Woman Poltical Representation: Peran Keterwakilan Perempuan dalam Politik

oleh -196 views
oleh
196 views
Alyah Fridayanti, Mahasiswa UNAND. (dok)

Oleh: Alyah Fridayanti

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

INDONESIA  merupakan negara demokrasi di mana seluruh keputusan yang diputuskan oleh pemerintah bersumber dari rakyat dan dimanifestasikan untuk rakyat.

Sehingga, dalam sistem demokrasi yang inklusif masyarakat memiliki peran yang sangat penting sebagai wujud partisipasi masyarakat, tak terkecuali bagi kaum perempuan.

Akuntabilitas dan representasi merupakan persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi di Indonesia.

Perempuan selaku Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki hak serta pengakuan yang sama dalam berpartisipasi guna mewujudkan proses demokrasi secara utuh.

Meskipun hak-hak politik perempuan pada saat ini telah mendapat pengakuan, akan tetapi hal ini tidak menjamin keikutsertaannya pada partisipasi politik diimplementasikan sebagaimana mestinya. Ini menunjukkan bahwa adanya peran keterwakilan perempuan didalam politik praktis, dan kebijakan-kebijakan yang ada memiliki sensivitas gender .

Partisipasi Politik

Perempuan merupakan kegiatan sukarela yang dijalankan oleh perempuan sebagai wujud representasi perlindungan hak-hak perempuan dan pengembangan potensi yang dimiliki oleh perempuan. Partisipasi politik perempuan bukan hanya berbicara tentang pertarungan ide dan gagasan, akan tetapi lebih dari itu. Saat partisipasi politik diartikan tentang kehadiran para aktor politik, maka adanya konsep keterwakilan perempuan merupakan hal yang penting dibahas .

Partisipasi Perempuan dalam Politik

Partisipasi secara umum berari mengambil bagian dari suatu tahap atau lebih dari suatu proses. Secara etimologis, partisipasi berarti ikut mengambil peran dalam menentukan hal-hal yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya (Surbakti, 1984: 72-74).

Partisipasi dapat dikenal sebagai bentuk kontribusi, organisasi kerja, penetapan tujuan serta peranannya (Pabeta, 1992: 4). Berdasarkan definisi partisipasi dari beberapa ahli ini, dapat disimpulkan bahwa partisipasi harus mengedepankan unsur-unsur; kesepakatan, pembagian kerja dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara. Partisipasi seseorang atau masyarakat lahir karena adanya: pertama, kesadaran seseorang untuk berpartisipasi. Kedua, keikutsertaan dalam berbagai kegiatan karena adanya dorongan mencapai kepentingan dan kebutuhan.

Ketiga, kemampuan pendidikan yang dapat mempengaruhi perilaku serta sikap seseorang dalam berpartisipasi. Keempat, untuk mencapai kepentingan bersama sebagai wujud tujuan dari partisipasi.

Peranan Perempuan dalam Partai Politik

Role atau peran merupakan fungsi seseorang ketika menduduki karakteristik (posisi) dalam struktur sosial. Ohen (1983: 22) mengungkapkan bahwa peranan ialah suatu perilaku yang diharapkan orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu.

Peranan (role) berlangsung apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan statusnya. Disamping itu, peranan terjadi bilamana ada kesempatan yang diberikan atas tindakan yang dilakukan.

Peran tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan (status), karena peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Tidak ada kedudukan tanpa peran dan tidak ada peran tanpa kedudukan. Canto dan Bernay (1998: 97) mengemukakan bahwa peran perempuan dalam partai politik hendaknya jangan hanya sebatas mengerjakan dan menyelesaikan urusan administratif, akan tetapi perempuan mesti berupaya keras mendaki tangga hirarki partai menuju posisi manajerial yang bertanggung jawab bukan hanya sebatas menambah wawasan tetapi juga meningkatkan pengetahuan seputar partai dan komunikasi.

