Soroti Kasus ICBS, Supardi : Ada Yang Salah di Pesantren Ini

oleh -976 views
oleh
976 views

PAYAKUMBUH — Potret buram pendidikan kembali merobek harapan siswa untuk mendapatkan ilmu dan rasa nyaman akibat terjadinya tindak kekerasan. Pendidikan Pesantren atau Boarding School menjadi salah satu tempat favorit bagi orangtua untuk menitipkan harapan agar anak mendapat pendidikan yang lebih baik dan profesional.

Namun, lemahnya perlindungan dan pendampingan psikologi atas anak yang menyebabkan terjadinya kekerasan di ponpes menjadi bumerang bagi orangtua dan anak yang harus menghadapi trauma tanpa mendapat pendampingan yang sepadan.

Menilik kekerasan yang terjadi di Sekolah Islam Terpadu Insan Cendekia Boarding School atau yang lebih dikenal sebagai Pesantren ICBS di Harau, Payakumbuh, Sumatera Barat mendapat sorotan tajam dari Ketua DPRD Sumatera Barat Supardi, saat dihubungi, Jumat (3/3/2023).

Ia mengkritik keras atas segala kekerasan yang terjadi di pesantren, tak hanya ICBS tapi semua pesantren secara keseluruhan.

“Yah kita heran kalau sekiranya betul ada aksi kekerasan yang berulang-ulang di sebuah pesantren nah berarti ada sesuatu yang salah di situ,” tegasnya.

Bahkan ia juga meminta agar yayasan menindak tegas jika ada pelanggaran yang terjadi baik itu dilakukan oleh siswa atau ustad yang mendampingi anak-anak selama mondok.

“Yayasan harus bertindak jangan ditutup-tutupi sebab haknya wali murid harus tahu juga perkembangan anaknya di sekolah. Nggak boleh wali murid nggak boleh mengakses perkembangan anaknya karena ini kan masa depan generasi muda di tangan mereka,” ungkapnya.

Ketua DPRD juga mengatakan bahwa di pesantren tidak boleh ada senioritas. Dan ia meminta adanya pengawasan yang ketat untuk memantau perilaku siswa.

“Ini pesantren ya bukan sekolah kayak IPDN atau STPDN atau sekolah semi militer ada junior dan senior, di pesantren tidak ada istilah senior dan junior. Yang ada adalah ini abangnya, ini adiknya abang menyayangi adiknya, adiknya yang menghormati abangnya. Tidak ada istilah kekerasan di situ seharusnya,” jelasnya.

Karena sejak sore sampai sampai malam, sampai pagi sebelum belajar nah ustad tadi itu harus tahu pola anak-anaknya. Harus tahu karakter anak-anaknya.

“Jangan disamain! Ini Sumatera Barat, ini Payakumbuh,” ungkapnya.

Apalagi anak kita itu berasal dari berbagai daerah dan dengan karakter yang berbeda-beda, latar belakang yang berbeda- maka pembinanya atau gurunya harus betul-betul memahami karakter dari si anak tadi itu.

“Sekali lagi bukan hanya untuk ICBS tapi untuk sekolah yang boarding, jadi jangan disamakan. Ini sekolah khusus yang orientasinya khusus ke arah agama. Jangan disamakan dengan STPDN atau IPDN atau sekolah semi militer, yang ada senior junior. Tidak bisa seperti itu,” kritiknya.

Ia juga berbicara makna kekerasan pada anak. Kalau ada pola kekerasan tergantung sudut pandang kita.

“Kalau saya melihat kekerasan itu merusak fisiknya dan mentalnya. Kalau ada yang luka, patah, terdeteksi oleh visum berarti itu kekerasan namanya dan itu tidak dibenarkan. Sesuai hadis,kalau anak usia 7 tahun tidak mau sholat ya dikasih tahu, dilacuik. Tapi dilacuik tu yo kakinyo jan pungguangnyo. Jan kapalonyo, jan badannyo, kakinya. Nah malacuik ko ndak marusak. Ndak merusak organ, ndak merusak kulit. Ada batasan-batasan juga,” ungkapnya dengan prihatin.

Ia juga mengkritik jika adanya ancaman atau intimidasi dari pihak sekolah yang mencoba untuk menakuti orangtua murid jika ada yang melaporkan peristiwa ini atau menyampaikan aksi protes.

“Jika pihak sekolah ada yang mengancam untuk melarang, itu luar biasa namanya itu. Hebat betul itu sekolahnya. Berarti dia ngangkangin undang-undang namanya itu. Mengangkangi hukum itu. Apapun pesantrennya, baik dibawah Kementrian Pendidikan atau Kemenag. Untuk pendidikan kita tetap punya satu acuan. Nggak boleh berbeda-beda,” ucap Ketua DPRD Sumbar tegas.

Untuk itu, ia meminta jika ada terjadi tindak kekerasan di sekolah, orangtua murid jangan sungkan untuk mencari keadilan dan menyibak kebenaran itu agar bisa ditindak lanjuti melalui pihak yang berwenang didalamnya.

“Pertama itu ada Komisi Perlindungan Anak ya, KPAI punya kewajiban dan teknislah untuk mengungkap hal ini, diserahkan kepada yang ahli. Kedua ada psikiater, psikolog yang bisa mendeteksi kejiwaan anak tersebut seperti apa. Ketiga ada visum, nah visum itu menandakan sebuah kejadian jika merusak fisik itu terjadi kekerasan. Nggak mungkin rusak fisik anak tersebut dengan serta merta nggak mungkin pasti ada yang merusak. Siapa yang merusak? Nah tinggal tanya sama anak,” ulasnya.

Sehingga ia meminta agar orangtua tidak perlu takut untuk mencari keadilan agar hal tersebut bisa terungkap. Dan ia juga menyampaikan kritikan ada ponpes untuk mengedukasi anak-anak dengan benar.

Karena untuk masuk di sekolah tersebut pasti menjalani serangkaian tes, sehingga seharusnya pihak sekolah sudah mengetahui kapasitas, kredibilitas, karakter dan latar belakang anak itu.

“Dari awal harusnya pihak sekolah dan yayasan mendeteksi si anak tersebut seperti apa karakternya dengan menggabungkan latar belakang bapak ibunya. Jadi kalau seandainya anak diterima di sekolah, artinya sekolah sudah siap menerima dalam kondisi apapun siswa tadi itu,” jelasnya.

Secara tegas, Ketua DPRD Sumatera Barat ini memperingatkan bahwa imbauan ini tak hanya untuk ICBS tapi seluruh sekolah. Bahwa anak berhak atas rasa keadilan dalam menimba ilmu. Terutama pihak sekolah dilarang menggunakan kekerasan sebagai bentuk penegakan disiplin, namun justru lebih kepada bentuk arogansi.

“Ya harus siap kan anak tadi itu masuk atas seleksi ketat. Ketika anak tadi diluluskan berarti si anak tadi sekolah beranggapan dia mampu mendidik anak ini. Jadi kalau seandainya ada aksi kekerasan itu paradoks namanya itu. Nggak boleh. Kecuali kalau anak tersebut dapat di jalan misalnya. Nggak tahu siapa bapak ibunya nggak tahu latar belakangnya, trus kita terima di sekolah trus sampai di sekolah dia begini-begini, kita pukul masih bisa diterima. Tapi ini tidak anak masuk melalui seleksi yang ketat,” tukasnya.(***)