,

Kearifan Lokal Mentawai Sebagai Modal Sosial Pembangunan

oleh -549 views
oleh
549 views
Wirdanengsih (foto: dok)

Oleh: Wirdanengsih

(Dosen FIS/Ketua Pusat Kajian Kearifan Lokal UNP)

KEKAYAAN pengetahuan dan budaya pada masyarakat tertentu yang telah dikembangkan dari waktu ke waktu dikenal dengan istilah Kearifan Lokal.

Dalam perjalanannya di tengah masyarakat terus menerus mengalami perkembangan dan perubahan. Makna lainnya tentang Kearifan Lokal adalah nilai pandangan masyarakat setempat yang bersifat bijaksana dan penuh pengertian sehingga menjadikan kekayaan kultural ini memberikan identitas pada masyarakat.

Adapun bentuk kearifan lokal itu terdiri dari pengetahuan, nilai, keterampilan, sumber daya hingga sistem pengambilan keputusan. Biasanya di sosialisasikan melalui tradisi yang hidup dan berlaku ditengah masyarakat.

Berkaitan dengan Mentawai, daerah unik ini memiliki beberapa kearifan lokal yang berbeda dengan saudaranya di pesisir, istilah masyarakat setempat untuk menyebut wilayah pantai pulau Sumatera atau pendatang yang bertempat tinggal di Mentawai.

Yang paling menonjol dan bahkan terdaftar dalam Warisan Budaya tak Benda (WBtB) Indonesia di antaranya sistem Uma. Bagi masyarakat Mentawai, Uma bukan hanya rumah tempat tinggal biasa. Uma adalah pusat kehidupan sekaligus identitas, baik sosial maupun spiritual sekaligus jati diri masyarakat Mentawai. Uma adalah sebuah rumah besar atau rumah adat yang dihuni oleh 5-10 keluarga dan menganut garis keturunan patrilineal (laki-laki). Kontruksi bangunan ini menggunakan pasak kayu (bukan paku) dan sambungan silang bertakik tetap, yang membuat bangunan kokoh.

Uma memiliki beberapa fungsi, diantaranya fungsi ruangan utama sebagai empat tinggal sepasang suami istri yang sah secara adat, yang disebut lalep. Bagian kedua di sebut dengan rusuk, yaitu ruangan tempat anak anak, remaja, janda dan orang diasingkan karena melanggar adat. Ruangan depan adalah ruang serambi yang sifat terbuka dan mau menerima tamu, yang menggambarkan bahwa orang Mentawai terbuka dan mau menerima orang lain.

Kolong dari Uma diperuntukan untuk beternak, yang menggambarkan keselarasan orang Mentawai dengan binatang. Uma juga difungsikan sebagai tepat penyimpanan warisan nenek moyang, alat pusaka dan tempat suci persembahan tengkorak hasil buruan. Fungsi lainnya sebagai balai besar tempat pertemuan kerabat serta upacara adat yang dikepalai rimata atau Kepala Uma. Selain itu ada sikeirei, sebagai tetua yang tinggal di tempat yang sama. Mereka memiliki tradisi, setiap keputusan yang diambil berdasarkan musyawarah terlebih dahulu.

Kearifan lokal lainnya pada masyarakat Mentawai adalah sistem hutannya. Bagi mereka, hutan adalah sumber kehidupan yang di dalamnya terdapat berbagai macam kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan sandang, pangan dan papan.

Oleh karenanya masyarakat Mentawai sangat berkepentingan untuk menjaga keberadaan hutan agar dapat terus lestari. Masyarakat dekat dengan hutan sehingga dalam proses interaksinya melakukan proses adaptasi. Dari sinilah bermula muncul tradisi dan kepercayaan kehidupan. Hutan tempat terpenuhi kebutuhan fisik dan eksistensi diri sehingga mereka memiliki ketakutan atas kerusakan hutan. Selain lambang kemandirian, hutan juga menjadi sumber kehidupan yang oleh karena itu tidak boleh dirusak atau habis. Dengan segala cara masyarakat akan menjaga keberadaannya, karena didalamnya terkandung pula segala kebutuhan pengobatan, terutama di daun-daunnya di hutan .

Dari segi ketahanan pangan, masyarakat Mentawai memiliki potensi dan ragam pangan lokal sagu, keladi dan pisang, durian dan sebagainya. Tersedia dalam jumlah yang melebihi kebutuhan setiap rumah tangga masyarakat maka program yang menjadikan beras untuk mengalihkan sumber pangan lokal sepertinya kurang sesuai diterapkan untuk ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Sedangkan sagu tidak hanya dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Ujung sisa pohon sagu yang sudah di tebang dibiarkan tidak dipakai, beberapa bulan kemudian akan hidup ulat sagu yang juga menjadi makanan khas mereka. Situasi yang menguntungkan, Karena jika ulat tidak diambil akan merusak tanaman lainnya. Dalam pengolahan sagu, masyarakat memiliki tradisi tidak hanya berpikir untuk makan hari ini saja, tapi dikelola untuk jangka waktu lama, paling tidak untuk setahun kebutuhan keluarga mereka.

Kearifan lokal lainnya juga terletak pada sistem pengelolaan konflik. Sebagai bagian dari dinamika hidup, orang Mentawai memiliki cara tersendiri untuk menghindari konflik. Caranya dengan membangun semangat gotong royong dalam membangun rumah tempat tinggal mereka secara bersama, adanya ikatan kekerabatan antara mereka diperkuat tanah komunal mereka serta mereka akan memberi sangsi terhadap orang membunuh manusia (Kurniawan, 2012).

Kearifan lokal ini adalah modal modal sosial masyarakat Mentawai. Modal sosial sebagai aspek struktur yang menfasilitasi terjadi tindakan, ada hubungan sosial berupa kerja sama, kesetiaan dan kearifan. Modal sosial ini diharapkan sebagai dasar pengembangan pembangunan dan sebagai dasar pijakan pembangunan berbasis masyarakat.

Pembangunan berbasis masyarakat ini adalah pembangunan yang mengacu kepada kebutuhan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan oleh masyarakat dengan menggunakan sumber daya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan, nilai nilai sosial budaya masyarakat, yang semua itu dapat diakses oleh masyarakat setempat.(analisa)