Berselancar di ‘Kelok 44’ Sungai Goisoinan Siberut

oleh -284 views
oleh
284 views
Sungai Gaisonan Siberut Mentawai. (ilh)

Oleh: Ilhamsyah Mirman (Ranah Rantau circle/ RRc)

SALAH satu jalur jalan legendaris yang terkenal dengan tikungan tajam dan variatifnya di Sumatera Barat adalah Kelok 44. Mengular di sisi perbukitan danau Maninjau, menjadi ajang bergengsi membuktikan keahlian pengemudi mengatur kecepatan dan ketepatan saat melalui tikungan tajam, sempit dan kemiringan jalan ekstrim. Siaga selalu, kalau sekonyong-konyong lawan muncul disaat tak terduga.

Demikian serunya jalan ini yang kadang menjadi masalah, terutama bagi supir baru atau yang tidak mengetahui medan. Salah-salah bisa tabrakan atau lecet mobil tersenggol. Terakhir, bus pariwisata ‘tersangkut’ disalah satu tikungan Kelok 44 ini, tidak bisa naik maupun turun, karena ukuran jumbo.

Transportasi Sungai, Nadi Masyarakat

Demikianlah, dengan kondisi dan keseruan yang sama dengan di daratan Sumatera, dapat ditemui di kepulauan Mentawai. Meski sarana yang digunakan berlain, namun untuk semua prasyarat uji kompetensi pengemudi, jalur ini layak jadi tempat uji nyali. Paling berbeda tentu pada perahu ‘pompong’ sebagai kendaraan dan jalur perairan yang digunakan.

Perahu selebar badan orang dewasa dengan panjang antara 6-10 meter menjadi andalan transportasi bagi warga yang akan beplesir. Dilengkapi mesin tempel yang mampu mengangkut barang dan penumpang hingga 10 (sepuluh) orang, bahan baku utama perahu berasal dari pohon khusus di belantara.

Dirancang, dibuat dan digunakan sejak berbilang tahun oleh warga lokal untuk mengarungi belasan sungai menembus berbagai desa dan dusun. Praktis menjadi andalan, salah satunya sungai Goisoinan, selain pecahannya, sungai Seireiket yang menuju Rogdok, Madobak, terus hingga Matotonan.

Maka perjalanan ekspedisi Team Kemilau Mentawai tanggal 2 dan 18 Juli 2022 menuju Tinambu dan sekitarnya, yang beranggotakan 7 (tujuh) orang, dalam rangka mendistribusikan bantuan bagi mualaf pedalaman Mentawai menjadi pengalaman terbaik, menikmati tantangan.

Sekaligus merasakan bagaimana masyarakat wilayah Goisoinan harus bersusah payah, berjibaku, melakukan perjalanan dari beberapa dusun sepanjang menuju ibukota kecamatan di Muara Siberut. Di sungai, yang lebar dan kedalaman bervariasi, serta debitnya mudah turun naik dengan cepat inilah jadi tulang punggung sarana transportasi.

Meliuk Membelah Belantara

Petualangan dimulai dari ‘dermaga’ Muntei, dalam dua kali perjalanan ke dusun Tinambu, desa Saliguma, kecamatan Siberut Tengah. Sungguh memberi kesan luar biasa dengan pengalaman dan pemandangan menakjubkan mengikuti alur sungai meliuk, melewati pinggiran wilayah Taman Nasional Siberut (TNS).

Bergantian ladang penduduk, belukar, rawa, jejeran potongan batang sagu. Namun secara keseluruhan latar belakang hutan hujan tropis dengan pohon besar menjulang sangat dominan.

Dalam kondisi normal butuh waktu 5-6 jam perjalanan sepanjang 15an km, dengan singgah transit di dusun Bekeilleuk dan dusun Salappa. Sebenarnya jarak tersebut tidak terlalu jauh di kota-kota besar atau daerah yang maju. Namun menjadi masalah besar bagi keseharian masyarakat di pulau Siberut.

Jalan berbatu yang ‘dulu’ bisa di tempuh dengan kendaraan roda dua kondisi saat ini rusak parah, tidak bisa di lalui sama sekali. Untuk pejalan kaki sama juga. Terlebih musim penghujan yang membuat jalan licin berlumpur atau jembatan putus. Menjadi pilihan utama dan satu-satunya berselancar dengan pompong.

Banyak hal menarik di dapatkan dari perjalanan yang membawa donasi Ukhuwah Islamiah (Ukhis) 12-89 alumni SMA 12 Jakarta bersama Ranah Rantau circle (RRc) dan Yayasan Islamic Center Muara Siberut, serta sumbangan kaum muslimin yang peduli pada perkembangan dakwah di Mentawai.

