Ikan Budu: Membangkitkan Potensi Perikanan Mentawai

oleh -844 views
oleh
844 views
Pelatihan pembuatan ikan budu pada masyarakat desa Mailepet, Siberut Selatan yang dilakukan oleh Jurusan Biologi FMIPA Unand bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, serta contoh ikan yang diolah dengan prinsip pembuatan ikan budu. (fmipa-unand)

Oleh: Muhammad Nazri Janra & Nurmiati (Dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas)

SEBAGAI negara kepulauan dengan garis pantai yang sangat panjang, Indonesia tentu saja memiliki potensi kelautan yang tidak bisa dianggap enteng. Perikanan laut merupakan salah satu sektor utama kemaritiman yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Diperkirakan lautan di dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia memiliki potensi perikanan sebesar 6,4 juta ton per tahunnya. Di samping digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, perikanan laut Indonesia juga sudah diekspor ke berbagai negara lain baik dalam bentuk mentah atau produk olahan lainnya. Hal ini sangat dimungkinkan, karena potensi perikanan Indonesia sendiri melebihi angka konsumsi total per tahunnya.

Ikan laut sangat mudah sekali mengalami pembusukan jika tidak diberikan perlakuan tertentu setelah ditangkap. Kebanyakan, pada perusahaan penangkapan berskala besar, ikan langsung dikemas di dalam peti pendingin sehingga tetap segar saat mencapai daerah tujuan konsumsinya di luar negeri. Usaha perikanan laut skala kecil sampai sedang seringkali tidak mampu mengusahakan perlakuan ini, sehingga perlu dipikirkan cara-cara alternatif lainnya untuk dapat mengolah hasil perikanan laut yang bertujuan untuk mengawetkan sekaligus meningkatkan nilai jualnya.

Sentra-sentra perikanan laut Indonesia saat ini berada pada beberapa kawasan seperti Bagan Siapi-api di Riau, Cilacap dan Tegal di Jawa Tengah serta Banyuwangi di Jawa Timur. Sedangkan usaha perikanan laut skala kecil, berupa kelompok nelayan atau koperasi perikanan laut umumnya tersebar di sepanjang garis pantai yang ada. Meskipun berskala kecil, tetapi jika dihitung secara total, perikanan rakyat ini sebenarnya dapat menyumbang kepada perekonomian mikro di negara kita.

Kepulauan Mentawai di Provinsi Sumatera Barat memiliki potensi besar untuk juga dikembangkan sebagai sentra perikanan tingkat provinsi, kalau tidak nasional. Dengan gugusan pulau yang berjumlah hampir seratus buah tersebut, kawasan Mentawai menyumbang sebagian besar dari 200 ribu ton per tahun perikanan laut Sumatera Barat. Terlebih lagi kepulauan ini juga dilewati oleh jalur migrasi ikan tuna di bagian baratnya, sehingga wajar jika lebih dari setengah produksi perikanan laut provinsi ini didominasi oleh ikan tuna yang ditangkap dari kabupaten Kepulauan Mentawai ini.

Saat ini kebanyakan perikanan laut di Kepulauan Mentawai bergerak dalam skala kecil seperti yang dijelaskan di atas. Hasil yang didapatkan selain dikonsumsi sendiri, juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerah lain di Sumatera Barat bahkan sampai ke provinsi tetangga. Sementara menunggu dibangunnya industri perikanan laut skala besar di kepulauan ini, banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai dari hasi perikanan lautnya.

Salah satu alternatif yang menarik untuk diterapkan adalah pembuatan “ikan budu” pada ikan laut hasil tangkapan nelayan di Kepulauan Mentawai. Ikan budu ini telah lama dikenal sebagai bentuk kearifan lokal daerah-daerah pinggir pantai di Sumatera Barat seperti Pariaman, Pasaman Barat, Agam dan Pesisir Selatan.

Ikan budu adalah produk perikanan laut yang dibuat dari ikan-ikan berukuran besar sampai sedang, terutama yang memiliki daging berwarna cerah. Misalnya ikan tenggiri (Scomberomorus spp.), ikan talang-talang (Scomberoides lysan), ikan jenaha atau kakap (keluarga ikan Lutjanidae) dan lain sebagainya. Perbedaan ikan budu dengan olahan ikan lainnya adalah ikan budu ini dibuat dari ikan segar yang ditangkap langsung dari laut dan difermentasi dengan mikroorganisme proteolitik tertentu.

Ikan yang dijadikan bahan pembuatannya tidak boleh terkena es atau air es, juga tidak boleh terbentur selama proses penangkapannya. Setelah dibersihkan, ikan segar tadi dijemur pada terik matahari selama beberapa jam dengan tujuan untuk menyingkirkan mikroorganisme selain yang bersifat proteolitik. Bakteri yang bersifat proteolitik biasanya tahan terhadap panas matahari, sehingga hanya jenis bakteri inilah nantinya yang tersisa di daging ikan yang akan difermentasi.

Selanjutnya, ikan disimpan dalam wadah tertutup, di beberapa tempat ikan dipendam dalam tanah, sehingga fermentasi berlangsung secara anaerobik (tidak memerlukan oksigen bebas). Bakteri dan mikroorganisme proteolitik yang hinggap secara alami saat ikan dijemur, akan memfermentasikan protein dalam ikan menjadi lebih sederhana, sehingga lebih mudah dicerna dan lebih tinggi nilai konsumsinya.

Ikan budu kualitas premium biasanya memiliki ciri kualitas aroma fermentasi yang khas dan intensif, tidak berbau busuk meskipun tidak menggunakan pengawet, tidak anyir, tidak terlalu asin dan bertekstur empuk. Kualitas ini dapat berbeda-beda tingkatannya, tergantung dengan resep khas pembuatan ikan budu yang telah dikembangkan di masing-masing daerah sentra penghasilnya.

Maka tidak heran, jika sekilo ikan budu dapat dihargai sampai 300 ribu rupiah, jauh lebih mahal dibandingkan harga mentah dari masing-masing ikan bahan dasarnya yang berkisar 30-50 ribu rupiah. Tentu saja, ini adalah peluang yang sangat sayang untuk dilewatkan, terutama untuk daerah-daerah penghasil ikan laut seperti Mentawai dan sekitarnya.

Mengingat hal yang diuraikan di atas tersebut, maka Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Andalas bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH-ITB) melakukan kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat di Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 12-16 Oktober 2021 yang baru lalu.

Dalam rangkaian kegiatan pengabdian kepada masyarakatnya, staf pengajar dan peneliti dari kedua lembaha pendidikan tinggi tersebut mengangkatkan pelatihan pembuatan ikan budu pada masyarakat nelayan yang ada di kecamatan tersebut.

Pelatihan ini juga sekaligus menjadi titik permulaan kerjasama jangka panjang antara kedua lembaga pendidikan tinggi, sekaligus melaksanakan niat untuk mengangkat kawasan Mentawai menjadi daerah binaan dalam jangka panjangnya. Sehingga dari pelatihan pembuatan ikan budu ini selanjutnya dapat ditingkatkan kepada standarisasi mutu ikan hasil olahan, mengemas dan memasarkan produk yang telah jadinya sehingga tujuan akhirnya untuk dapat meningkatkan perekonomian daerah dapat diwujudkan.(analisa)