Bank Nagari Setelah Konversi Jadi Syariah

oleh -1,961 views
oleh
1,961 views
Ilham Aldelano Azre (foto: dok)

Oleh: Ilham Aldelano Azre                  (Dosen Administrasi Publik FISIP Unand/ Peneliti Spektrum Politika)

TANGGAL 30 November 2019, pemegang saham Bank Nagari membuat sebuah keputusan besar mengenai keberlanjutan bisnis Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat ini.

Pemegang saham seri A yang terdiri dari Pemprov Sumatera Barat (Pemegang Saham Pengendali), dan Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Sumatera Barat menyepakati perubahan/konversi Bank Nagari dari Bank Umum Konvensional menjadi Bank Syariah. Langkah Bank Nagari ini mengikuti jejak BPD lainnya, yaitu Bank Aceh dan Bank NTB.

Konversi dari Bank Umum Konvensional menjadi Bank Syariah tentu akan menjadi sebuah tantangan baru bagi keberlangsungan bisnis Bank Nagari ke depan.

Menurut Eko Supriyanto (Info Bank, 2018) potensi berkembangnya perbankan syariah di Indonesia relatif besar. Penduduk yang beragama Islam di Indonesia adalah mayoritas dengan dukungan kebijakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa bunga bank riba.

Namun, ada beberapa hal juga yang harus diingat antara lain perkembangan perbankan syariah tidak fantastis dari sisi kualitas pertumbuhannya.

Lebih lanjut juga dijelaskan, Indonesia hanya mampu berada di urutan kesembilan dari 10 negara Islam lainnya, dari sisi aset industri jasa keuangan syariah.

Ada kelemahan yang memicu perbankan syariah Indonesia lambat berkembang. Perbankan syariah saat ini hanya memfokuskan pada fungsi sebagai bank komersial biasa, tidak memaksimalkan fungsi sebagai bank investasi.

Eko juga menyebutkan, penetrasi pasar perbankan syariah memang sudah sedikit membesar, tapi belum menujukkan perbaikan kualitas.

Berdasarkan catatan Biro Riset Infobank, kinerja perbankan syariah tak kunjung membaik sejak 2012. Kejatuhan harga komoditas ikut mempengaruhi perbankan syariah harus bergelut dengan pembiayaan bermasalah. Return on Asset (ROA) terus menurun. Pada 2012, ROA masih bertengger di 2,14%, setahun, berikutnya menurun dan terus menurun hingga puncaknya terjadi pada 2014 dengan ROA 0,79%.

Berdasarkan data statistik perbankan syariah pada 2017, ROA perbankan syariah sebesar 1,17%, 2018 sebesar 1,37%, tahun 2019 sebesar 1,67%.

ROA Bank Syariah di Indonesia secara umum masih berada di bawah Bank Umum Konvensional yang berada di kisaran 2,5%. Data ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi perkembangan bisnis syariah ke depan.

Selain data dan fenomena tersebut, ada beberapa hal yang juga harus menjadi perhatian bersama dalam konversi Bank Nagari ini, yaitu perubahan kultur/mindset karyawan yang harus diantisipasi oleh manajemen terhadap sumber daya manusia yang ada.

Bagaimanapun kesiapan SDM tentu saja menjadi kunci kesuksesan konversi Bank Nagari. Kesiapan SDM akan berpengaruh terhadap service level yang akan diberikan kepada nasabah.

Bank Nagari Syariah harus dikelola dengan tata kelola yang baik, dengan service level yang sama dengan bank konvensional.

Aspek governance juga harus jadi perhatian karena permasalahan yang terjadi pada dunia keuangan dan perbankan termasuk bank syariah, saat ini lebih banyak karena masalah tata kelola (governance).

Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan bisa mendorong agar tak terjadi masalah dalam tata kelola di bank-bank, termasuk di bank syariah. Di samping mampu menutupi celah buruknya tata kelola dalam dunia perbankan.

Jika tata kelola tidak baik, maka bank-bank syariah jatuh di lumpur pembiayaan bermasalah. Pengawasan yang profesional dan intensif menjadi kata kunci dalam pengawasan perbankan syariah.

Menurut penulis, manajemen dan kepemimpinan yang mengerti roh bisnis perbankan syariah tentu saja berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan Bank Nagari Syariah.

Perubahan/konversi/spin-off dari Bank Umum Konvensional menjadi Bank Syariah bukan hanya sekadar menambah merek syariah saja dari produk layanan perbankan yang telah diberikan selama ini. Apalagi pemegang saham dalam RUPSLB 30 November memberikan jangka waktu dua tahun untuk konversi menjadi Bank Syariah.

Dua tahun bukan waktu yang lama untuk mempersiapkan konversi ini. Tentu saja dibutuhkan konsolidasi secara internal dan eksternal guna menyolidkan kekuatan menghadapi konversi.

Secara eksternal, tentu saja harus ada pengajuan kepada DPRD Sumbar untuk dibuatkan produk hukumnya berupa peraturan daerah sebagai dasar hukum pelaksanaan konversi Bank Nagari. Apakah Bank Nagari mempunyai manajemen/ kepemimpinan yang benar-benar mengerti model bisnis syariah? Tentu jawaban ini bisa dijawab oleh OJK dalam fit proper test yang sedang berproses saat ini.

Kita berharap OJK benar-benar menaruh perhatian khusus dalam seleksi direksi– yang berkasnya sempat dikembalikan OJK–dengan memperhatikan aspek profesionalitas, kompetensi serta kapasitas calon direksi dalam penguasaan perbankan syariah.

OJK juga harus mempertimbangkan level kompetensi calon direksi Bank Nagari dalam level sertifikasi manajemen syariah. Sebab, bisnis Bank Nagari ke depan adalah Bank Syariah bukan Bank Umum Konvensional.

Jika calon direksi tidak mempunyai sertifikat manajemen syariah yang disyaratkan pada level tertentu, OJK dapat meminta pemegang saham untuk mengusulkan ulang nama calon direksi.()