Tausyiah BUYA HMA, Menggali Potensi Surau Jadi islamic Center dan Perdaban

oleh -661 views
oleh
661 views
Buya H Masoed Abidin za Jabbar (foto: dok)

SAAT INI dalam rangka membangun kemandarian bangsa guna menghadapi pembangunan dI suasana globalisasi, tengah digulirkan konsep pembangunan berbasis kearifan lokal atau local wisdom.

Yaitu, _konsep pembangunan berbasis pada kondisi budaya lokal, termasuk mengacu pada pesan-pesan moral dan motivasi yang hidup di masyarakat._

Salah satu”kearifan lokal” yang ada di Ranah Minang, adalah berlakunya SISTEM MATRILINEAL, yaitu sistem waris harta pusaka tinggi yang berpuncak dan turun temurun pada garis ibu.

Saat ini, _di seluruh dunia, hanya terdapat 4 (empat) suku bangsa yang menganut sistem Matrilineal, yaitu sebuah suku bangsa di benua Afrika, sebuah suku Indian di benua Amerika , sebuah suku di India dan satu-satunya suku di Indonesia, yaitu Minangkabau. Sistem matrilineal dengan segala sub-sistemnya adalah *“Tiang Agung Minangkabau”* kata alm Buya Hamka.

Hak Waris Harta pusaka tinggi sebagai sub sistem dari sistem Matrilineal, hendaknya harus tetap dijaga keberadaannya.

Harta pusaka tinggi adalah harta bersama sebuah kaum, adalah harta bersama untuk dinikmati, bukan harta untuk dibagi-bagi.

Pewarisan harta pusaka tinggi adalah hanya sekedar peralihan peran, bukan peralihan milik.

Harta pusaka tinggi turun dari niniek ka mamak, dari mamak ka kamanakan dan seterusnya ka bawah menurut garis ibu.

*_Harta pusako tinggi tak boleh berpindah tangan karena diperjual-belikan._*

Harta Pusako tinggi adalah sebagai bukti *hak “asal-usul”* seseorang atau kaum.

Seseorang dapat dikatakan adalah keturunan Minang, hanya apabila masih mempunyai harta pusako tinggi.

Dalam adat, ini dikatakan:
*_“Nan ba pandam ba pakuburan, nan basasok bajarami, kok dakek dapek dikakok, kok jauah dapek diantakan”_*

Apabila sebuah keluarga atau kaum tak lagi punya harta pusako tinggi, orang atau keluarga itu tidaklah lengkap keminangkabauannya, bahkan sudah dianggap punah. Mereka tak perlu lagi punya panghulu, karena *adat berdiri diatas pusako tinggi.*

Dimensi kearifan lokal yang menyertainya adalah :
_Bahwa sejauh manapun anak-cucu orang Minang pergi merantau, bahkan sampai ke Australia atau ke Amerika, selama mereka masih punya harato pusako tinggi, mereka dan anak keturunannya akan tetap punya kampung halaman di Ranah Minang, dan mereka tetap bangga dengan RanahMinang._

Kondisi emosional itulah tampaknya yang terpancar dari gegap gempitasetiap acara “pulang Basamo”, seperti yang tampak pada setiap terjadi sesuat di kampung halaman, berhariraya lebaran dan sebagainya.

*Keunikan lain dari alam Minangkabau yang _mencerminkan kearifan lokal_ adalah adanya Falsafah Hidup yang sangat terkenal: _“ ADAT BERSANDI SYARA’, SYARA’ BERSANDI KITABULLAH”_*.

Nilai-nilai Agama Islam, yang menganut sistem patrilineal, secara arif diterima oleh adat dan budaya Minangkabau tanpa mengorbankan adat budaya yang berlaku.

Bahkan Nilai-nilai agama dan adat saling memperkuat, kokoh dalam keserasian dan keharmonisan, menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Saling isi mengisi.

Kaum adat dan kaum agama bekerjasama saling bahu membahu membangun masyarakat.

