Menanti ‘Bola Muntah’ Wawako Padang

oleh -798 views
oleh
798 views

 

Oleh : Ilhamsyah Mirman
(Koordinator FMM* dan Founder RRC Institute**)

Istilah popular dalam permainan sepakbola yang kerap digunakan oleh Valentino ‘Jebret’ Simanjuntak menjadi analogi sederhana dikaitkan dengan konteks terkini proses pengisian pos wakil walikota Padang. Gerakan tanpa bola walikota Hendri Septa yang mengganti ratusan perangkat pemerintahan dalam sekali gebrak membuat panas dingin situasi politik. Keadaan yang menyebabkan kedua partai pengusung, PAN dan PKS, menjadi serba salah. Banyak implikasi tentu, salah satunya terkait figur yang bakal menjadi pendamping di setengah periode tersisa.

Ada beberapa faktor yang bakal berpengaruh, paling utama adalah kesediaan kedua partai pengusung untuk mengajukan calon sebagai hak pemenang pilkada asal kedua kepala daerah saat terpilih, yaitu walikota Mahyeldi dengan PKS dan wakil walikota Hendri Septa (HS) dengan kendaraan PANnya. Selanjutnya tentu para anggota dewan yang terhormat sebagai pemilik suara untuk memilih satu diantara yang diusulkan. Tahapan normatif yang tampak sederhana diatas kertas, namun licin bak belut di realita belakang layar.

Kekuatan kedua partai pengusung, PKS dengan 9 kursi (20%) dan PAN 7 kursi ( 15 %) tidak cukup untuk menggapai angka mayoritas mutlak, sekalipun digabung, sehingga beresiko sekiranya keduanya bercerai. Kondisi yang pada akhirnya akan membuat mimpi ‘lanjutkan’ bakal sirna. Sebagai pemenang, partai Gerindra (11 kursi alias 24 %), atau Demokrat yang ‘Kedjajaan’nya menurun, bahkan Golkar sekalipun, partai digdaya era Orde Baru, yang sama-sama menanti bola ‘muntah’ memenangkan kompetisi musim berikutnya.
Analogi bola muntah lebih tepat lagi dikenakan pada situasi terkini, saat permainan justru sedang memasuki babak panas.

Situasi psikologis rindu tapi benci duet sekondan penguasa kota Padang, PAN & PKS seperti mengulang jejak sejarah persaingan sekaligus perkongsian dua sedarah ini, yang secara konsisten terus berulang. Secara bergantian kedua partai yang direpresantisikan ke masing-masing tokohnya mengharu biru jagat perpolitikan kota Padang dekade belakangan ini.

Pasangan Fauzi Bahar-Mahyeldi, Mahyeldi-Emzalmi, Mahyeldi-Hendri Septa adalah pelaku yang jejaknya jelas terekam. Apapun hasil pasangan pendamping HS kali ini, selanjutnya bukannya tidak mungkin sejarah berulang, mereka akan berkoalisi lagi di pilkada serentak tahun 2024. Paling berpeluang tentu kombinasi HS-PKS.

Namun diwaktu tiga tahun tersisa sepertinya dinamika tetap menarik dicermati detik per detik. Paling tidak ada 3 (tiga) skenario yang akan terjadi, yaitu terkait personal yang diusung dari kader PAN, kader PKS, atau diluar keduanya, yaitu dengan mengusulkan figur yang dianggap netral. Ada skenario keempat, keduanya tidak mengajukan samasekali. Namun rasanya sangat tipis peluangnya, terutama bagi PAN. Demikian juga PKS yang boleh dikatakan dalam sejarah perjalanannya tidak pernah mengabaikan kesempatan yang dipunyai, sekecil apapun. Maka bisa diperkirakan tarik menarik antar keduanya yang bakal terjadi.