Mendebarkan

Jalur sungai berkelok-kelok tajam, dengan gundukan sampah berupa batang kayu dan onggokan batang bambu dan aneka dahan menjadi pemandangan umum. Sisa potongan batang besar pohon kelapa, rumbia, bayur dan berbagai jenis bonggol di tepian sungai. Sesekali tegak di tengah badan air yang menjadi urat nadi kehidupan dan orientasi budaya masyarakat.

Itu yang tampak secara kasat mata yang harus di elakkan. Jauh lebih sulit dan berbahaya ancaman dalam perjalanan yang tersimpan di bawah permukaan air. Dibutuhkan benar nakhoda yang ‘tau di dahan nan ka mancucuak’. Karena batang pohon dan ranting bambu yang tidak tampak inilah yang kerap membuat terbalik, merusak pompong atau mematahkan baling-baling.

Kelihaian pengemudi juga di uji saat melewati patahan kayu dan ranting, yang hanya menyisakan jalur persis seukuran pompong. Salah-salah bisa ‘nyangkut’ atau paling tidak diinginkan, perahu terbalik. Juru arah loncat ke tepi atau menginjak dasar sungai untuk mendorong pompong yang terperangkap, menjadi tantangan nyata kala permukaan sungai surut.

Berkali-kali, Afriadi sang nakhoda bersama juru arah Virono, bermanuver. Berbasah-basah turun, menghadapi resiko tertusuk duri atau kayu tajam. Sesi kedua perjalanan mengalami kondisi ini. Tujuan Tinambu terpaksa batal, hanya sampai Salappa, karena dasar sungai yang dangkal.

Sementara ancaman pada penumpang dari kedua sisi juga tak henti mengintai. Dahan dan dedaunan yang menjorok tepat di atas permukaan sungai kerap ‘membelai tajam’ tubuh penumpang yang kurang waspada. Tak ayal, lutut kanan penulis ‘ngilu’ terlecut potongan dahan di perjalanan pulang.

Belum lagi bicara bagaimana para penumpang menjaga keseimbangan agar perahu tidak oleng dan ‘etika’ saat turun dari pompong. Sungguh mendebarkan dan tak akan terlupa.

Bakti untuk Negeri

Perjalanan penuh resiko dimalam hari. Mesti dilakukan, karena program donasi sollar cell dan lampu mushalla Umar bin Khattab Bekeilleuk memaksa team menunggu hari gelap, untuk mengetahui sejauh mana fungsi dan efek penerangannya terhadap lingkungan sekitar.

Donasi lampu LIMAR, yang khusus di pesan dari Bandung, agar dapat terpasang dengan baik dan mampu menjadikannya sebagai sumber terang warga. Bersyukur tujuan tercapai, maka episode penutup harus tayang.

Kesekian kali, anggota team harus berlapang dada, bersempit kaki dan berjaga keseimbangan selama berjam-jam. Kali ini bergantian hujan, gerimis dan malam cerah bintang gemintang bertabur dilangit.

Selintas teringat saat melihat keceriaan bocah mandi dan bermain di keruhnya air dimulut dermaga. Juga ibu-ibu membawa anak gadis berjilbab panjang kinclong donasi sebelumnya. Dan seorang bapak berbaju Koko hijau luntur, gabung shalat Ashar berjamaah di Mesjid Nurul Falah, dusun Salappa.

Keletihan karena tidak ‘ngapa-ngapain’ selama berjam-jam terbayar dengan mengingat kebahagiaan yang terpancar dari wajah masyarakat dusun. Sumbangan baju, mukena, kain sarung dan buku iqra disambut antusias. Terlebih anak-anak, saat berikutnya disuguhi aneka snack dan cemilan, yang menggugah selera.

Penutup

Di gulita, jauh saat mentari nyenyak diperaduan. Serombongan kecil jemaah, berbaris rapi dan rapat. Duduk tenang diatas perahu. Untuk kembali menyusuri keseruan ‘Kelok 44’ sungai Goisoinan, dari Salappa menuju Islamic Center Siberut.

Bersama mereka, pejuang dakwah dan kemanusiaan, Ustadz Irwan Rachman, Arif, Jaiz, Panji, Roy, Wiranto, usai tunaikan amanah. Menyapa dhuafa, merangkul mualaf dan menyalurkan bantuan, di jantung bumi Sikerei.

Gemeretak mesin tempel merk Honda jadi saksi, mengawal penuh hari penuh liku nan panjang. Dan Inshaa Allah akan terulang kembali, karena banyak saudara yang menunggu. Semoga. (analisa)