Perpaduan ini telah melahirkan harmoni sosial di bawah sistem *kepemimpinan tripartit yang disebut TTS _(Tungku nan Tigo Sajarangan)_ yang terdiri dari _Ninik Mamak , Alim Ulama, dan Cerdik Pandai._ Mereka bersinergi menjaga dan menjalankan TTS yang lain pula, _Tali nan Tigo Sapilin_, yaitu _Adat, Syari’at dan Peraturan_ (perundangan).*

Kesesuaian dan keserasian hubungan ini tak lain karena nilai-nilai adat Minang, yang digali dan dijalankan sebelum kedatangan Agama Islam, memiliki landasan yang sama dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadis.

Misalnya, ketika, ayat Al-Qur’an yang pertama turun pada tanggal 17 Ramadhan di kota mekkah:

# Iqra bismirabbikallazi khalaq
# Khalaqal insanamin ‘alaq
# Iqra’ warabbukal akram
# Allazi ‘allama bil qalam
# ‘Alamal insaa namaa lam ya’lam.
*_ Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan_*
*_Yang menciptakan manusia dari segumpal darah._*
*_Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah_*
*_Yang mengajar manusia dengan pena_*
*_Yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya._*

Jauh sebelum itu, para ninik mamak di ranah minang telah memberi petuah agar masyarakat Minang memahami dan mengikuti hakekat hukum alam (sunatullah), seperti petuah dibawah ini:

Api, paneh dan mambaka,
Aie, mambasahi dan manyuburkan,
Kayu, bapokok,
Ayam, bakokok,
Kambiang, mangambiak,
harimau mangaum
Gunuang, bakabuik, dan sebagainya.

Dipertegas pula dengan petatah lain:

Panakiak pisau sirauik,
ambiak galah batang lintabuang,
silodang ambiak kanyiru,
Nan satitiak jadikan lauik,
Nan sakapa jadikan gunuang,
Alam takambang jadi guru.

Falsafah _“alam takambang jadi guru”_, adalah falsafah hidup yang sangat berkesesuaian dengan banyak firman Allah dalam Al-Qur’an, diantaranya pada surat ‘ Ar-Ra’d ayat 3, yang artinya:

*_”Dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”._*

Atau firman Allah dalam surat al-Ankabut <29>: ayat 44:
*“Khalaqallahus samaa waa ti wal ardha bilhaq* innafii zalika la aayatal lilmu’ miniin*

*_” Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang jelas. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang percaya.”_*

Itulah sebuah kearifan lokal di Ranah Minang, sebuah falsafah hidup yang berlandaskan akal dan iman, yang berpijak pada sunatullah dan tuntunan Al-Qur’an.
“Alam takambang jadi guru”..
“Indak lakang di paneh, indak lapuak di hujan”.
Dari dahulu sampai kini, tak henti, berlaku turun temurun.

Lihatlah sekeliling kita,
Nagari Gunuang yang indah ini,
mancaliak ka mudiak, tampak puncak gunuang Marapi.
Mancaliak ka arah Barat ado Gunuang Singgalang nan manjulang.
Mancaliak dari sabalah ateh tampak danau Singkarak yang menyimpan ikan bilih, yang hanya satu-satunya di dunia, endemik di danau Singkarak.

Ini lah kampuang kito,
Gunuang Sajati,
gunuang sansai bakuliliang,
jo hutan badaun rimbun,
dari mudiak ka ilie tak berhenti aie mangalie.
Tahampa sawah-sawah,
dari bukik ka lambah-lambah,
bapamatang- bajanjang-janjang.
Ado mato aie bula’an di Sigando,
ado mato air di ikue lubuak dan tempat lain.
Airnya bersih bening tak perlu disaring.

Subhanallah, demikian besar anugerah Allah yang tercurah bagi kita urang nagari Gunuang. Dibandingkan dengan wilayah di belahan lain di muka bumi, yang kering kerontang, Nagari Gunuang tak lain adalah sebuah Surga yang terhampar di muka bumi, yang diperuntukkan oleh Allah bagi kita urang nagari Gunuang. Allah telah memelihara kesuburan tanah kita dengan muntahan abu vulkanik Gunung Marapi. Hutan-hutan lebat di lereng gunung Marapi berjasa menyimpan air tanah bagi kehidupan kita dan sawah kita.

