Supardi Anak STM jadi Ketua DPRD Sumbar

oleh -1,671 views
oleh
1,671 views
Supardi, Ketua DPRD Sumbar, urai lika-liku kehidupannya. (foto: dok)

Oleh : Bhenz Maharajo

DATANG dari kota yang secara garis politik kekuasaan tidak terlalu diperhitungkan, Supardi mampu menerabas segala aral dengan sigap. Kini, dia berdiri di tempat tertinggi, sembari mengemasi masa lalunya yang penuh kegetiran.

Tiga periode menduduki kursi DPRD Sumbar, satu periode di DPRD Payakumbuh, sudah cukup membuktikan kalau Supardi bukan politisi abal-abal. Dia diusung kelompok komunal di sudut-sudut Kota Payakumbuh, di seluk-seluk ayakumbuh dan Limapuluh Kota, memang dua daerah yang tak pernah ditinggalkannya, baik secara fisik atau alam pikir.

Dia dipercaya karena tak pernah melepaskan pegangan dengan para pemilihnya. Di periode ketiga ini, Supardi diberi tugas untuk menjadi Ketua DPRD Sumbar, posisi politik tertinggi, yang pasti diharapkan orang-orang yang bergerak di ranah politik.

Jabatan ketua DPRD tidak membuatnya lupa asal. Supardi, jika sedang berada di Payakumbuh atau Limapuluh Kota bisa ditemui di warung-warung kopi pinggiran, atau di surau-surau tersuruk. Supardi sejak muda memang ditempa di surau. Persisnya Surau Rao-Rao di Labuan Baru. Di surau itulah dia diasuh berkehidupan secara islam.
Belasan tahun silam, saya dipertemukan dengan Supardi.

Dia di tahun-tahun akhir pengabdian sebagai anggota DPRD Payakumbuh, saya jurnalis muda yang baru mencoba merangkak di dunia kata-kata. Pertemuan itu digagas Nur Akmal, wartawan senior di Payakumbuh, yang “memaksa” saya jadi jurnalis. Padahal, ketika itu saya tak pernah berpikir akan menjalani hidup dengan menulis. Nur Akmal kakak ipar saya.

Kami berdiskusi layaknya orang yang sudah lama kenal, padahal baru sekali bersua. Supardi memang demikian, dia tidak berjarak dengan siapa saja. Tak memandang usia, latar, atau status. Saya masih ingat impian yang disampaikan Supardi; Dia ingin Payakumbuh menjadi kota sentral kuliner, kota berbasis teknologi, yang anak mudanya berkreasi secara positif. Sampai sekarang, impian itu perlahan diwujudkannya.

Supardi, bagi saya adalah antitesis politikus kekinian, yang kebanyakan terjun ke dunia politik dengan modal uang banyak, lalu baru membangun branding dirinya. Supardi berakar dari bawah. Membangun langkah politiknya dari titik nol, dengan modal selembar ijazah Sekolah Tekhnik Menengah (STM) Payakumbuh.

Dia memang lulusan STM jurusan bangunan air, yang kini berganti nama menjadi Sekolah Kejuruan Menengah (SMK) 1 Payakumbuh.

Sekarang, Supardi kembali kuliah, dan sebentar lagi menyandang titel sarjana. Dia memang tak pernah mau dihalangi usia untuk menuntut ilmu.

Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) ini seolah membuktikan kalau ruang politik itu bukan sekadar ruang kreasi bagi orang-orang berpendidikan tinggi semata. Ini ranah pengabdian, ranah menjaga amanah. Setinggi apapun pendidikan, jika tak amanah, akan ditinggalkan pemilih, dibuang dari sejarah pengabdian.

Sejak pertemuan itu, saya dan dia tak pernah berjarak. Apalagi setelah menuntaskan pengabdiannya di DPRD Payakumbuh tahun 2009, Supardi naik kelas menjadi anggota DPRD Sumbar. Kami sama-sama berkegiatan di Padang, kota yang berajak 120 kilometer dari Payakumbuh. Diskusi kami kian intens.
Saya jarang bertemu dengan politisi yang benar-benar berakar kuat, dan mampu menjaga basis suaranya secara konsisten. Supardi satu dari politisi itu. Dia dicintai pemilih dengan segala kesederhanaannya. Namanya harum di sudut-sudut Luak Nan Bungsu. Supardi politisi yang setiap langkahnya diperbincangkan penghuni kawasan-kawasan sempit, dan daerah tersuruk. Kedatangannya selalu disambut dengan derai tawa, dan harapan-harapan baik.

Pekan lalu, saya bertemu Supardi di ruang kerjanya, DPRD Sumbar, Padang. Jika biasanya kami bercerita tentang harapan, dan langkah politik ke depan, pekan lalu itu tidak. Supardi membuka lembaran hidupnya. Dia menyelami masa lalu, mengulangi kisah hidupnya yang penuh liku.

Supardi sempat terdampar di kehidupan yang agak jauh dari agama, Supardi juga lama menjadi ustaz di Pesantren Alkautsar, Tanjung Pati, lalu mendirikan sekolah islam. Saya tercengang-cengang dengan kisahnya.(bersambung/rewrite halonusa)