Penyelarasan Konsumsi Pangan Lokal dalam Skema Ketahanan Pangan Nasional

oleh -246 views
oleh
246 views
Kilang pengolahan sagu di Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai (foto: Muhammad Idris)

Studi Kasus Mentawai

Oleh: Muhammad Nazri Janra (Dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas)

ARTIKEL opini ini dibuat berdasarkan hasil kunjungan lapangan penelitian dan pengabdian masyarakat ke Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai pada tanggal 12-16 Oktober 2021 yang baru lalu.

Di dalam kegiatan yang menjadi bagian kerja sama antara Jurusan Biologi Universitas Andalas dengan Sekolah Tinggi Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB) ini, selain dilakukan rapid assessment kekayaan hayati Mentawai di Siberut Selatan, juga dilakukan study kemasyarakatan yang menggali kearifan lokal masyarakat setempat yang berhubungan dengan sumber pangan dan hewan liar di lingkungan sekitar. Beberapa temuan menarik didapatkan selama kegiatan ini, salah satunya yang dipaparkan di dalam tulisan ini.

Swasembada pangan nasional sendiri sudah digaungkan semenjak Orde Baru dengan tujuan untuk menjamin kecukupan kebutuhan pangan setiap warga negara.

Program ini dibagi menjadi tiga komponen kegiatan, yaitu menjamin produksi dan ketersediaan pangan nasional, akses terhadap sumber pangan untuk masyarakat serta menjamin mutu dan keamanan pangan nasional tersebut. Mengamankan rakyat dari kekurangan asupan gizi berdampak jangka panjang dalam mencapai tujuan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah.

Di jaman Orde Baru, swasembada dan ketahanan pangan menjadi bagian integral dari setiap rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Beras menjadi komoditas utama dalam swasembada pangan nasional ini diikuti dengan jagung, kedelai dan beberapa tanaman palawija primadona.

Swasembada dan ketahanan pangan ini sebenarnya dapat menjadi lebih baik lagi jika bersifat fleksibel dengan kondisi banyak tempat di Indonesia. Keberadaan ribuan pulau besar dan kecil di Nusantara bukan hanya melahirkan ragam suku dan anak bangsa yang berbeda kebudayaannya, tetapi juga pola konsumsi pangan mereka.

Hal ini tidak lepas dari sumber daya yang tersedia secara lokal akibat kondisi bentang alam yang khas di masing-masing tempat. Sehingga bisa dikatakan bahwa terdapat perbedaan pangan utama di Indonesia ini yang seringkali sudah terpatri menjadi bagian dari adat istiadat setempat. Dilihat dari sudut pandang biologis, makanan pokok yang dikonsumsi sejak jaman nenek moyang suatu suku atau anak bangsa turut berpengaruh membentuk fisiologi dan fenotip tubuh mereka.

Dalam artian, performa yang ditunjukkan oleh suatu suku atau anak bangsa dalam wujud bahasa, tingkah laku, kebiasaan atau peri kehidupan lainnya, akan sangat dipengaruhi oleh makanan yang biasa dikonsumsi.

Dari uraian di atas, maka seharusnya wajar jika program ketahanan pangan nasional disesuaikan pelaksanaannya untuk daerah-daerah yang mempunyai jenis makanan tradisional yang telah dikonsumsi turun temurun.

Tapi jika dilihat sampai saat ini, program ketahanan pangan nasional ini mengutamakan jenis pangan tertentu untuk dikonsumsi secara merata di seluruh kawasan negara. Katakanlah beras memang menjadi makanan utama sebagian besar rakyat Indonesia di hampir 75-80 persen wilayahnya.

Tetapi bukan berarti hal ini bisa dikejawantahkan bahwa dalam menjalankan program ketahanan pangan nasional tadi, semua warga Indonesia diarahkan untuk mengkonsumsi beras.

Kepulauan Mentawai merupakan contoh unik dalam hal pangan pokok ini. Didominasi oleh tanah latosol yang bersifat asam dengan kandungan organik rendah, Mentawai sangat baik untuk pertumbuhan sagu (Metroxylon sagu). Sehingga masyarakat Mentawai termasuk salah satu suku bangsa yang mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokoknya.