Kalau pun ada sesekali gempa vulkanik, tak lain agar kita selalu mengingat Allah, bahwa Allah lah pemilik alam semesta, kita diingatkan agar selalu menjalankan perintahNya dan menghindari larangan-Nya, agar supaya kita terhindar dari kemurkaan-Nya. Jadi, sangat beralasan bagi kita untuk selalu merenungkan firman Allah dalam surat Ar-rahman yang berulang-ulang dikatakan-Nya::

*_Fabiayalaa irabbikumaa tukazibaan_*
(Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?)

*Kehadiran surau di ranah Minang adalah suatu kearifan lokal lain, yang diwariskan oleh niniek mamak kita, yang perlu kita pelihara.*

Di setiap nagari di Minangkabau, sebagai contoh saja, di Nagari Gunuang kita mengetahui, ada surau di Sigando, ada surau di Gantiang, ada surau di simpang Lubuak, ada di surau Ngalau atau ditempat lainnya.

Dahulu, beberapa puluh tahun yang lalu, tidak ada seorang anakpun disuatu kampung yang tidak belajar mengaji di surau.

Semua anak-anak, siang hari belajar di sekolah umum, malam hari belajar mengaji di surau. 7 hari dalam seminggu tanpa hari libur.  Pada setiap akhir minggu mengadakan panggung gembira, dengan bernyanyi dan latihan berpidato.  Anak-anak laki-laki yang sudah baliq, oleh ibunya diperintahkan untuk tidur di surau. Bersama sama dengan teman sebaya.

Dari perjalanan sejarah, kita mengetahui bahwa sejak tempo dulu di Ranah Minang, *_Surau memiliki peran penting dalam mendidik generasi muda, surau terbukti sukses menjadi instrumen pembentuk karakter masyarakat minang._*

*Di surau inilah anak-anak remaja memulai PERJALANAN untuk memperoleh bekal kecakapan hidup*.

Di surau inilah mereka memantapkan eksistensi diri dan kepercayaan diri.
Di surau lah mereka mendapat kecakapan membaca, menulis dan berpidato.

Di surau lah mereka mengasah kecakapan berkomunikasi, berdiplomasi dan bersilat lidah, berpantun, ber petatah-petitih.

Di surau lah mereka memperoleh keterampilan personal seperti bersilat untuk membela diri.  Di surau lah mereka memperoleh kecakapan sosial – bermasyarakat.

Dan Salah satu kecakapan yang penting adalah kecakapan bermusyawarah untuk mengambil keputusan yang bersandar pada falsafah:
*_“Bulek air karano pambuluah, bulek kato karano mufakaek”._*

Sejarah mencatat, bahwa surau adalah tempat para tokoh atau cendekiawan asal Minang Kabau tempo dulu, sebut saja seperti _Buya Hamka, Moh. Natsir, A.R. Sutan Mansyur_, dan banyak lagi yang lain, *_yang memulai “perjalanan” hidup mereka melalui surau, guna memperoleh kecakapan hidup atau apa yang sekarang sangat popular dengan istilah “LIFE SKILL”._*

Konsep pendidikan yang bernama “LIFE SKILL” atau “Kecakapan Hidup” itu dicetuskan oleh pakar pendidikan Barat, _baru pada awal tahun 2000 lalu_.

Konsep ini diamini dan oleh para Pakar Pendidikan Indonesia yang kuliah di Amerika untuk di gulirkan pula sebagai konsep unggulan di Indonesia.

