonesia dengan keikutsertaan perempuan, telah banyak dilakukan. Sebagian besar lembaga legislatif masih dipenuhi oleh kaum laki-laki yang bahkan terkadang tidak memahami substansi politik itu sendiri.

Sebetulnya hal ini merupakan masalah yang sangat serius, ketika perwakilan rakyat yang diisi oleh kaum laki-laki hanya mampu untuk mewakili kepentingan kaumnya. Namun ketika adanya perwakilan perempuan yang juga tergabung dalam lembaga negara dan dapat mewakili kepentingan perempuan, itu akan lebih bagus. Ini dikarenakan kepentingan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan kaum laki-laki yang berkemungkinan akan merugikan perempuan.

Seperti yang telah dilakukan pemerintah yaitu mengeluarkan kebijakan affirmative action. Kebijakan ini berisikan tentang syarat untuk diberlakukannya kepada kelompok-kelompok tertentu berdasarkan adanya pertimbangan terhadap ras, agama, jenis kelamin, warna kulit, dan budaya. Dalam undang-undang pemilu terkait upaya peningkatan keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif, ditetapkan yaitu sistem kuota pencalonan 30% perempuan dan sistem zigzag. Jika partai politik tidak mampu untuk memenuhi syarat 30% tersebut maka tidak dapat untuk bertarung di kontestasi politik. upaya berikutnya, pemerintah maupun partai politik diharapkan mampu memberikan pendidikan politik perempuan di perguruan tinggi atau pada saat sosialisasi pemilu.

Sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya upaya untuk menyongsong keterwakilan perempuan dalam parlemen. Affirmative Action yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu cara untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam perpolitikan nasional secara kuntitatif. Namun tentu perlu dipahami bahwa peningkatan secara kuantitatif ini tidak akan memberikan kontribusi yang besar tanpa diimbangi dengan peningkatan kualitas perempuan sebagai calon ataupun anggota legislatif.

Menurut Nuri Soeseno dikutip oleh Sali Susiana menyatakan bahwa sebagai konsekuensi kebijakan 30%, maka dapat dikatakan keterwakilan perempuan dalam politik masih bersifat deskriptif. Apabila berbagai ketentuan mengenai keterwakilan 30% untuk perempuan membawa hasil dan angka 30% tersebut dapat tercapai maka ada harapan bahwa keterwakilan deskriptif dapat berujung pada keterwakilan substantif.

Akan tetapi hasil Pemilu 2014 yang menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan tidak mencapai 30%, bahkan menurun jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya pada tahun 2009, sehingga kita tidak bisa berharap banyak bahwa keterwakilan deskriptif itu akan mengarah ke keterwakilan substantif.

Poin penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana caranya perempuan juga dapat bersaing secara kualitas dengan laki-laki. Tentu hal tersebut memerlukan perhatian dari partai politik itu sendiri, serta pemerintah untuk mendorong perempuan terjun ke dunia politik yang diiringi keseimbangan kemampuan berupa pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian harapan untuk mewujudkan keterwakilan minimal 30% di parlemen dapat terpenuhi.

Perlu diiingat, upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan bukan hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga perempuan itu sendiri dengan cara melakukan upaya upaya yang bisa menarik perhatian dan suara dari masyarkat secara substansif, maka diperlukan suatu sistem baru yang jelas dan terarah untuk memaksimalkan keterwakilan perempuan di dalam kekuasaan legislatif di Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas. Keterwakilan perempuan di parlemen pada dasarnya tak terlepas dari peran perempuan dalam ranah publik.

Peran perempuan dalam ranah publik masih menjadi perbincangan yang menarik untuk dibahas, apalagi jika diperhadapkan dengan peran perempuan dalam ranah domestik. Disebabkan sejarah pun menunjukkan adanya permasalahan sosial yang belum berimbang antara laki-laki dan perempuan sejak dulu yang tak terlepas dari anggapan bahwa perempuan masih berada di bawah laki-laki dan hidup sebagai pelengkap, sehingga perannya di ranah publik mengalami berbagai tantangan.

Artinya Perempuan secara aspek harus bisa mengimbangi bagaiman peran laki laki dalam politik dengan kinerja kinerja yang jauh lebih baik dari laki laki dengan harapan akan mendapatkan kepercayaan masyarakat.

Pada dasarnya di dalam parlemen sebagai wakil mereka, masyarakat ingin mencari sosok pemimpin ideal. Salah satu kategori pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang memiliki rasa kepedulian terhadap anggotanya, maksudnya pemimpin yang seperti ini merupakan pemimpin yang selalu memperhatikan kepentingan rakyatnya dari pada kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.

Ia akan bekerja sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya bukan berdasarkan kebutuhan pribadi maupun kelompoknya.

Namun apabila kita melihat dari kenyataannya, perilaku pemilih dalam menentukan wakilnya dari perlemen diklasifikasikan berdasarkan beberapa pendekatan yakni pendekatan sosiologis, psikologis, dan rasional.

Berbagai pendekatan ini pada umumnya sangat berkaitan dengan lingkup daerah pemilihan, sebab karakteristik masyarakat di berbagai daerah tentu berbeda. Dengan adanya gaya pemimpin ideal perempuan bisa melakukan upaya untuk meningkat kan dan agar kehadirannya dapat dirasakan secara substansif.(analisa)