Ketua DPRD Sumbar Dengarkan Penjelasan Masjid Tuo Ampang Gadang, Diperkirakan Berhubungan Erat Dengan Perang Padri

oleh -404 views
oleh
404 views

50 KOTA – Masjid Tuo Ampang Gadang ini mulai dibangun tahun 1834 M dan selesainya tahun 1837 M. Diperkirakan bangunan masjid tuo ini ditahun 1834 M sudah ada juga aktifitas keagamaan Islam namun bangunan masjid masih bersifat sederhana.

Hal ini diungkap Remizal Dt.Parpatiah tokoh masyarakat, pemilik masjid Tuo Ampang Gadang merupakan mashid kaum chaniago Ampang Gadang Tujuah Koto Talago, kepada ketua DPRD Sumbar Supardi dan rombongan, tetmaauk Kabag Hukum dan perundang-undangan, Kamis (12/10/2023).

Dt.Parpatiah ini membenarkan masjid tua Ampang Gadang ini juga bahagian dari perjalanan perjuangan Perang Padri Tuanku Imam Bonjol yang berlangsung pada 1803-1838. Perang melawan kolonialisme Hindia Belanda yang memantik kesadaran berbangsa kaum adat dan kaum padri.

“Di Ampang Gadang dimasa itu ada nama tokoh salah satu panglima Perang Padri Tuanku Nan Biru yang saat ini diabadikan sebagai nama lapangan bola kaki di Nagari Tujuah Koto Talago,” ujarnya.

Dt.Parpatiah juga katakan, diperkirakan juga masjid tuo Ampang Gadang ini juga basis kekuatan perlawanan kaum Padri terhadap kolonial Hindia Belanda selain juga pengembangan Islam di Sumatera Barrat bagian timur Kabupaten Lima Puluh Kota.

“Masjid Tuo Ampang Gadang merupakan salah bukti, jejak-jejak dari perjuangan Tuanku Imam Bonjol, dimana dimasjid tuo tempat berkumpul orang-orang shalih yang taat menjalankan amalan agama Islam,” ungkapnya.

Dt.Parpatih juga sampaikan rasa prihatin nya kondisi masjid Tuo Ampang Gadang ini saat ini sungguh telah rusak berat dan butuh perhatian semua pihak untuk melestarikannya.

“Masjid Tua Ampang Gadang sebagai salah satu saksi sejarah perkembangan Islam di Minangkabau, yang juga salah satu titik riwayat perjuangan perlawanan masyarakat Sumbar melawan kolonial Hindia Belanda dinasa Perang Padri, tentulah perlu di lestarikan untuk diketahui oleh generasi ke generasi masa datang,” ujarnya

Masjid Ampang Gadang ini memiliki luas bangunan 13,6 m x 13,6 m dengan luas lahan 25 m x 12 m. Pada sisi Barat terdapat sebuah ruang mihrab berdenah persegi panjang berukuran 1,5 x 4 m.

Bangunan utama juga dilengkapi beberapa buah jendela yang tersebar pada keempat sisi dinding masjid dengan kusen setinggi 1,75 m dan selebar 1 m.

Bangunan masjid sebenarnya terbagi atas serambi dan ruang utama. Serambi masjid berada di sebelah timur atau bagian depan bangunan utama. Bangunan utama langsung bersambung dengan bangunan serambi.

Lantai dan dinding serambi terbuat dari beton. Pada sisi kiri dan kanan serambi, denahnya menjorok keluar berbentuk segi delapan dengan kubah di atasnya.

Serambi dan ruang utama dihubungkan oleh dua pintu di sebelah timur. Ruang utama memiliki 10 buah jendela, yakni masing-masing lima berada di sebelah utara dan selatan. Dinding ruang utama yang terbuat dari kayu ini memiliki hiasan kaligrafi. Di sisi barat ruang utama, berdiri mihrab yang menjorok keluar. Mihrab memiliki dua buah jendela di sisi utara dan selatan. Mihrab dihiasi dua buah lengkung dengan satu tiang di bagian tengahnya. Di bagian atas mihrab juga terdapat hiasan berupa kaligrafi.

Ruang utama terbuat dari kayu, termasuk lantai ruang utama. Kondisi lantai sudah keropos dan rapuh. Hanya lantai dekat mihrab, yakni lantai sebelah barat, yang masih dapat digunakan untuk sholat. Di dalam ruang utama, berdiri 18 tiang dan satu tonggak macu di tengah ruangan.

Secara keseluruhan, bangunan utama terbuat dari bahan kayu, mulai dari dinding, lantai, tiang, eternity, kecuali atap yang terbuat dari seng.

Perubahan atap dari ijuk ke seng dilakukan pada tahun 1322 H (1901 M), sesuai dengan inskripsi yang tercantum dalam atap.

Ruangan dalam semuanya dilapisi dengan cat dan dihiasi dengan lukisan kaligrafi ayat-ayat Al-Qur’an, Asmaul Husna, pemberian cat dan kaligrafi ini dibuat pada tahun 1960-an. Ruangan dalam masjid disangga oleh satu buah tiang utama dan 12 buah tiang pendamping.

Tiang utama berbentuk segi delapan (octagonal) setinggi 4 m dengan lebar masing-masing sisi 30 cm atau berukuran keliling 2,4 m.

Mihrab dihiasi dengan lengkung sebanyak dua buah, sementara mimbar yang biasa berada di dalam mihrab sudah tidak ada lagi, kemungkinan sudah rusak.

Mendengar pemaparan dan penjelasan, serta peninjauan langsung ke lokasi masjid, membuat ketua DPRD Sumbar terenyuh, bertekad agar peninggalan sejarah ini harus dilestarikan.

“Kita jangan lupa sejarah, ini harus kita lestarikan, agar kedepan anak-cucu kita bisa merasakan bagaimana Islam dan pejuangnya mempertahankan negri ini, melalui masjid-masjid dan dakwah,” tegas Supardi menutup. (**)