Konsep pendidikan “life skill” ala Barat tersebut, menurut pakarnya meliputi:
*a). _kecakapan adaptasi diri_*,
*b). _kecakapan komunikasi_*,
*c). _kecakapan memilih dan memilah masalah_*,
*d). _kecakapan mengambil keputusan_*,
*e). _kecakapan personal dan sosial._*

Ternyata konsep pendidikan “life skill” yang digagas oleh pakar pendidikan Barat hampir 20 tahun yang lalu itu, _telah dilaksanakan di Ranah Minang oleh para jenius cendekiawan-cadiak pandai, ninik mamak_ kita beberapa abad yang lalu, yaitu melalui pendidikan di Surau.

Kita boleh berbangga hati bahwa _pendidikan “life skill” melalui Surau_ ternyata telah ada 3 abad lebih, mendahului konsep pendidikan maju dan modern yang disebut dengan _“life skill education” di dunia barat yang baru digagas di tahun 2000-an_ itu.

Rasanya sangat beralasan, bila kita mempertanyakan, bagaimanakah kini _eksistensi SURAU sebagai lembaga pendidikan_ yang sudah terbukti berhasil pada jamannya.

Bagaimanakah kondisinya kini ditengah era globalisasi, _ditengah adanya penetrasi budaya Barat dan Timur_ yang hadir begitu jauh dalam kehidupan kita melalui kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi.

Timbul sebuah pertanyaan yang mergelitik.

*Apakah fungsi surau sebagai _sentra pendidikan berbasis pada “TIGO TUNGKU SAJARANGAN”, yaitu berbasis pada “OTAK (akademik), HATI (akhlak mulia) dan TANGAN (keterampilan),_ seperti yang pernah digagas dan dijalankan oleh Angku Muhammad Syafei di INS Kayutanam tahun pada 1926, yang pada masa milenial ini telah hilang kiprahnya di dunia pendidikan di Ranah Minang*.

*Gerakan Kembali ke Surau, _tujuannya adalah untuk membangkitkan atau menggiatkan lagi atau merevitalisasi fungsi surau sebagai pusat keislaman_ (Islamic Center)*.

Maksudnya agar generasi muda mampu menghadapi penetrasi budaya asing yang demikian besar dampak buruknya terhadap kehidupan Islami yang menjadi ciri masyarakat Minang

Gagasan kembali ke Surau, di tengah kegamangan kita menghadapi era globasi yang ditandai dengan mudahnya teknologi komunikasi dan informasi masuk ke rumah kita, dengan dampak baik dan buruknya, sangat perlu kiranya kita dukung.

*Kita perlu menggali kembali keunggulan pendidikan berciri Surau.*

Menata kembali sebuah konsep pendidikan keislaman yang berbasis kearifan lokal ala Alam Minangkabau, yang telah terbukti mampu membekali keterampilan hidup atau life skill bagi lulusannya.

Untuk itu beberapa langkah yang bisa, kita lakukan adalah:

*• Pertama: _Menginventarisir jumlah surau -surau yang masih ada di setiap kampung di setiap nagari_*

*• Kedua: _Membuat kajian atas kondisi surau-surau yang ada, dilihat dari kondisi fisik, pengelolaan, guru dan peserta didik yang ada._*

*• Ketiga: _Membentuk dan Meningkatkan forum koordinasi atau majelis quro antara surau di dalam suatu nagari, sampai terbentuk koordinasi setingkat Propinsi._*

*• Ke empat : _Mengikutsertakan peran Pengurus Masjid (DKM), Ninik Mamak (KAN), Majelis Ulama (MUI), para tokoh pendidik, tokoh orpol dan ormas Islam dalam rencana pengembangan SURAU MODERN di Ranah Minang – Sumatera Barat -._*

*• Kelima : _Sesuai dengan UUD 1945 bahwa pendidikan adalah menjadi tugas negara, maka program pengembangan dan pengelolaan SURAU MODERN mestinya tercermin dalam APBN dalam APBD Kabupaten/ Kota, bahkan dapat dimasukkan dalam program pembangunan penguatan nagari yang memili hak asal usul sesuai UU 6/2014.._*

Wassalaam
#BuyaHMA

(dikutip dari facebook @Masoed Abidin Za Jabbar)