Legitimasi Parpol, Dalam Stabilitas Negara

oleh -1,799 views
oleh
1,799 views

Oleh:                                                            HM. Tauhid, S.IP

MALAM sudah menunjukan pukul 22.00 WIB. Ketika saya melintas di Jalan S. Parman, Kota Padang, suasananya masih ramai. Warung kopi, kafe hingga restoran terlihat disesaki pelanggan.

Sebagian besar pengunjungnya duduk berkelompok, bercengkerama, berdiskusi. Candaan disambut tawa sesekali terdengar. Suasana terasa nyaman, aman apalagi ketika ditemani secangkir kopi. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Dalam hati, saya selalu bersyukur ketika masyarakat bisa menjalani kehidupan secara normal. Namun barangkali, sedikit yang menyadari. Kehidupan yang stabil, aman, damai dan tenteram, ada sebabnya.

Dalam konteks kenegaraan, ada kekuatan partai politik yang turut memberi andil. Komitmen dari pengambil kebijakan di partai politik, berkorelasi dengan stabilitas negara. Tanpa bermaksud mengabaikan kekuatan rakyat (the power of people), partai politik adalah tonggak kehidupan bernegara dan berbangsa. Kita anti partai politik sama saja anti terhadap tonggak dan pilar bangsa ini.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, partai politik dipercaya sebagai alat transisi dalam proses demokrasi bernama Pemilu. Dalam Pasal 6 A Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Penyeimbang kekuatan eksekutif, yakni anggota legislatif juga diusulkan melalui partai politik. Dari kebijakan eksekutif dan legislatif inilah ditentukan pimpinan tiga pilar (trias politica) yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Memasuki era reformasi wakil-wakil yang duduk di eksekutif dan legislatif juga menentukan jabatan pimpinan komisioner seperti KPK, KPU dan Bawaslu. Panglima TNI, kepala Polri, serta Mahkamah Konstitusi juga termasuk dalam rumpun jabatan yang ditentukan wakil-wakil dari partai politik.

Dengan melihat tatanan demikian, maka sudah selayaknya partai politik menjadi tempat yang sakral. Perlu dijaga. Jika ada yang salah, harus diperbaiki. Bukan dibenci. Menolak partai politik, sama saja menolak mekanisme sah yang berlaku di negeri ini.

Sebab itu, masyarakat berkewajiban juga mengawasi partai politik. Mengenal wakil-wakil yang mereka usung. Lalu menentukan pilihan dengan bijak. Sikap apatis tidak menjadi solusi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa.

Bangsa Indonesia pada Pemilu 2019 ini memiliki kontestan sebanyak 16 partai politik, ditambah dengan partai daerah Aceh. Dengan kemajemukan tersebut, tidak pernah muncul istilah pemisahan kekuasaan (separation of power). Wakil-wakil bangsa ini tetap berpegang teguh pada sistem pembagian kekuasaan (distribution of power).

Komitmen ini jelas memunculkan stabilitas. Tidak ada istilah separatis, artinya tidak ada tensi politik yang terlalu tinggi. Tidak ada peperangan atas nama mempertahankan kedaulatan. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak terganggu dengan konflik kekuasaan. Saat menikmati secangkir kopi, tidak ada letusan senjata, apalagi mortir yang perlu dikhawatirkan.

Inilah keberagaman yang patut disyukuri. Bandingkan dengan saudara-saudara kita di Irak dan Suriah. Lebih dari 2 juta penduduk harus keluar dari negeri mereka. Bagi yang bertahan, hidup dalam kamp-kamp pengungsian dan reruntuhan bangunan. Jangankan bercengkerama di warung, untuk mendapatkan makanan saja harus mengais penuh rasa was-was.

Padahal kita tahu, partai politik di Irak dan Suriah sedikit jumlahnya. Seperti di Suriah ada Partai Ba’ath, Partai Nasionalis Sosialis Suriah dan Partai Komunis Suriah (dibubarkan 1986). Suku dan bahasa penduduknya juga tidak seramai Indonesia. Kenyataannya, bangsa ini justru lebih mapan dalam stabilitas politiknya. Inilah yang harus dipertahankan.

Peralihan masa Orde Baru ke era reformasi salah satunya ditandai dengan bertambahnya jumlah partai politik dari tiga partai menjadi belasan partai.

Anugerah ini seperti menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Stigma partai yang belum sepenuhnya baik di mata masyarakat. Berimplikasi pada rendahnya angka partisipasi pemilu. Ironisnya kampanye golongan putih (golput) justru digaung-gaungkan.

Tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2018 hanya mencapai 73,24 persen. Tingkat partisipasi tersebut pun diakui Komisi Pemilihan Umum ( KPU) belum mencapai target. Ketua KPU RI Arief Budiman dalam diskusi di Cikini, Jakarta, menyatakan target partisipasi pemilih yang ditetapkan sebesar 77,5 persen (Kompas.com, 30/06/2018). Di banyak daerah angka partisipasi justru berkisar di angka 60 persen.

Kembali pada mekanisme Pasal 6 A Ayat 2 Undang-Undang 1945, partai politik adalah media sah dalam proses demokrasi. Dari partai politik bangsa ini dijaga.

Masyarakat punya tanggungjawab politik dalam menjaga stabilitas bangsa. Marilah berpartisipasi dengan bijak.(analisa)