UPTD dan Penganggaran KI Daerah

oleh -1,061 views
oleh
1,061 views
Mahyudi Yusdar, Pemerhati Transparansi Publik Indonesia
Mahyudin Yusdar, Pemerhati Transparansi Publik Indonesia

ACAPKALI saya ditanya oleh kawan-kawan Komisioner Komisi Informasi (KI) se Indonesia  termasuk komisoner KI Riau  terpilih dan KI Provinsi Sumbar terkait pendapat saya mengenai benturan UUKIP (14/2008) dengan UU Pemda (23/2014). Pendapat saya, dalam tataran keberadaan payung hukum saat ini, sebenarnya tidak ada benturan. Apalagi melemahkan KI provinsi.

Saya justru melihat, tetap terjalin harmonisasi antar kedua undang-undang tersebut, khususnya berkenaan dengan penganggaraan Komisi Informasi Provinsi dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota. Justru, UU Pemda melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah memberikan peluang kepastian penganggaran Komisi Informasi.
Dalam konteks memadukan dua regulasi itu, saya memaknainya begini: bahwa kesekretariatan KI sebagaimana dinyatakan Pasal 29 UUKIP, merupakan kegiatan teknis penunjang Diskominfo. Bila kita sepakat tentang hal ini, maka inilah kunci jawaban untuk mengharmonisasikan dua regulasi tersebut.

Tapi bila tidak sepakat, yah, mata rantainya langsung terputus; bahwa urusan KI bukanlah urusan Pemda jika dihubungkan dengan UU Pemda dan PP 18/2016.

Saya memaknai pasal 29 UUKIP sebagai kegiatan teknis penunjang Diskominfo atas penafsiran bahwa Seketariat KI dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan infomasi tingkat provinsi/kabupaten/kota di mana penganggarannya dibebankan kepada APBD.

Sepakatkah? bagi yang sepakat, maka kelanjutan analisis hukumnya begini; yuk, kita lihat PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah (yang dijadikan oleh stakeholder terkait menolak untuk menganggarkan/membayarkan bahkan menolak melantik Komisioner KI dengan alasan bahwa KI bukanlah urusan wajib dan urusan pilihan pemerintah daerah.
Memang, pada PP 18/2016 telah mengatur perangkat daerah, berupa sekretariat daerah, sekretariat DPRD, inspektorat, dinas dan badan. Untuk tataran ini, tentulah tak tersebut Komisi Informasi di sana. Namun, tentang komunikasi dan informasi termasuk yang akhirnya menjadi dinas merupakan urusan wajib Pemda yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.

Inti masalah mulai terjawab. Kominfo menjadi dinas, dan tentu ada hubungan dengan Pasal 29 UUKIP. Lalu, bagaimana dengan penganggaran KI Provinsi? Yuk, kita baca pasal 19 ayat (1) dan ayat (4) PP 18/2016 yang kesimpulannya begini; bahwa pada dinas daerah provinsi dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas (UPTD) daerah provinsi untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu yang pembentukannya ditetapkan dengan Peraturan Gubernur setelah dikonsultasikan secara tertulis kepada Menteri Dalam Negeri.

Terjawab sudah bukan? Makanya, sebetulnya menggunakan ketentuan Pasal 19 PP 18/2016 dengan bersinergis dengan Pasal 29 UUKIP sebagai kegiatan teknis penunjang Diskominfo, persoalan penganggaran KI Provinsi sudah klar. Alasan Pemprov tidak ada payung hukum untuk menganggarkan KI, dapat terbantahkan. Sehingga tidak perlu lagi ada “ketakutan” untuk melantik dan/atau menganggarkan/membayarkan operasional KI daerah. Tinggal semuanya berpulang pada political will Pemda untuk tidak lagi beralibi “macam-macam”.

Menurut saya, dengan UPTD, justru lebih “menyelamatkan” komisioner KI dalam pertanggungjawaban penggunaan anggaran, karena memang tugasnya sekretariat sehingga KPA dan PPTK kegiatan langsung dari aparatur pemerintahan. Selain itu, rentang kendali administasi anggaran lebih cepat, karena kepala UPTD nya langsung menjadi Sekretaris KI dan berkantor satu atap dengan KI. Dan untuk pengawasan pun penggunaan anggaran dapat dilakukan kapan saja. Juga, apabila nantinya nomenkelatur penganggaran KI diperkenankan oleh Kemendagri, tentu saja nomenkelator itu memerlukan cantelan lembaga yang mengayominya.

Maaf, ini hanya pemikiran dalam persoalan kekinian dengan menggunakan regulasi yang ada. Tidak mengandaikan untuk dianggarkan pusat melalui APBN yang mesti adanya revisi undang-undang yang memerlukan waktu yang lama. Saya pun masih sedang belajar ilmu hukum, yang bisa jadi pendapat ini keliru. Tapi, menurut saya, pendapat ini kebenaran berpendapat dari pikiran saya. Meski begitu,  analisa dan pendapat ini dapat menjadi bahan diskusi lanjutan antara komisioner KI dan pengambil kebijakan anggaran di pemerintahan daerah.(Mahyudin Yusdar)