Situasi dilemma PKS (dengan 6 pilihannya) mulai sedikit terurai. Calon resmi PKS yang salah satunya generasi amat muda potensial, pengurus DPTP PKS yang pada tulisan saya terdahulu terbetik harapan dipundaknya membackup mengawaki kota Bingkuang ini. Duet maut milenial, rising star dimasing-masing partainya berpadu membawa ibukota Sumatera Barat tampil ke pentas dunia. Meski belum tertutup sama sekali mewujudkan mimpi ini, namun dari kacamata publik sudah seharusnya Sang Doktor Psikolog tampil kemuka menyampaikan gagasan-gagasan orisinil yang banyak bertebaran di situs pribadinya. Masyarakat perlu dikenalkan figur yang bukan L4 (lo lagi lo lagi) untuk mewarnai. Amat disayangkan, tapi tak apalah, mungkin dianggap Belanda masih jauh.

Bak mengincar kelengahan barisan benteng pertahanan lawan, situasi yang paling pas untuk menggambarkan peluang PAN dengan sejumlah bintang lapangannya. Amril Amin (Achiak), bahkan beberapa nama baru namun potensial terutama yang berlatar belakang Muhamadiyah, seperti Muhayatul & Maigus Nasir turut meramaikan pasar. Asumsi kuatnya jaringan Persyarikatan Muhammadiyah membuat posisi tawar HS dikalangan internal partai PAN mau tidak mau harus mengakomodir ormas terbesar di ranah Minang ini. Langkah agresif melalui gerakan bayangan maupun kasak kusuk team sukses menjadikan permainan kian menarik. Tentu HS harus berpikir seribu kali, dalam kapasitas sebagai Ketua DPD PAN Kota Padang, mengajukan ‘saudara’nya ini. Peluang keterpilihan formasi ini, sekalipun amat tipis, amat tergantung pada siapa yang menjadi ‘lawan’ yang diajukan PKS.
Terakhir, yang tak kalah menarik mencermati sejumlah atlet kawakan yang lari-lari ketjil dipinggir lapangan dengan kostum lengkap dan pemanasan yang ‘overdosis’. Kalau boleh menyebut nama, tokoh sekaliber Miko Kamal, Khairul Ikhwan, bahkan Ekos Albar masuk dalam kategori ini. Berbungkus jubah bertabur mutiara tentu amat menarik untuk dikaji. Dengan intensitas kian meningkat, ketiganya unjuk kemampuan mengisi ranah publik dengan gimmick analisis dan respon atas situasi terkini. Sikap proaktif, menjadi sedikit gambaran akan kegenitan mereka untuk bersolek. Mana tau bisa mendapat bola muntah. Tiba-tiba didepan mata peluang menyapa, tinggal sedikit menyepak masuk tu bola.

Suatu hal yang tidak mustahal lho. Karena pepatah yang kerap disitir, politik adalah seni dari segala kemungkinan, bisa menjadi bahan bakar penyemangat ketiga orang ini yang memang memiliki banyak amunisi dan kapasitas mumpuni untuk mendampingi sang walikota. Ekos yang jelas PAN, Khairul yang PKS nya tidak mungkin ditutup atau Miko yang ‘kamari masuak’, tangan kanan Buya Mahyeldi cq PKS dalam pertarungan pilkada sekaligus ‘mandan’ jaringan Aussie Hendri Septa. Peran dan posisi sepadan yang kalau mau sedikit berlegawa, lebih seru melihat ketiganya beradu visi dan misi untuk menjadi yang terbaik mendampingi HS. Kalau big match ini terjadi maka publik akan puas disuguhi pertarungan ide dan gagasan tanpa harus terbebani isu ‘isi tas’. Sedikit dari keunggulan ranah Minang yang masih tersisa dalam menjalani kehidupan berdemokrasi keseharian.

Pada sisi lain, pertarungan ini menempatkan kembali peran terhormat partai politik sebagai kawah candradimuka menggojlok calon pemimpin untuk dimajukan kepentas publik tanpa harus terkuntji pada subjektifitas atau selera elite partai semata. Biarlah masyarakat yang memilih melalui wakil rakyat di gedung bundar Sawahan. Karena pada diri merekalah yang berjelas-jelas telah beritikad memperlihatkan kesungguhannya untuk maju. Keberanian membuka diri, meski dibungkus dengan sedikit kesopanan, namun cukuplah bagi kita bersama mematut-matut mana dari mereka yang layak mendampingi sang walikota.

(Ilh, 250421)

(*) Koordinator FMM (Forum Minang Mandiri)
(**)Founder RRC (Ranah Rantau Circle) Institute