Di Mentawai, sagu dimasak menjadi bubur, lemang atau bentuk sederhana lainnya, untuk dimakan bersama lauk dari sumber hewani yang umum ada di sana. Tepung sagu diperoleh dengan memarut batang sagu yang telah cukup usia dan larutan yang diperoleh diendapkan untuk mendapatkan pati yang mengandung karbohidrat tinggi. Hal ini telah berlangsung semenjak peradaban manusia terbentuk di Kepulauan Mentawai ini sehingga wajar dikatakan jika sagu telah menjadi bagian tersendiri dalam kebudayaan masyarakat Mentawai.

Program ketahanan pangan nasional, dengan prioritas pada produk-produk utama seperti beras, juga dilancarkan di Mentawai. Seiring dengan makin banyaknya warga pendatang yang bermukim di sana ikut mempopularkan beras sebagai makanan pokok. Dalam kegiatan survey sosial yang dilakukan oleh Jurusan Biologi Universitas Andalas dan SITH ITB diketahui bahwa sampai ke tingkat tertentu beras telah berhasil menggeser posisi sagu sebagai pangan utama masyarakat Mentawai.

Bahkan, di kalangan pemuda terdapat anggapan bahwa beras lebih utama dibandingkan sagu yang telah dikonsumsi turun temurun. Siswa sekolah yang disurvey malah merasa malu mengkonsumsi sagu di lingkungan sekolah karena dianggap kalah pamor dari beras, sehingga meskipun memiliki banyak persediaan sagu di rumah mereka lebih memilih kelaparan saat di sekolah daripada membawa sagu sebagai bekalnya.

Sekilas, fenomena ini bisa dilihat sebagai keberhasilan program pemasyarakatan ketahanan pangan nasional berbasis beras dan komoditas pangan utama lainnya. Tapi jika dirunut lebih jauh, terdapat potensi kerugian sosio-ekologi yang dapat mengancam eksistensi masyarakat Mentawai itu sendiri.

Sagu memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dari beras, sehingga lebih lama mengenyangkan dibandingkan beras serta menjauhkan jarak makan satu dengan berikutnya. Sagu yang diolah secara tradisional juga memiliki antioksidan yang sangat berguna dalam meningkatkan daya tahan tubuh.

Konsumsi sagu yang telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat tradisional Mentawai sangat berkemungkinan mewujud kepada ketahanan fisiologis tubuh mereka, sehingga peralihan ke jenis pangan pokok lain (beras) akan berpotensi menimbulkan kekacauan fungsi faal tersebut.

Akan butuh waktu yang cukup lama sebelum mereka bisa benar-benar menyesuaikan fungsi tubuh dengan makanan baru tersebut. Ini tentu saja akan mempengaruhi kinerja masyarakat ini secara keseluruhan nantinya.

Peralihan konsumsi dari sagu ke beras juga berpotensi menimbulkan kerentanan sosial dalam masyarakat. Tanah Mentawai yang tidak sesuai untuk diolah menjadi sawah, meskipun menggunakan bibit unggul atau teknik tertentu, cenderung menimbulkan ketergantungan akan suplai beras dari daerah lainnya.

Dalam jangka panjang, tujuan ketahanan pangan tadi bisa tidak tercapai mengingat sewaktu-waktu suplai dari luar daerah tersebut bisa mengalami gangguan atau penurunan. Lahan-lahan yang sebelumnya menjadi sentra sagu mungkin saja akan dikonservasi menjadi sawah, walaupun menghadapi tantangan ketidakcocokan lahan tadi. Sehingga ujung-ujungnya, selain tergantung dengan pasokan beras dari luar, kehilangan sumber sagu juga akan mengancam secara tidak langsung.

Langkah yang paling baik, menurut apa yang dapat disimpulkan dari penelitian yang telah dilakukan, adalah dengan melakukan pemuliaan sumber pangan lokal Mentawai berupa sagu ini.

Sagu perlu diangkat kembali pamornya menjadi sumber makanan khas dengan berbagai keunggulannya. Ini dilakukan dengan memperbaiki tampilan, rasa dan bentuk produk-produk makanan berbahan sagu tersebut.

Mindset generasi muda perlu dikembalikan kembali ke anggapan bahwa pangan lokal seperti sagu sebenarnya justru sama kerennya dengan pangan ‘nasional’ tadi. Jikapun beras masih ingin dipertahankan, mungkin dalam kapasitasnya sebagai makanan pendamping, bukan utama.(analisa)