Perempuan dalam kancah politik hendaknya berjiwa besar, bersikap rasional serta memiliki pengalaman dalam berorganisasi. Sebab, terdapat kendala serta tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam mendaki jenjang perpolitikan, salah satunya yaitu perlakuan diskriminatif yang diterima oleh perempuan atau ketidakadilan posisi yang diterima perempuan dalam partai politik.

Keterwakilan Perempuan Indonesia

Keterwakilan politik perempuan pada ruang publik khususnya pada masa orde baru terjadi melalui kegiatan organisasi-organisasi keagamaan dan koorporat. Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama.

Sedangkan organisasi koorporat seeperti Dharma Wanita yang merupakan organisasi perkumpulan istri Pergawai Negri Sipil dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Pada masa orde baru ini ditanamkan doktrin yang menyatakan bahwasannya tanggung jawab perempuan ada pada ranah domestik yakni perempuan hanya bertanggung jawab pada urusan rumah tangga seperti memasak, mengurus anak dan mengatur keuangan keluarga.

Budaya patriarki yang mengakar dalam kehidupan masyarakat inilah yang mempengaruhi persepsi domektikasi tentang peran perempuan dalam bidang politik. Disamping itu, terdapat beberapa alasan mengapa perempuan sulit untuk memainkan peran dalam politik secara garis besar terdiri atas 3 alasan, yakni: hambatan kelembagaan, kurangnya dukungan dan aturan yang mengatur sistem perwakilan politik indonesia yang masih tumpang-tindih. Berdasarkan latar belakang historis representasi peran perempuan dalam politik khususnya pada masa orde baru hingga awal reformasi kurangnya keterlibatan perempuan disebabkan oleh sistem perwakilan proporsional (PR) di mana sistem pemilihan yang bersifat cendrung tertutup.

Pada masa awal pasca orde baru sistem perwakilan proporsional terbuka yang ditandai dengan meningkatnya peran pembelian suara, kampanye informal dan promosi masing-masing calon.

Meskipun sistem perwakilan proporsional terbuka dapat membangkitkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik, akan tetapi sistem ini dinilai menimbulkan hambatan bagi kandidat perempuan.

Hal ini mengingat masyarakat Indonesia yang memiliki ketimpangan gender yang signifikan. Kandidat perempuan dengan pengecualian calon-calon dinasti dan selebritas, cendrung kurang dikenal dan mencerminkan secara relatif perempuan yang tidak memiliki posisi, otoritas dan pengaruh dalam jaringan politik tidak dikenal oleh masyarakat.

Sehingga, pada tahun 2008 pembagian kuota kandidat diperkuat dalam 3 aspek utama yang dikemukakan oleh Hillman, diantaranya : pertama, mensyaratkan partai politik menerapkan “sistem ritsleting” dimana satu dari setiap 3 kandidat dalam daftar mereka harus perempuan. Kedua, komisi pemilihan lokal diminta untuk memverifikasi bahwa daftar partai di tiap daerah pemilihan dipatuhi. Ketiga, partai diminta untuk memasukkan 30 persen perempuan dalam dewan eksekutif mereka. Dengan adanya penguatan kuota kandidat terbukti meningkatkan representasi perempuan dalam politik dengan optimisme peningkatan representative deskriptif, yakni peningkatan legislatif dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah sebelumnya dan representative substansif yaitu sejauh mana perempuan yang menjadi bagian dari elite politik memajukan kepentingan perempuan yang mereka wakili. Pusat elektabilitas perempuan dalam politik terdiri dari 2 unsur utama, yakni: sumber daya keuangan dan jaringan politik.

Kesimpulan

Eksistensi perempuan dalam dunia perpolitikan sudah menunjukkan titik terang. Partisipasi perempuan dalam partai politik dalam kepengurusan, diskusi politik serta pemberian suara dalam partai politik sangat tinggi.

Akan tetapi, masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi oleh perempuan dalam partai politik salah satunya ialah ketidakadilan akibat kesenjangan yang terjadi antara posisi laki-laki dengan posisi perempuan dalam partai politik.

Sehingga, perempuan harus bisa mendobrak kemampuan yang dimilikinya untuk memperjuangkan hak-hak yang semestinya ia terima dan peroleh.(analisa)